The Kingdom in the Mirror

Bramanditya
Chapter #5

The Black Cat, The Lady And The Mirror

Sara berdiri di sebuah jalan berpasir, di bawah langit kelam yang seakan disaput jelaga. Dari kejauhan, seekor kucing hitam berjalan perlahan ke arahnya. Bulunya hitam pekat berkilau, matanya perak menyala bagai dua bulan kecil, ekornya panjang namun ujungnya terbelah seperti cabang. Di lehernya tampak pola samar menyerupai sabit bercahaya, berdenyut pelan seolah bernapas. Sara tahu, ini bukan kucing biasa—ia seperti membawa aura kuno yang membuat bulu kuduknya meremang.

Kucing itu menatap Sara lama, kemudian berbalik dan melangkah ringan. Tanpa tahu kenapa, Sara mengikutinya. Setiap langkah kucing itu meninggalkan jejak cahaya di tanah, seperti bintang yang berjatuhan dan melekat di pasir.

Mereka sampai di sebuah cermin tinggi yang berdiri tegak di tengah padang kosong. Bingkainya berukir rumit, dipenuhi simbol bulan dan matahari. Dari permukaannya, alih-alih pantulan dirinya, Sara melihat sebuah ruangan tua: dinding kayu, jendela besar menghadap danau tenang, dan cahaya mentari yang damai. Kucing itu melompat masuk ke dalam cermin, lalu duduk, ekornya bergoyang pelan sambil menatap Sara.

Tapi sebelum Sara sempat mendekat, langit bergemuruh. Suara retakan terdengar, bumi di bawah kakinya bergetar hebat. Ia menoleh—dan ngeri menyaksikan matahari jatuh dari langit, pecah menjadi ribuan bara menyapu hutan, sungai, dan desa-desa. Api menyembur, membakar hingga hanya tersisa arang hitam.

Dari arah lain, ia melihat sebuah hutan lebat menghilang, seakan disedot oleh kekuatan tak kasatmata, meninggalkan kawah raksasa. Sara mendengar jeritan manusia, lolongan binatang, bahkan tangis anak-anak—semuanya berhenti mendadak, hilang ditelan api.

Langit berubah merah darah. Dari balik asap, muncul bayangan besar: sosok berjubah hitam dengan mata merah menyala. Ia mengangkat tangan, dan ribuan kupu-kupu hitam bermunculan, beterbangan seperti abu.

“Dunia ini akan layu… dan kau, pewaris cahaya, tak bisa lari darinya.”

Suara itu bergema di seluruh langit, berat dan dingin, menembus langsung ke dadanya. Sara ingin menjerit, tapi suaranya lenyap. Kakinya terpaku. Di hadapannya, cermin mulai retak—retakan itu bercahaya, lalu pecah, menelan pandangan.

Api, jeritan, dan kegelapan menyatu. Semuanya runtuh menjadi hitam.

Sara terlonjak bangun. Nafasnya memburu, keningnya penuh keringat.

Kamarnya gelap. Sunyi. Namun pintu kamarnya terbuka sedikit, berderit pelan. Ia memicingkan mata—di lantai, samar-samar terlihat jejak kaki kucing menuju ruang tengah yang selalu terkunci.

Sara menggigil. Dadanya naik turun. Ia menutup pintu perlahan, mencoba mengabaikan, lalu membaringkan diri lagi. Tapi bayangan mimpi itu—matahari jatuh, desa hilang, suara-suara lenyap—masih membekas dalam pikirannya.

Dan jauh di lubuk hatinya, ia tahu: itu bukan sekadar mimpi.


***

Hujan masih menetes sejak malam sebelumnya, meninggalkan udara lembap yang merayap ke setiap celah rumah tua tempat Sara tinggal. Ia terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Mimpi itu masih menempel jelas: seekor kucing hitam dengan tatapan mata setua dunia, menuntunnya menuju cermin besar sebelum langit terbakar, dunia runtuh, dan suaranya tenggelam dalam teriakan api.

Sara mengusap wajah, berusaha menenangkan diri. Namun tubuhnya tersentak ketika melihat pintu kamarnya terbuka sedikit, padahal semalam ia yakin menutupnya rapat. Ia bangkit pelan, kakinya menyentuh dingin lantai, dan di ambang pintu terlihat bekas jejak basah kecil—seperti tapak kucing. Jejak itu menuju ruang tengah yang selama ini terkunci rapat.

Jantungnya berdegup, tapi ia memalingkan wajah. “Hanya mimpi,” gumamnya, menutup kembali pintu kamar. Ia menarik selimut, memaksa dirinya tidur lagi.

Pagi menjelang. Sara memutuskan mengabaikan mimpi itu, meski sesekali ia masih teringat tatapan kucing hitam itu. Di kafe, rutinitas kembali berjalan. Suasana lebih sepi dari biasanya, hanya denting sendok dan suara hujan tipis di luar.

Lihat selengkapnya