"Siapa kamu?"
Nila segera meletakkan surat tersebut dan menoleh ke arah sumber suara. Di dekat pintu, seorang laki-laki dengan wajah dinginnya tengah berdiri di sana. Nila melongo, bahkan dia kagum melihat ketampanannya.
"Seharusnya aku yang tanya. Siapa kamu?" tanyanya sembari menutup pintu ruangan yang terbuka. Mata Nila mengikuti pergerakan laki-laki tersebut yang memegang tangan Ryan. Dia menekan kukunya yang tajam ke kulit Ryan.
Ryan melenguh ketika merasakan tangannya seperti ditusuk. Kedua matanya terbuka, serta langsung menarik tangannya yang dipegang oleh pria tersebut.
"Siapa dia?"
"Teman baruku, kenapa?"
Nila tersentak, kaget. Ketika tangan orang tersebut menarik kerah baju Ryan. Tatapannya tajam menusuk. "Bukannya aku udah bilang sama kamu, jangan sekali-kali bawa orang ke sini. Jadi sekarang kamu berani melanggar peraturan kelompok kita?"
Ryan membalas, dia juga turut menatap orang yang menarik kerahnya dengan tajam. Dia berdiri, jarinya menunjuk pada hidung orang tersebut. "Dan jangan kamu pikir, sebagai ketua kelompok, kamu seenaknya memerintah kami."
Nila yang tidak tahu menahu dengan apa yang mereka bicarakan, mendekat dan menyentuh bahu Ryan pelan. Tetapi, langsung ditepis oleh Ryan. Nila hilang kesabaran, akhirnya berteriak menghentikan adu mulut mereka.
"Aku nggak tahu apa yang kalian bicarakan. Tapi, kumohon hentikan perdebatan ini."
"Kamu nggak usah sok ngelerai perdebatan kita. Karena inti keselahan itu ada di kamu," ujar orang tersebut sambil memegang kedua pipi Nila dengan kedua tangannya.
Nila terisak karena merasakan sakit yang menjalar di kedua pipinya. Orang tersebut memegangnya sangat erat.
"Jackson. Kamu apa-apaan, sih? Jangan kasar sama cewek dong," ujar Ryan sambil berusaha melepas pegangan orang yang dipanggilnya Jackson itu.
Jackson tersenyum miring. Dilepaskan pegangannya dengan kasar. Nila mengaduh kesakitan.
"Masalah kita belum selesai," ujarnya sembari melangkah keluar kamar. Meninggalkan Nila dan Ryan yang tengah memandangnya lekat.
Ryan memegang pundak cewek rambut sebahu itu, dipapahnya Nila menuju Kasurnya. "Kamu nggak papa, kan?"
Nila masih terisak. Tangannya berusaha menghapus air matanya yang mengalir, membasahi pipi. Tanpa disadari, kepalanya sudah tersandar di pundak Ryan.
"Ray .... apa salahku? Kenapa dia bisa semarah itu padaku?" tanya Nila lemah.
Ryan menghela napas kasar. Dia sebenarnya kesal terhadap Nila yang mengingkari janjinya. Untuk tidak masuk ke ruangan ini sebelum dia berstatus menjadi anggota kelompoknya. Dan akhirnya begini, kan. Ketua kelompok timnya telah memarahinya habis-habisan.
"Bukankah aku sudah bilang sama kamu, jangan masuk ke ruangan ini."
"Sebenarnya apa yang membuatnya dia marah? Di ruangan ini tidak ada yang spesial. Hanya berisi daging manusia saja yang membuatku ngeri."