Mereka menaiki kereta kuda lagi. Langkah kaki kuda-kuda itu berderap menembus hutan. Dengan yakin dan mantap mereka berenam menuju pemukiman Suku Zorian, satu-satunya suku pribumi yang menguasai Hutan Wanzoo.
Luas Hutan Wanzoo sendiri lebih dari dua kali luas wilayah Interleda, sembilanpuluh persen hutan ini masih benar-benar asri. Sisanya menjadi kayu bakar dan beberapa titik sudah tidak ditumbuhi pohon karena sudah menjadi kedai-kedai persinggahan.
Setelah hampir seharian penuh mereka berkuda, tanpa ada halangan dari makhluk gaib ataupun hutan yang membingungkan, mereka sampai di depan pohon yang amat besar. Alexa berulang kali menoleh ke belakang,
"Ada apa Al?” tanya Axella.
"Seperti... ada yang mengikuti kita...” ujar Alexa dengan mata mengawasi sekeliling.
"Mungkin hanya perasaanmu.” kata Axella.
"Iya, mungkin...” Alexa ragu.
“Jadi, ini adalah jalan kita menuju pemukiman Suku Zorian?” tanya Arken.
“Iya... satu-satunya jalan. Sebenarnya agak aneh perjalanan kita begitu lancar. Apa kalian tidak merasa suasananya terlalu hening?” Aracales bertanya.
“Iya… memang aneh.”
*****
Cain dan Saveriaz memacu kereta kuda lagi, melewati gerbang pohon raksasa. Baru saja duaratus meter melewati pohon besar itu, mereka dihadang oleh selusin orang dengan coretan cat putih di wajah dan sekujur tubuhnya.
“Berhenti!” teriak salah seorang yang berambut dikepang.
Kiiikk kiiikkkk kikkkkk...
Cain menghentikan kuda-kudanya dengan mendadak, menyebabkan orang-orang yang berada dalam kereta terhenyak ke depan dan belakang. Mereka berenam turun dari kereta, Alexa membantu memapah Arken yang belum sembuh benar.
“Apakah mereka Suku Zorian?” Alexa berbisik pada Aracales yang kemudian dijawab dengan anggukan.
Seorang laki-laki dengan rambut dikepang dari suku itu maju, Alexa juga memberanikan diri maju ke depan. Seperti menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukannya sebagai salah satu pewaris kebangsawanan Zalleire yang berkuasa di Parandore.
“Ada kepentingan apa kalian ke sini?” selidik orang berambut kepang itu.
“Kami ingin menemui Tetua Suku Zorian, Azooure.” jelas Alexa.
Orang itu memandangi Alexa dan teman-temannya, kemudian dengan cepat memegang tangan Alexa dan menyayat telapak tangannya dengan pisau kecil yang tersimpan di ikat pinggang, dalam sekejap darah dari luka sayatan itu mengalir, menetes dan dimasukkan ke tabung kaca sebesar kelingking.
“Aw!” Alexa menahan keterkejutan dan rasa perihnya.
“Hei!!!!” sembur Arken, tapi Alexa melambaikan tangannya, menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja. Itu sepertinya adalah tanda bahwa mereka diterima bergabung dengan Suku Zorian.
Arken menyobek bagian bawah bajunya dengan susah payah untuk membalut luka Alexa, tapi Alexa bersikeras bahwa lukanya tidak apa-apa. Kemudian mereka berenam digiring memasuki sebuah gua tak jauh dari jalan tadi, jalannya menurun, lebih rendah dari tanah yang mereka pijaki saat datang.
Tempat itu basah dan lembap, terdengar gemericik air menetes dari stalagtit gua. Lalu... mendadak mereka dibutakan oleh cahaya putih menyilaukan, hal itu terjadi dalam waktu yang singkat, sekitar dua atau tiga detik, dan tiba-tiba saja mereka sudah sampai di sebuah pemukiman dengan masyarakat yang menggunakan pewarna di tubuh mereka.
Mereka berenam berusaha menyesuaikan mata dengan cahaya tadi dan keadaan sekarang. Mereka bersama para penjaga berhenti di mulut gua. Dari tempat mereka berdiri, mereka bisa melihat tiap wanita sukunya memakai rangkaian tanaman rambat sebagai penghias kepala dan pergelangan tangan. Sementara kelompok yang pria, menggunakannya di lengan.
*****