The Kingdom in the Mirror

Bramanditya
Chapter #6

Rumah Yang Tidak Pernah Ada

Udara dingin menusuk kulit Sara ketika ia sadar tubuhnya mendarat di lantai kayu yang berderit pelan. Ia terduduk, terengah, jantungnya berpacu liar. Perlahan, ia menoleh.

Ia berada di dalam sebuah pondok kayu kecil. Cahaya lembut menembus dari jendela bundar di dinding, menyorot rak-rak penuh buku tua berdebu. Ada perapian di pojok ruangan, meski api di dalamnya hanya tinggal bara merah yang berasap tipis. Aroma kayu pinus dan rempah samar memenuhi udara, bercampur dengan kesunyian yang anehnya terasa hangat.

Sara berdiri perlahan. Kakinya menyentuh lantai dingin, setiap papan kayu berderit halus seolah menyambut langkahnya. Ia berjalan ke arah jendela. Tirai lusuh tersibak, memperlihatkan pemandangan yang membuatnya tertegun.

Di luar pondok, sebuah danau membentang. Airnya jernih bagai kaca, memantulkan cahaya bulan perak yang menggantung rendah di langit. Di sekeliling danau, hutan rimbun menjulang, pohon-pohonnya tinggi dengan cabang berkilau seakan ditaburi bintang. Kabut tipis bergulir pelan di permukaan air, membuat suasana tampak seperti mimpi.

Sara membuka pintu pondok. Angin malam menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Ia melangkah ke teras kayu, matanya tak henti menatap danau yang memantulkan langit seperti cermin raksasa. Rasa kagum menyelubungi dirinya, tapi juga ada kegelisahan yang tidak bisa ia jelaskan.

“Di mana aku…?” bisiknya lirih.

Ia turun ke halaman pondok. Rumput basah menyentuh kakinya. Dengan hati-hati, ia berjalan mengelilingi pondok. Setiap sudut terasa asing sekaligus akrab, seolah ia pernah melihat tempat ini dalam mimpi. Namun rasa damai itu cepat terganggu.

Entah sejak kapan, ia merasa ada sesuatu yang memperhatikannya. Bulu kuduknya meremang. Bayangan samar bergerak di antara pepohonan.

Sara berbalik cepat—dan hampir menjerit.

Di hadapannya berdiri seorang pemuda. Tingginya hampir setara dengan Joe, tubuhnya tegap dibalut mantel panjang biru gelap yang dihiasi bordir emas. Rambutnya hitam keperakan, jatuh menutupi sebagian dahi, dan matanya tajam, biru sedalam lautan di malam hari. Wajahnya rupawan dengan garis halus aristokrat, namun ada ketegasan yang membuatnya tampak berwibawa.

Sara reflek meraih benda terdekat—sebatang kayu dari teras—dan menghantam ke arahnya.

“Hey! Hei! Berhenti!” teriak pemuda itu, menangkis cepat. Kayu patah di tangannya.

Sara mundur, wajahnya pucat. “Ja-jangan mendekat! Aku bisa melawan!”

Pemuda itu mengangkat alis, jelas menahan tawa. “Dengan kayu rapuh itu?”

Sara makin panik. Ia melirik ke arah pondok, berharap bisa lari masuk. Tapi dia takut kalau pemuda itu akan bergerak duluan, lalu berdiri menghadang dengan tubuhnya yang kokoh.

“Siapa kau? Dan apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya tegas.

Sara menelan ludah. “Aku… aku bahkan tidak tahu di mana ini!”

Udara malam semakin menusuk, membuat Sara spontan merapatkan kedua lengannya ke tubuh. Pemuda itu tidak bergerak mendekat, hanya menundukkan sedikit kepalanya, seolah memberi isyarat bahwa ia tidak berniat menyakitinya. Tatapannya lembut, meski penuh rasa ingin tahu.

“Aku… tidak bermaksud menakutimu,” ucapnya pelan. Suaranya berat namun hangat, seperti melodi yang menenangkan hati. “Tapi aku ingin tahu… rumah ini, bagaimana bisa ada di sini? Aku sering melewati danau ini. Tak pernah sekalipun aku melihatnya sebelumnya.”

Sara menelan ludah, mundur setapak. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena takut, melainkan juga karena sorot mata pemuda itu terasa menembus ke dalam dirinya. “Aku… aku juga tidak tahu,” jawabnya cepat. “Aku hanya… tiba-tiba sudah di sini.”

Pemuda itu mengangkat alis, seolah makin bingung. Ia tersenyum kecil—bukan senyum mengejek, melainkan lebih seperti senyum bingung yang justru membuat wajahnya semakin rupawan. “Jadi… kau tersesat ke dalam rumah yang bahkan tidak pernah ada?”

Sara merona, tidak tahu harus menjawab apa. Ia memilih berbalik dan berlari kembali ke pondok. Langkah kakinya berderap di atas teras kayu sebelum pintu ditutup terburu-buru di belakangnya.

Nafasnya memburu ketika matanya langsung tertuju pada cermin besar di ruang tengah. Kilau aneh yang tadi sempat ia lihat… kini hilang. Permukaannya kembali memantulkan dirinya dengan normal—hanya bayangan seorang gadis berambut gelap, wajah pucat, mata yang masih menyimpan ketakutan bercampur kebingungan.

Lihat selengkapnya