Berjam-jam mereka menelusuri jalan besar di Mistrange. Semakin masuk ke desa ini, semakin terasa seperti desa mati tak berpenghuni. Udara semakin dingin, dan kabut lebih tebal, membuat ketiga manusia itu agak menggigil. Uap-uap mengepul dari hidung dan mulut mereka, mungkin mereka sudah mendekati Danau Vapar.
Setelah melewati sebuah tikungan dengan pohon lebat, dari kejauhan samar-samar terlihat nyala obor hijau dan terdengar pula keramaian,
“Apa kita sudah sampai?” bisik Alexa.
“Entahlah. Mungkin…”
Arken dan Saveriaz bersiaga. Akhirnya tampak jelas siluet-siluet yang sedang berbincang tadi, ada beberapa penyihir wanita buruk rupa, monster-monster air, dan duyung pemakan daging. Semua dalam wujud yang mengerikan. Tentu saja semua berbeda dari warga Interleda, Lerontaqia, Attermode, Sankalia, dan Rockaress, tapi entahlah dengan Wilayah tak Terjamah.
Mereka bertiga mengamati keadaan sekitar dan mencari tahu keberadaan Axella, tapi sejauh mata memandang yang ada hanya makhluk-makhluk mengerikan itu, sedang tertawa-tawa.
*****
“Aiiishhh... aku mencium bau manusia lain di sini...” kata duyung dengan sisik tajam dan gigi runcingnya.
“Mana? Katakan dimana! Biar kutangkap.”
"Aiiishhh... aku juga menciumnya. Dekat, sangat dekat..."
Arken, Saveriaz, dan Alexa bersembunyi di balik gundukkan tanah dan semak. Sesosok Lluma mendekati tempat mereka berada. Ada aroma busuk yang menguar dari tubuh Lluma itu, aromanya membuat perut terasa mual, aroma bangkai.
“Hhhhh, di mana mangsa kita?” Suaranya yang serak membuat bulu kuduk berdiri.
Lluma itu menajamkan mata dan penciumannya, serasa dekat tapi tak juga menemukan apa yang dicari. Ia berdiri cukup lama di sana, sekitar tiga meter dari persembunyian. Lalu mulai berjalan menjauh ketika merasa mungkin pencariannya sia-sia.
Alexa, Arken, dan Saveriaz tetap bertahan di posisinya, mereka tak bisa begitu saja melawan para monster dan Lluma di pusat kekuasaan mereka di Mistrange. Mereka bertiga semakin merapatkan diri ke tanah, tapi sial bunyi kemeresek semak di tanah lembap telah menunjukkan lokasi mereka pada Lluma itu.
”Hihihihiii, di sini kalian rupanya!” Penyihir jahat itu terkekeh sambil memegang tongkat panjangnya.
Mereka bertiga terperanjat, jantung berdetak tak keruan, tapi dengan sigap berdiri dalam pose melawan. Penyihir yang lain mulai berdatangan, dan yang paling dekat tanpa basa-basi mengutuk ke arah Alexa tapi terpental. Alexa mundur beberapa langkah menahan kutukan itu, badannya terasa panas dingin.
“Akhhhh... apa itu?” tanya Lluma bersuara serak.
“Dengar, kami tak ingin membuat kegaduhan, kami hanya mencari seorang teman.” kata Alexa pada penghuni Mistrange yang justru kelihatan senang mendapatkan mereka.
“Hihihihihi, teman? Teman yang mana?” Penyihir bermata kelabu mencemooh.
"..."
“Dan kau! Kenapa sihirku tidak mempan?”
Penyihir itu mengutuk lagi, tapi sekali lagi terpental.
"Oh, oh, oh... ya ya ya, pelindung dari Zorian hah?!”
Alexa memandangi gelang pemberian Claizh yang berkilauan.
“Apa kau... putri yang satunya itu hah?”
“Iya, aku seorang putri. Kumohon, katakan di mana saudariku!”
