Pagi datang dengan langkah pelan di kota kecil itu. Matahari masih malu-malu, sinarnya menembus tipis kabut yang menggantung di antara gedung-gedung tua dan pepohonan pinggir jalan. Jalanan setengah sepi, hanya sesekali suara motor tua lewat, meninggalkan jejak knalpot di udara yang dingin. Di ujung jalan, sebuah kafe mungil berdiri, dengan papan nama kayu sederhana bertuliskan The Morning Brew
Di dalam, aroma kopi baru digiling bercampur dengan harum kayu basah. Suasana hangat, temaram lampu gantung kuning, dan kursi-kursi kayu yang sudah sedikit tergores waktu. Kafe itu mungkin tampak kecil dan sederhana bagi orang luar, tapi bagi Sara, tempat itu adalah seluruh dunia yang tersisa.
Sara berdiri di balik meja bar, tubuhnya ramping dalam balutan kemeja hitam polos dan celemek cokelat. Rambut hitam lurusnya tergerai ke bahu, sering kali jatuh menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Mata hitamnya sayu, menyimpan lingkar tipis kelelahan, seolah malam tidak pernah memberinya tidur yang cukup. Sara bukan perempuan yang mudah terlihat menonjol di keramaian; ia lebih seperti bayangan yang diam-diam ada, tapi jarang disadari.
Pintu kayu berdenting. Seorang pria masuk dengan langkah santai, membawa serta aroma udara pagi. Joe—selalu Joe.
Dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku, tubuh tegapnya terlihat makin jelas. Rambut cokelat gelapnya tersisir seadanya, beberapa helai jatuh nakal di dahi. Wajahnya keras tapi hangat, dengan senyum yang entah kenapa selalu terasa mampu meruntuhkan dinding dingin Sara.
“Pagi, barista favoritku,” sapa Joe sambil menaruh tas di kursi terdekat.
Sara mengangkat alis. “Aku barista satu-satunya di sini. Itu bukan pujian.”
Joe terkekeh. “Justru itu. Kau otomatis jadi favorit.”
Sara mendengus pelan, pura-pura tidak peduli. Namun sudut bibirnya bergerak sedikit, nyaris seperti senyum.
Joe sudah terbiasa dengan itu. Ia berjalan ke meja, mulai merapikan kursi-kursi yang bergeser sejak semalam. Di kafe kecil itu, perannya lebih seperti sahabat yang selalu datang membantu, daripada sekadar pelanggan.
---
Sekitar pukul delapan, pelanggan pertama datang. Seorang pria paruh baya dengan jas kusam duduk di pojok, memesan kopi hitam pekat. Lalu sepasang mahasiswa masuk, masih berceloteh soal tugas kuliah. Sara melayani mereka dengan sopan, senyumnya tipis, nadanya singkat.
Joe, sementara itu, memilih duduk di meja dekat jendela, pura-pura membaca koran padahal matanya sesekali melirik Sara.
“Pelanggan hari ini masih hidup, tidak?” gumamnya saat Sara lewat membawa nampan.
Sara berhenti sebentar. “Apa maksudmu?”
“Tidak ada yang pingsan karena tatapan dinginmu?” Joe menyeringai.
Sara melotot kecil, tapi tidak menjawab. Ia melanjutkan langkah, lalu kembali ke bar. Namun jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang hangat. Kehadiran Joe, entah kenapa, membuat kafe itu terasa sedikit kurang sepi.