Malamnya, Alexa dan Axella menyiapkan buku-buku yang mereka perlukan untuk sekolah besok. Sebuah rak besar terpajang dalam kamar, rak dari jenis kayu terbaik yang diberi zat pengawet agar tidak dimakan oleh rayap. Rak ini ada di sebelah kiri pintu kamar, berisi buku-buku si kembar serta beberapa boneka kayu yang mereka mainkan saat kecil. Juga beberapa kotak perhiasan dan hiasan keramik dari berbagai penjuru negeri.
Setiap tahun, selalu saja ada yang membawakan mereka oleh-oleh keramik berbentuk pot dan hewan. Lalu di sudut yang lain ada lemari pakaian si kembar, pintunya paling sering dibuka saat pagi dan sore, keduanya selalu kebingungan memilih baju yang sesuai dikenakan hari itu.
Di tengah persiapan mereka, Axella membuka percakapan dengan saudari kembarnya,
“Alexa, kau tahu kenapa Arken menolak gadis kecil bergigi besar, si Brizi Hender itu?”
“Tidak. Aku tidak tahu. Kenapa?” Alexa berpura-pura bodoh.
“Sungguh kau tak tahu? Apalagi alasannya? Karena dia menyukaimu.” Axella menjawab dengan lugas kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Jangan bicara sembarangan, Axella...”
“Kau tidak percaya padaku?” Axella menyelidik.
Alexa melemparkan bantal ke wajah saudarinya. Jauh di lubuk hatinya merasa berbunga-bunga, seakan ada udara yang menggembungkan paru-parunya dengan cepat dan membawanya terbang ke angkasa. Mungkin seperti orang-orang bilang, tumbuhnya rasa suka karena terbiasa bersama itu memang benar.
“Bisakah aku tak mempercayai saudariku?”
“Eh? Jadi kau juga menyadarinya?” Axella menyelidik dan menyipitkan mata besarnya.
“Jangan mengejekku, padahal aku juga tahu... kau menyukai pangeran itu kan?” Alexa mencoba mengalihkan pembicaraan.
Wajah Axella memerah. Tentu saja, Alexa selalu tahu banyak hal mengenai dirinya. Ia berusaha keras untuk menahan senyum yang tiba-tiba melebar di bibirnya. Ia terbayang lagi wajah pangeran bertubuh proporsional dengan kulit yang hampir sama putihnya dengan dirinya.