The Kingdom of Parandore

G. Cha
Chapter #16

Duka Parandorian

Seorang pengawal menggedor pintu dengan keras dan buru-buru, Arken dengan sigap membukanya, pengawal itu terlihat panik dan pucat, alih-alih menyampaikan informasi penting, dia malah berteriak…

“PUTRI! RATUU!!!”

Sontak mereka berlima segera menuju ruang perjamuan lagi, jarak antara kamar dan ruang perjamuan itu tidak terlalu jauh, lebih tepatnya hanya satu belokan dan dipisahkan oleh dua ruang lain, ruang baca ratu dan ruang kosong yang digunakan raja untuk menyendiri. Setelah melewati dua ruangan itu mereka sampai di tempat prahara tadi.

Alexa, Axella, Arken, dan Saveriaz melihat ratu sudah tergeletak di lantai, berlumuran darah, tak berdaya. Sementara Dorothee membuang pisau belatinya.

Klaaang.

Raja Sanders terduduk menahan kepala Ratu Hileda di pahanya. Air matanya merebak, ia menangis tanpa suara.

“Aku tidak menyesal melakukan ini… ini adalah jalan yang kupilih. Aku sudah selesai menjalankan misiku.” ucap Dorothee.

“Dorothee… kau… keterlaluan, kau tidak boleh melakukan ini…” Raja Sanders tersedu-sedu dengan kondisi ratu yang sekarat,

“DIMANA JOVY?! PANGGILKAN DIA!!!”

“Aku menusuk tepat di jantungnya, dia tak akan terselamatkan.” kata Dorothee Davelthee yang menatap kasihan pada raja.

Dorothee mengucapkan mantra-mantra, dan tiba-tiba tubuhnya mulai mengeriput dengan cepat, seakan usianya bertambah tua dalam sekejap. Keriput di sekujur tubuhnya membuat tubuh itu seperti tidak berdaging dan tidak berotot.

Suara tulang pun terdengar patah-patah, bergemeretak satu sama lain, remuk dan mencuat ke berbagai arah di balik kulitnya, tapi tak satu pun tulang-tulang itu menembus kulit Dorothee. Setelah suara-suara tulang itu berhenti, sekarang terdengar suara pasir bergemerisik di balik kulit, dan seketika tubuh Dorothee Davelthee hanya seperti umbrukan kain lembek kering yang menjijikkan. Hanya tersisa kulit dan rambut saja, tanpa ada organ-organ lainnya.

Semua dibuat mematung oleh kejadian ini. Dorothee baru saja mengutuk dirinya sendiri. Kutukan yang membunuh dirinya sendiri, sangat mengerikan. Hampir serupa dengan kematian Miranda Orin. Serupa tapi tak sama. Dan keduanya sungguh membuat bergidik siapapun yang melihatnya.

“Apa yang terjadi?” Alexa dan Axella menghambur di samping sang ratu.

“Maafkan ibu nak, ini... semua... salah... kami...” ujar ratu terpatah-patah.

“Apa yang ibu bicarakan? Arken, Saveriaz, panggilkan Jovy kepala perawat istana!!!”

“Sudah ter-lambat... kalian... ha-rus menja-ga dir..ri...”

Perlahan Ratu Hileda memejamkan matanya, dia telah tiada. Kejadiannya cukup cepat, bahkan tak ada ucapan selamat tinggal. Raja dan yang lainnya menundukkan kepala, sementara Xipraa langsung dibawa ke penjara bawah tanah.

Alexa dan Axella memandang tubuh ibunya yang masih hangat dengan tak percaya. Suasana makan malam itu menjadi kelabu, bahkan di luar tampak hujan mulai turun. Mereka masih tetap belum bergerak, semua pada tumpuannya masing-masing, berusaha menyadarkan diri akan apa yang baru saja terjadi.

“Kita harus membawa Yang Mulia Ratu ke kamar, dan kita harus mempersiapkan upacara untuknya esok hari...” kata Paman Yaesha. Semua bisa mendengar suara Yaesha Flou yang bergetar, nadanya terdengar getir dan ada rasa kecewa yang sangat dalam di balik keputusan yang diucapkannya.

“Hmmh, iya...” kata raja kaku. “entahlah, Yaesha... tolong kau atur saja...” raja masih sangat terkejut dengan kejadian yang berlangsung singkat ini.

Tubuh ratu dibawa ke ruang pemandian di sisi kanan istana, raja dengan setia menemaninya, menggenggam tangan ratu yang sudah tak bernyawa, tangan itu terasa dingin lebih cepat dari yang seharusnya. Air mata Raja Sanders meleleh membasahi pipi dan jenggot putih-hitamnya, dia begitu kebingungan.

