Dari kejauhan mereka melihat ada seseorang yang berlari, dan tepat di belakangnya ada puluhan monster yang mengejar. Pria itu jangkung dan larinya sangat cepat. Dengan rambut putih berkilauan yang diterpa angin, Alexa langsung mengenali siapa orang itu.
"Claizh!” seru Alexa sambil mendekatkan kedua telapak tangannya ke mulut.
"Lariiiiiiii!!!!!” teriak orang itu tanpa mengurangi kecepatan berlarinya.
Mereka semua secara otomatis ikut berlari ke arah puncak. Tapi ketika monster-monster itu akan melewati rumah Xipraa, mendadak ada pagar sihir yang tidak dapat tertembus. Para monster itu meraung-raung dan menghantam-hantamkan tangannya pada pagar yang tak terlihat itu. Bunyinya seperti tinjuan pada tembok batu dan suaranya bergema, membuat siapapun yang mendengarnya akan ngeri apalagi jika melihat monster-monster bertubuh besar itu. Rakyat Parandore menyebut mereka Brig-Monster penghancur segala.
“Hei! Mereka tidak bisa lewat!” kata Cain.
Mereka berhenti berlari. Semua menatap Claizh Flou yang baru datang. Cukup lama para monster itu meninju-ninju dan memukul-mukul pagar sihir, hingga akhirnya mereka menyerah dan berbalik arah dengan geraman amarah. Wujud mereka seperti Troll bodoh, tinggi mereka hampir dua setengah meter, alis para Brig itu sangat tebal hingga terlihat mereka seperti monster yang selalu marah.
*****
"Apa yang terjadi Claizh?”
“Istana diserang, semua ditangkap."
"APA??!!"
"Beberapa yang melawan dibunuh. Meski aku sudah membunuh mereka, mereka terus saja berdatangan."
"Jumlah mereka banyak? Padahal yang mengejar kita ke Hutan Wanzoo juga banyak..." keluh Saveriaz.
"Mereka sangat banyak. Aku dan beberapa orang berhasil kabur. Kami terpisah, tapi mereka tak membiarkanku bebas begitu saja...” jawab Claizh terengah-engah, “Aku terus berlari, bersembunyi, dan menghindar dari dua hari yang lalu, tapi mereka terus saja menemukanku. Aku senang sekali bertemu kalian.”
"Istana diserang?!” Alexa membelalak, memikirkan ayah dan orang-orang di istana, seketika ia teringat dengan kata-kata Axella. Mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan informasi ini karena terus berpindah-pindah.
"Ya... Interleda kacau sekali...” papar Claizh yang masih menata napas, ia duduk di gundukan tanah dan batu, “Apa yang kalian lakukan di sini?”
Seakan mereka semua diingatkan oleh apa yang seharusnya mereka lakukan di Gunung Haiuurt. Menghancurkan kalung.
"Kita harus segera ke puncak gunung dan menghancurkan kalung ini!”
"Tidakkah kalian ingin kembali ke Interleda?” tanya Claizh dengan sopan, “Ayah kalian ditangkap, putri…”
"Tapi… Ini sudah dekat dengan puncak.”
"Mungkin kalung itu yang diinginkan oleh orang yang menyerang istana, tanpa kalung itu mungkin dia akan membantai seluruh penduduk Interleda… tapi itu hanya perkiraanku saja, seandainya aku adalah penyerang itu. Aku akan membutuhkan jaminan untuk tidak perlu membunuh orang-orang.” Claizh coba menjelaskan dengan lugas.
"Benar juga.” sahut Cain.
Alexa mencoba berpikir, Claizh mungkin saja mewarisi kemampuan ayahnya berstrategi,
“Arken… bagaimana ini?”
"Kalau si Jubah Perak itu mendapatkan Blackloz, itu akan sangat berbahaya.” Arken berpikir, ”Tapi keselamatan penduduk Interleda dan keluarga kerajaan harus diperhatikan.”
"Ayo kita kembali ke Interleda.” Axella memutuskan, tak ada waktu untuk berpikir lebih lama. Tanpa kalung-kalung itu, pasti si Jubah Perak berpikir tak ada gunanya membiarkan para tawanan untuk tetap hidup.
Mereka memutuskan untuk kembali ke Interleda, mereka harus menyelamatkan penduduk Interleda dan keluarga kerajaan. Selanjutnya mereka menuju ke kota paling besar di Parandore tersebut. Kota yang sekarang diduduki oleh para monster dan pemberontak, juga pengkhianat.
*****
Claizh berjalan mendampingi Alexa, membuat Arken merasakan panas di hatinya. Ia lebih sering membuang muka jika sesekali melihat Alexa dan Claizh berbincang. Axella dan Saveriaz yang menyadari gelagat Arken, mencoba menenangkannya, mereka berjalan agak di belakang.
"Tenanglah Arken...” kata Axella lirih.
"Ada yang tidak kusukai dari orang itu...”
“Kurasa kau cemburu.” Saveriaz menambahi.
"Mana mungkin aku cemburu pada pria seperti itu…?” kilah Arken.
"Percayalah padaku… kau itu sedang cemburu Ar.” tekan Axella.
"..."
“Bukankah kau sudah berciuman dengannya?” Saveriaz bertanya lagi. Kali ini Arken memandang Saveriaz terkejut.
“Apa maksudmu?” Arken menahan mukanya yang memerah. berpikir dengan keras apa mungkin Saveriaz mengetahuinya. Tapi sepertinya dia memang tahu.
“Kau pikir aku benar-benar tidur ya di rumah Si Kauerdle itu?” Saveriaz memasang tampang menyelidik.
“...” Arken diam saja.