The Kingdom in the Mirror

Bramanditya
Chapter #4

Sebuah Tanda Lahir

Hujan sore itu turun seperti tabir tebal, mengguyur kota tanpa ampun. Butiran air menempel di kaca jendela kedai kopi kecil, berlari bersama angin lalu meleleh turun menjadi garis-garis tipis. Jalan di depan nyaris sepi. Sesekali hanya ada kendaraan melintas, meninggalkan cipratan air sebelum hilang ditelan kabut hujan.

Di dalam kedai, aroma kopi hangat berbaur dengan bau tanah basah yang terbawa dari luar. Lampu kuning yang menggantung di langit-langit berayun pelan, kadang berkelip seolah kalah oleh dingin dan lembab. Kedai itu sepi, hanya dua orang yang menempatinya: Sara dan Joe.

Sara duduk di kursi dekat jendela, menopang dagu dengan tangan. Matanya kosong menatap tirai hujan. Biasanya ia menyukai suara rintik yang jatuh berulang-ulang, seperti musik yang menenangkan. Tapi kali ini, hujan hanya mempertebal rasa sepi yang menekannya. Meja-meja kosong di sekelilingnya seakan mengejek. Tak ada pelanggan, tak ada kehidupan.

Di meja di depannya, buku catatan keuangan terbuka. Angka-angka merah berjejer, mencolok, menandakan betapa tipis batas antara bertahan atau menyerah. Sara menopang dagunya, pandangannya kosong. Di luar, dunia terus bergerak, tapi di dalam kafe ini, waktu terasa membeku.

Pintu dapur berderit terbuka. Joe muncul sambil membawa dua cangkir kopi panas, uapnya mengepul. Ia meletakkan satu cangkir di hadapan Sara, lalu duduk berseberangan, menghela napas panjang. Senyum tipis mencoba ia sematkan, meski garis kelelahan tetap terlihat jelas.

“Kau sudah menghitung lagi?” tanyanya lirih.

Sara mengangguk lemah. “Kalau sepi begini terus… mungkin bulan depan kita harus tutup.”

Keheningan menyusup di antara denting hujan. Joe meniup kopinya, mencoba tersenyum. “Kalau memang harus tutup, ya sudah. Mungkin itu tandanya kita harus mulai dari awal lagi.”

“Mulai dari awal?” Sara mengangkat alis. “Bagaimana? Dengan apa?”

Joe terkekeh kecil. “Aku bisa pulang ke kampung. Bertani lagi. Sawah kakekku masih ada, meski sekarang ditanami orang lain. Setidaknya aku bisa hidup dari tanah.” Ia meneguk kopinya, menatap Sara dengan senyum menenangkan. “Kau ikut saja. Jadi petani kopi mungkin? Kau tetap bisa dekat dengan kopi, meski tanpa kedai.”

Sara tak bisa menahan tawa pendek. “Aku? Bertani? Kau pikir aku sanggup mencangkul?”

“Kenapa tidak? Kau kan keras kepala. Tanah pasti kalah melawanmu,” jawab Joe sambil ikut tertawa.

Untuk sesaat, tawa mereka memenuhi kedai yang biasanya sunyi. Sara menutup wajahnya dengan tangan, masih tertawa kecil. Namun tawa itu cepat mereda, digantikan oleh sorot mata yang muram.

“Aku tidak ingin jadi petani, Joe…” bisiknya. “Aku hanya ingin pergi ke suatu tempat… tempat di mana aku bisa hidup lebih baik. Tenang. Damai. Hanya aku, dan hari-hari yang… bahagia.”

Joe menatapnya lama. Ada sesuatu dalam nada suara Sara yang membuatnya ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Karena dalam diam, ada rahasia yang menghantuinya. Bulan depan, ia akan menikah. Tunangannya, Lila, menunggu kabar pasti darinya. Pernikahan itu seharusnya jadi kabar gembira. Tapi semakin dekat hari itu, semakin ia merasa tercekik.

Sebab di sisi lain, setiap hari ia menghabiskan waktu dengan Sara. Bersama Sara, ia bisa tertawa tanpa beban, bisa jujur menjadi dirinya sendiri. Dan perasaan itu, yang semula samar, kini tumbuh semakin jelas.

Joe menelan ludah. Ia ingin mengusir rasa itu, tapi justru semakin sulit. Ia tahu betul: ia sedang jatuh pada perempuan yang tidak seharusnya ia cintai.

Sara juga tahu Joe akan menikah. Berita itu sudah sampai di telinganya beberapa minggu lalu. Setiap kali mengingatnya, hatinya mencubit perih. Ada rasa iri, ada rasa cemburu, tapi juga ada rasa marah pada dirinya sendiri. Apa haknya merasa seperti itu? Joe bukan miliknya.

Lihat selengkapnya