Empat belas hari sebelum ledakan.
Seorang pria berusia di atas empat puluh tahun sedang bolak-balik di depan ruang operasi. Tak dapat dihitung lagi sudah berapa kali orang itu melalui jalan yang sama dengan sebelumnya. Dan juga tak tahu berapa jumlah langkah yang telah ditempuh oleh kakinya. Namun semua itu tak membuatnya letih. Hanya yang jelas terlihat di wajahnya adalah guratan segudang kekhawatiran. Khawatir yang telah menyatu dengan rasa takut.
Ia melangkahkan kaki menuju jendela kaca yang ada di sudut kanan. Pandangannya menembus kaca tebal itu. Menyaksikan orang-orang sedang lalu-lalang di sekitaran tempat parkir. Dan di sana terlihat seorang perawat yang sedang berlari.
“Ya Allah, tolong selamatkanlah,” bibirnya terus bergetar dengan doa.
Di luar sana, matahari sudah melewati puncak langit sejak beberapa menit lalu. Walau masih terhitung siang, hari ini terasa tak begitu panas. Karena sesekali angin kencang, membawa kesejukan buat orang-orang yang berada di halaman rumah sakit.
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Ia melepas masker berwarna hijau yang dikenakannya. Wajah bersih bersinar tepancar dari wajahnya. Senyum khas yang hampir dimiliki oleh semua petugas kesehatan mampu menurunkan taraf kecemasan setiap keluarga korban yang ditemuinya. Seperti itulah juga dokter tersebut.
“Maaf, Dok. Bagaimana keadaan istri saya?”
“Alhamdulillah baik.” Ia mengulurkan tangan yang sudah tidak menggunakan sarung tangan lagi. “Selamat ya, Pak. Bapak berhasil memiliki seorang putra.”
“Alhamdulillah, terima kasih ya, Dok.”
Wajah yang sedari tadi dipenuhi rasa ketakutan, seketika itu berubah jadi cerah. Ada seberkas kebahagiaan terbias di sana.
“Banyak berterimakasihlah pada Tuhan. Kami hanya menjalankan tugas.”
Sang dokter mempersilakan orang itu masuk untuk melihat anak dan istrinya yang baru saja melahirkan. Setelah itu, ia melangkah meninggalkan ruang operasi. Walau terasa letih, ia tetap sangat bahagia. Tak henti-hentinya ia tersenyum.
Dalam sekejap gerakan satuan waktu, wajah sang istri pun hadir dan masuk menembus alam pikirnya. Saat ini, kekasihnya itu sedang hamil. Usia kandungannya telah memasuki bulan kedelapan. Sehingga, ia berharap proses persalinan sang belahan jiwa juga bisa berjalan lancar seperti pasien yang tadi. Sebuah kesyukuran yang amat tinggi ketika kelak meraka benar-benar bisa memiliki anak yang sudah dinantikan sejak dahulu.
Langkahnya terhenti, setelah sampai di depan pintu ruangan kerjanya.
“Maaf, Dok.” Suara orang yang sedang ngos-ngosan terdengar dari belakang.
Ia membalikkan badan untuk mencari pemilik suara itu. Ternyata yang datang adalah seorang perawat yang sangat dikenalnya. Napasnya naik turun tak beraturan. Sepertinya, ia baru saja berlari lumayan jauh.
“Ada apa, Win?”
“Maaf, Dok...,” ia belum mampu berbicara dengan normal, “anuuu...,” ia tak bisa melanjutkannya.
“Tenangkan dirimu terlebih dahulu.”
“Dok.”
“Iya, kenapa?”
“Sudah berulang kali orang dari rumah menghubungi Bapak.” Ia masih mencoba menenangkan diri.
“Ada apa?”
“Beberapa saat lalu, istri Bapak kecelakaan.”
“Apaaaa?” kata tanya yang sebenarnya tidak berisi pertanyaan.
Ia kaget bukan main. Bukankah istrinya saat ini sedang hamil tua. Jangan sampai terjadi yang tidak diinginkan. Tubuhnya seketika itu hambir roboh. Untunglah masih ada perawat yang selalu menjadi asistennya itu lebih sigap menahannya. Namun, ia masih kaku seperti orang yang tidak memiliki energi lagi.
“Dok?” Winda menggoyangkan Dokter Harlan.
Sang dokter tersadar lagi. “Ambil ini.” Ia menyerahkan sebuah map hijau berisi catatan riwayat perawatan pasien.