Keesokan harinya seluruh Parandorian dirundung duka. Kabar tentang ratu tercinta mereka, Yang Mulia Ratu Hileda telah meninggalkan mereka selamanya menyebar bak aliran deras air terjun. Kabar-kabar itu dibawa oleh burung-burung istana dan ditujukan pada para tetua desa. Dari situlah rakyat Parandore mendapatkan informasi tentang kematian ratu mereka. Mereka yang berada di Interleda dan sekitarnya berusaha untuk hadir ke istana, sedangkan yang lain yang tidak bisa hadir meletakkan karangan bunga di depan pintu rumah mereka sebagai tanda do'a dan penghormatan terakhir.

*****

Alexa, Axella, Arken, dan Saveriaz tidak menghadiri pemakaman. Mereka lebih memilih berdiam di taman dekat Sungai Clavair. Bukan bermaksud untuk tidak menghargai dan menghormati pemakaman ibu mereka, tapi mereka tidak sanggup berada di sana. Sebenarnya mereka sudah bersiap dengan pakaian berkabung, tapi kemudian Axella jatuh pingsan dan Alexa merasa tidak sanggup mendatangi prosesi itu.

Arken dan Saveriaz sibuk menghibur si kembar. Axella tak henti-hentinya menangis sampai kelopak matanya benar-benar membengkak. Alexa sudah lebih tenang dari saudarinya tapi ia hanya diam saja, tidak berbicara pada yang lain. Hatinya terasa kosong.

Kemudian dari balik semak bunga mawar, terlihat sosok yang sudah tak asing lagi bagi Alexa, pria dengan rambut putih panjang, dan kulit sedikit pucat dengan senyum menawan. Claizh.

“Siapa kau?” tanya Arken bersiaga, mencoba mengingat-ingat.

“Bukankah kau Claizh? Putra Panglima Yaesha?” timpal Saveriaz.

Claizh membungkuk pada kedua putri, ia tersenyum kaku pada Saveriaz.

“Teman-teman... ya, dia Claizh, temanku juga... kemarilah Claizh...” kata Alexa sambil menyeka matanya yang terasa sakit. Claizh mendekat dan memberikan buah apel pada Alexa dan Axella.

“Maaf, aku hanya ingin menyampaikan bela sungkawa. Ratu Hileda adalah ratu yang sangat baik dan bijak.”

“Terima kasih.” kata Alexa sangat lirih.

“Darimana kau tahu kami ada di sini?” Axella bertanya dengan suara sengau sambil menerima apel dari Claizh.

“Ayahku yang memberitahu. Aku sempat ke istana, dan kulihat kalian tidak ada di sana.”

Saveriaz merasa pernah bertemu dengan Claizh di suatu tempat, tapi ia tak bisa mengingatnya. Claizh yang menyadari kalau Saveriaz memandanginya, kemudian tersenyum lagi. Ia ikut duduk di samping Alexa.

“Kau pasti Pangeran Saveriaz kan? Kudengar kau menyerahkan sebagian kekuasaanmu untuk memimpin pada sepupumu ya? Rockaress wilayah yang cukup menarik di Parandore…”

“Memang…” kata Saveriaz, “dengan begitu aku bisa lebih leluasa menjaga Alexa dan Axella... perintah khusus dari raja.”

“Hei, jangan melupakanku Save! Aku juga diberi tugas itu...” sergah Arken tak terima. Ia melirik Claizh yang duduk dekat-dekat dengan Alexa.

Claizh memandang Arken yang kini balik memandangnya dengan tajam, dia pernah bertemu dengannya satu atau dua kali.

“Dan kau pasti Arken, putra Saudagar kain yang terkenal itu. Nama ayahmu sudah dikenal di penjuru Parandore.”

Arken mengangguk, “bagaimana kau bisa tahu tentang kami? Sementara kami tidak tahu tentang kau?”

“Bukan masalah besar kan? Aku hanya suka bertanya... pada ayahku. Lagipula aku ini bukan orang penting seperti kalian, tak ada gunanya kalian mengenalku.”

“Itu tidak benar.” Alexa mengeraskan suara dari yang sebelumnya, tapi justru suara serak yang keluar dari bibirnya. Claizh tersenyum pada Alexa.

“Tak apa Alexa… itu memang kenyataannya. Aku tak seperti ayahku.”

*****

Mereka berlima larut dalam pembicaraan. Claizh berpendapat, keberadaan Alexa dan Axella di sekitar istana justru tak aman. Karena pihak yang menginginkan mereka berdua tentunya akan berpikir untuk mencarinya di istana. Saveriaz juga setuju, tapi masih bingung harus mengungsikan Alexa dan Axella ke mana.

Lihat selengkapnya