Axella menoleh pada saudarinya. Kemudian ia mendapati Arken yang sudah tak bisa membendung air matanya lagi, ia menggenggam jemari Alexa lebih erat, sesenggukan. Lalu ia melihat Saveriaz yang diam mematung padanya mencoba sopan karena Putri Alexa yang ternyata harus meninggalkan dunia ini, ia membelai rambut Putri Axella.
Ia bisa merasakan kepedihan Arken, ia tahu Arken sangat mencintai Alexa, betapa besar cintanya pada Alexa. Mereka saling mencintai. Hanya saja mereka belum benar-benar sempat mengungkapkan. Ia pun ikut menangis dalam diam. Hatinya pedih dan pilu. Axella memberi tanda pada orang-orang di ruangan agar tidak mendekatinya dulu.
“Save...” ucapnya lemah. Menoleh pada Saveriaz lagi.
“Iya...” Saveriaz berjongkok di samping ranjang.
“Aku harus mengatakan ini.” Axella menelan ludah. Getir. “Kau tahu? Seharusnya kau tahu... bahwa aku sangat mencintaimu. Tentu kau sadari itu sejak dulu...”
Saveriaz terdiam. Ia tak ingin mengatakan hal yang membuat hati Axella terluka.
“Jangan banyak bicara... kau masih terlalu lemah...”
“Dengarkan aku Save... aku tahu satu hal darimu... kau memang sangat peduli padaku, kau begitu bertanggung jawab atas perintahmu menjagaku... tapi...”
“...” Saveriaz menunggu Axella melanjutkan kata-katanya.
“Tapi tak pernah sekalipun kau mencintaiku...” Axella mengatakannya dengan senyuman rapuh. Matanya berkaca-kaca. Ia merasakan dadanya sesak dan sakit, hatinya hancur berkeping-keping. Keyakinannya selama ini untuk bisa menjadi gadis yang dicintai Saveriaz akhirnya runtuh juga.
Saveriaz terbelalak.
“Apa yang sedang kau bicarakan?”
Arken ikut memperhatikan Axella. Tapi tangannya terus menggenggam tangan Alexa yang semakin memucat.
“Tapi aku lega akhirnya aku mampu mengungkapkannya... setelah sekian lama aku memendamnya. Aku selalu berharap suatu saat kau akan bisa mencintaiku... akan menjagaku dengan cinta. Bukan menjagaku karena perintah. Tapi, hingga kini... aku tak merasakan getaran itu darimu...” Axella tersenyum. Ia telah memutuskan satu hal yang pasti. Tangan kirinya menggenggam tangan kanan Alexa.
“Axella...” Saveriaz memanggilnya.
Axella menoleh lagi, membelai pipi Saveriaz. Membiarkan Saveriaz mencium keningnya, kemudian Axella berbisik di telinga Sang Pangeran...
“Temukan cinta sejatimu, dan hidup bahagialah bersamanya.”
"..."
Axella memandang Alexa, sebenarnya ia bisa mendengar apa yang didengar saudarinya. Ia bahkan tahu bagaimana Azooure mengatakan bahwa Alexa akan menjadi seorang ratu yang hebat. Ia telah melihat banyak pengorbanan, kini ia pun ingin melakukannya. Axella menggumamkan sebuah kalimat,
“Belum terlambat... tukarkan jiwaku untuk jiwanya.”
Lalu Axella berkomat-kamit dan tiba-tiba tubuhnya terdiam.
*****
Mata Axella terpejam...
Untuk selamanya…
Tubuhnya makin lama makin memudar...
Entah apa yang diucapkannya...
Hingga akhirnya ia menghilang bersamaan butiran-butiran cahaya yang menguap.
Saveriaz menundukkan kepalanya sangat dalam. Apa yang telah ia lakukan? Tapi, memang benar. Ia hanya melaksanakan tugas. Ia tak bisa mencintai Axella seperti Arken mencintai Alexa. Tak pernah bisa, sekalipun dipaksa berjuta kali. Ia sama sekali tak mempunyai perasaan itu untuk Axella, gadis yang selama ini dilindunginya.
Semua terdiam. Dalam genangan air mata mereka merelakan kepergian Putri Axella Zalleire, sosok gadis yang penuh dengan rasa ingin tahu itu.
“Kita akan menunggu Putri Alexa tersadar... tapi kuharap kalian bersedia meninggalkan mereka berdua sendiri.” ujar Jovy sambil melihat Arken.
Semua paham dengan keadaan ini, maka mereka pun keluar. Membiarkan Arken menjaga dan merawat Alexa sementara waktu.
*****
Hingga lewat tengah malam, Alexa belum juga tersadar. Arken masih tetap setia menemaninya. Bibi Flauretta membawakan bubur untuk Arken dan segelas coklat hangat. Kemudian Bibi Flauretta keluar.
Arken duduk di kursi dekat ranjang tempat Alexa berbaring. Tak menoleh pada makanan yang dibawakan Bibi Flauretta untuknya. Ia terus menggenggam tangan Alexa dan membelai rambutnya, sesekali ia mencium bibir dan kening Alexa sambil menitikkan air mata.
“Bangunlah Al... bangunlah. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau mendengarnya saat kau sadar... bangunlah Al.”
“...”
“Kumohon. Jangan seperti ini."
"..."
"Aku tak sanggup melihat ragamu terbaring tak berdaya seperti ini... bangunlah Alexa, kumohon...”
Ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Arken masih tetap terjaga. Tak ingin sekali pun meninggalkan Alexa. Bahkan untuk sekadar mencuci muka ataupun makan. Mata Arken mulai berkantung dan menghitam karena belum sempat istirahat.
Hingga akhirnya, tangan Alexa bergerak dalam genggaman Arken, Arken terhenyak.
“Alexa...?”
"..."
Alexa membuka matanya perlahan, tersenyum melihat Arken di dekatnya.
“Kau… jelek sekali... kenapa matamu sembab?” tanya Alexa yang masih lemah, suaranya sangat lirih, tapi itu cukup untuk membuat Arken merasa sangat senang. Membuatnya begitu lega.
Arken langsung memeluk Alexa. Mendekapnya erat sekali.