Ia tidak lagi masuk ke ruangannya. Dokter yang biasa disapa dengan Dokhar itu langsung berlari menuju lift. Beberapa kali ia menekan tombol di dekat pintu masuk, tapi ruang berjalan naik turun itu tak terbuka. Ia memilih untuk menuruni anak tangga. Mungkin dengan lewat tangga ia bisa lebih cepat sampai karena saat ini ia hanya ada di lantai dua.
Orang itu tidak bisa begitu cepat berlari karena masih mengenakan seragam scrub yang dikenakan tadinya. Dokhar hanya sempat membuka masker dan sarung tangan saja. Apron yang masih mengikat di badannya benar-benar memperlambat langkahnya.
Setelah sampai di tempat parkir, ia langsung membuka pintu mobil. Ia melepas pakaian operasi dan penutup kepalanya itu lalu melemparnya ke jok bagian belakang.
Mobil bergerak dengan pelan keluar dari tempat parkir. Setelah sampai di jalan utama, ia tancap gas. Di wajahnya terurai sekat-sekat kecemasan yang mendalam. Semuanya berkumpul menjadi satu dan terkoneksi langsung ke dalam jiwanya.
“Semoga kamu baik-baik saja,” bisiknya dengan pelan ke dalam hati.
Tak henti-hentinya ia berharap, semoga sang istri tercinta tetap baik-baik saja. “Ya Tuhan, selamatkan istri dan anak hamba.”
Mobil putih itu terus melaju dengan kencang, ia memasuki sebuah jalan yang tidak terlalu ramai. Sehingga dia bisa menaikkan terus kecepatannya.
Sudah tiga puluh menit lebih waktu berlalu. Wajahnya masih diselimuti kebimbangan. Sesekali ia memukul-mukul setir dengan telapak tangan bagian bawahnya. Berharap dengan begitu, itu bisa sedikit mengurangi kecemasannya. Harlan terus mempertahankan tekanan kakinya di atas pedal gas. Walau sesekali kecepatan mobilnya menurun ketika sedang melewati tikungan.
Tiba-tiba mobilnya berasap dan oleng ke sebelah kanan. Sedang dari depan seorang pengendara motor juga berada pada kecepatan tinggi. Dokter itu membanting setir dan menginjak rem dengan keras. Seketika itu, adrenalin dalam tubuhnya terproduksi dengan cepat. Jantungnya berdegup kencang. Sedang seluruh ototnya terasa tegang seperti sedang disetrum listrik bertegangan tinggi. Perasaan takut bercampur kaget menyatu dalam bulir-bulir keringatnya. Keringat dingin yang membungkam sendi-sendi tulangnya.
Bersamaan dengan arah dari depan, motor besar terus melaju. Walau pengendara itu mencoba menghentikan dengan menginjak rem belakang ditambah rem tangan, tapi belum bisa juga langsung berhenti. Tak lupa juga ia mengoper gigi persneling agar mesin pun tak bisa membantu motor untuk berhenti. Tapi nyatanya kendaraan roda dua itu masih terus bergerak. Yang terjadi adalah ban belakang bergerak tidak stabil sehingga goyang ke kanan dan ke kiri. Terdengar jelas gesekan kasar antara ban dengan aspal.
Ssst.
Untungnya, motor itu berhasil menghindar dari mobil tersebut yang sudah diam beberapa saat lalu. Pengendara motor berjaket hitam itu masih sigap menghindar walau hanya sekian senti tepat di samping kaca spion mobil. Hebatnya, motor itu tak berhenti. Ia langsung tancap gas lagi, membuat segalanya seolah tidak terjadi apa-apa.
Dokter Harlan menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan. Dalam tenggorokannya seperti ada duri besar yang baru saja berhasil dikeluarkan.
“Syukurlah.” Ia menata kembali perasaannya lalu membuka pintu mobil. “Sepertinya orang itu baik-baik saja.”
Setelah melihat orang itu menghilang dari pandangan, ia masuk lagi untuk melanjutkan perjalanan. Kunci yang masih melekat di tempatnya, ia putar.
Cit cit.
Suara mobilnya berdecit, tapi tak bisa kembali hidup. Berulang kali ia starter, tapi hanya bunyi sementara lalu mati lagi.
Mogok.
Dokter itu keluar. Melihat ke kiri dan ke kanan. Seluruh arah mata angin ia sapu dengan pandangannya. Tetapi, tak ada bengkel yang terlihat. Yang ada hanyalah jejeran ruko biasa dan beberapa penjual makanan. Ia mengambil tasnya lalu mencari tempat untuk sejenak berteduh dan berpikir. Barangkali di sana ia akan menemukan solusi.