The Kingdom in the Mirror

Bramanditya
Chapter #3

Rumah Yang Tidak Pernah Menjadi Rumah

Sara berhenti di depan pagar besi yang catnya sudah mengelupas. Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan rumah tua di hadapannya berdiri bagai bayangan besar yang enggan menerima siapa pun. Jendelanya yang berdebu tampak seperti mata tua yang menatap dengan tatapan hampa. Atapnya dipenuhi lumut, sebagian genteng miring, seolah bisa jatuh kapan saja. Pohon mangga di halaman depan tumbuh liar, ranting-rantingnya menjulur seperti tangan kurus yang siap meraih siapa pun yang lewat.

Ia menarik napas dalam-dalam, namun dada terasa sesak. Betapapun sering ia mencoba membiasakan diri, rumah itu selalu memberinya perasaan asing, seakan-akan ia bukan penghuni, melainkan tamu yang salah alamat.

Pintu kayu itu berderit keras saat ia mendorongnya. Bau lembap bercampur dengan aroma kayu lapuk langsung menyergap hidung. Dari ruang depan, gelap meluas ke segala arah. Hanya lampu bohlam kecil di dekat pintu masuk yang menyala, menggantung rendah, cahayanya temaram dan berayun pelan karena angin malam yang menyelinap melalui celah jendela.

Sara menutup pintu pelan, berusaha tidak membuat suara, meskipun rumah itu tak berpenghuni kecuali dirinya. Langkah kakinya menggema di lantai kayu tua, setiap injakan menimbulkan suara berderit yang membuat bulu kuduknya meremang. Ia melewati ruang tengah tanpa berani menoleh terlalu lama. Di sanalah, cermin besar itu berdiri, tertutup kain putih tipis yang tidak mampu menyembunyikan ukurannya. Ia cepat-cepat berjalan, seolah cermin itu bisa menyapanya kapan saja.

Sampai di kamarnya, ia menyalakan lampu meja kecil. Kamar itu tidak lebih dari ruang penyimpanan yang ia sulap seadanya menjadi tempat tidur. Dindingnya bercat putih kusam, penuh bercak hitam akibat lembap. Tidak ada ranjang; hanya selembar karpet tipis yang dilapis dengan kasur busa tua, ditutupi selimut pudar bermotif bunga yang pernah cerah entah berapa tahun lalu. Di sudut ruangan ada lemari plastik tiga susun, sebagian lacinya sudah retak. Di atas lemari itulah ia menaruh pakaian yang ia lipat seadanya.

Sara tediam mematung sejenak, membiarkan kesunyian menelannya. Aroma kayu tua dari dinding rumah masih sama, mengingatkannya pada masa-masa di panti asuhan dulu. Rumah ini tidak pernah benar-benar terasa seperti rumah. Bukan setelah ia kehilangan satu-satunya orang yang pernah memanggilnya “anak”.

Pandangan matanya jatuh pada sebuah bingkai foto di rak kecil. Foto itu sudah kusam, menampilkan wajah pasangan suami-istri yang dulu mengadopsinya—senyum mereka hangat, meski samar-samar Sara tahu ada kesedihan karena mereka tak pernah dikaruniai anak kandung. Kini keduanya sudah tiada.

Lihat selengkapnya