“Hwahahahaha... mohon? Hahaha, lihat! Putri ini memohon padaku. Bagaimana kalau sebagai gantinya kauserahkan matamu yang indah itu? Akan kujadikan sebagai mata kalung terbaruku…”
Belum sempat Alexa menjawab, Arken sudah bertindak, anak panahnya menembus leher si penyihir serak.
“Jangan macam-macam!” teriaknya pada penyihir yang terjerembab ke tanah itu, ia meraung-raung dengan kesakitan karena benda itu menancap tembus di lehernya.
Penyihir yang lain mundur perlahan-lahan, mereka tampak marah, sehingga membuat wajah mereka semakin buruk. Angin berembus lebih kencang. Para duyung yang ada di Danau Vapar menampakkan wujudnya lagi, beberapa hanya menampakkan setengah badannya, menyeringai menunjukkan gigi-gigi runcingnya dan mendesis hampir seperti ular.
Ada satu yang keluar dari air, ia duduk di bibir danau, perlahan ekornya menjadi kaki. Sisiknya berubah menjadi kulit manusia dengan beberapa bekas sisik di tangan dan wajah. Duyung itu memiliki leher dan kaki yang jenjang, mungkin dia adalah satu-satunya makhluk cantik di Mistrange, dalam wujud manusia, karena aslinya dia lebih mengerikan dari Lluma.
Makhluk-makhluk yang lain mundur ketika duyung itu melangkah maju. Ada hawa berat yang dirasakan Alexa, Arken, dan Saveriaz ketika duyung itu sepenuhnya menginjakkan kaki telanjangnya di tanah. Ia memiliki rambut keemasan dengan warna mata biru muda, secerah langit di siang hari. Beberapa butiran air masih menetes dari ujung rambut panjangnya, bibir pucatnya terlihat dingin dan perlahan menampakkan rona yang pas dengan bentuk wajah yang agak lonjong.
“Perkenalkanlah Tuan Putri, Aku adalah Murrissey, ratu penguasa Vapar…"
"Ratu penguasa Vapar? Maksudmu danau ini?" tanya Arken.
"Sepertinya kami mendapatkan mangsa yang bagus, Floopy-ku memang pintar. Tentu kami tak akan membebaskannya begitu saja.” ujar si duyung, tak mempedulikan Arken.
“Kau telah melanggar perjanjian Thaebuu! Penghuni Mistrange tak diperbolehkan keluar wilayah ataupun menyerang Parandorian lain!” bentak Saveriaz.
“Ya, ya, ya... lihatlah siapa yang berbicara... Pangeran Pembagian Wilayah Barat, Saveriaz Selvij.”
Serempak seluruh makhluk yang ada di sana tertawa mengerikan, beberapa malah terlihat menjijikkan dengan liur yang menetes-netes dari sudut mulutnya. Aroma busuk melayang-layang di udara hingga membuat pusing tiga manusia itu.
“Perjanjian Thaebuu hanya menjadi diskriminasi atas kami. Yang Mulia Berjubah Perak telah memberikan jalan yang terang bagi kami... semua dianggap sama dan boleh pergi ke mana saja di seluruh wilayah Parandore ini.”
“Apa?!! Siapa katamu? Saat ini raja di Parandore masih Raja Sanders.”
“Aahahaha..." Si duyung tertawa menjengkelkan.
"..."
"Kau tak perlu tahu sekarang, kalau sudah tiba waktunya untuk berkuasa, kalian akan mengetahuinya sendiri." Si duyung berjalan ke arah kanan, "Lalu, apa gadis itu yang kalian cari?” dia menunjuk sebuah bunga besar di dekat perapian yang berwarna biru.
Arken, Alexa, dan Saveriaz melihat arah yang ditunjuk. Perlahan kelopak bunga itu merekah, dan menunjukkan sosok Axella yang tak berdaya.
“AXELLA!!!”