Lima hari sebelum ledakan.
Dokter Harlan terus mencari keadilan atas perlakuan oknum polisi lalu lintas yang membuatnya terlambat sampai ke rumahnya. Berulang kali ia ke kantor polisi untuk melaporkan hal tersebut. Berulang kali pula, ia hanya disuruh bertemu dengan petugas yang berbeda. Bak bola pingpong yang dipukul ke sana kemari dalam permainan tenis meja. Seperti itulah yang dirasakannya.
Padahal dahulu ketika di rumah sakit, setiap pasien yang datang, ia langsung menanganinya. Tak pernah sekalipun ia mempersulit mereka. Bahkan tak jarang, saat ada pasien yang kurang mampu datang ke rumahnya, ia gratiskan pengobatannya. Sebelum pulang, ia tak mau tamunya itu kembali dengan tangan kosong. Ada-ada saja yang bisa diberikan sebagai oleh-oleh buat mereka. Begitulah wujud totalitas layanan prima yang ia berikan kepada pasiennya.
Tapi mengapa kehidupan begitu menyiksanya. Apa yang ia lakukan selama ini, terasa berlawanan dengan yang diperolehnya dari orang lain. Ibarat memberikan madu dengan tangan kanan, namun sebaliknya memperoleh racun dengan tangan sebelahnya.
Pikiran banding-membandingkan terus mencoba menggorogoti alam bawah sadarnya. Walau berulang kali ia tepis, sebagai manusia biasa, pikiran itu terus ada membayanginya dalam berjuang mencari keadilan. Terus melangkah, sampai mungkin ia tak mampu mengangkat kakinya lagi.
Dan sampai pada akhirnya, keadilan yang ia tuntut pun hanya berujung pada titik buntu. Tak ada yang mau bertanggung jawab. Tak ada solusi. Dan juga mungkin tak ada yang peduli.
“Sabar ya, Pak.”
Kalimat singkat itu sudah tak dapat dihitung lagi berapa kali telah masuk melalui kedua indranya. Kalimat yang sesungguhnya telah ratusan bahkan ribuan kali sudah terdengar ketika istrinya hendak dan setelah dimakamkan. Nahasnya, di kantor polisi itu juga ia dengar lagi. Benar-benar membuatnya semakin tak mengerti, mengapa dunia ini begitu kejam padanya.
Pada interval waktu yang membuatnya lelah, ia hanya bersua dengan kekecewaan. Kecewa itu tidak sekadar datang begitu saja, namun ia datang sekaligus mengubah hidup Harlan. Semakin hari, semakin tak karuan. Ia tak pernah lagi merawat dirinya. Bahkan untuk makan pun bisa dihitung jari jumlahnya.
Penampilannya telah ikut berubah. Dia tidak lagi seperti dokter pada umumnya yang berpenampilan menawan. Rambutnya telah berantakan lalu menutupi bagian dahi sampai sebagian matanya juga tak terlihat lagi. Karena tidak pernah mencukur, kumis dan cambangnya juga mulai tumbuh.
Kehidupannya semakin buruk, tiba-tiba ia mendapatkan surat pemecatan yang tak jelas alasannya. Padahal sudah lebih dari sepuluh tahun ia mengabdi di rumah sakit itu. Banyak suka cita ia telah lalui di sana. Pada masa sulit pun, ketika rumah sakit di ambang kebangkrutan, ia tetap persembahkan dedikasinya dalam melayani masyarakat. Waktu itu, banyak tenaga medis yang memilih untuk berhenti dan mencari tempat kerja lain. Tapi, ia berbeda. Harlan tetap menjadi dirinya sendiri. Berdiri dengan konsisten di atas prinsip bahwa tugas utama dokter adalah mengobati. Walau biaya jasa medis tak diberikan karena dipakai untuk menutupi kerugian biaya manajemen. Namun, ia tetap bersabar menerima keadaan tersebut.
Semua itu benar-benar mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat. Kehidupan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Bahkan dalam lintasan pikiran pun itu tak pernah muncul.
Hari ini, Harlan sedang sibuk mengemas barang-barangnya. Masih banyak berkas-berkas pribadi yang harus diambil di ruang kerjanya. Semuanya ia masukkan ke dalam kotak besar berwarna biru.
Salah seorang perawat bernama Winda hanya bisa menatap sedih orang itu.
“Bisa-bisanya mereka berbuat begitu pada Dokter.”
Harlan terus mengemas barang-barangnya. Ia juga tidak lupa membuka lemari yang ada di samping mejanya.
“Mentang-mentang direktur baru, mau main ganti semaunya saja.”
Telah terjadi perubahan struktur manajemen rumah sakit secara besar-besaran. Mulai dari direktur sampai beberapa kepala bagian yang direformasi. Tidak hanya Harlan, terdengar beberapa dokter senior juga didepak dari posisinya.
“Giliran rumah sakit sudah baik, mereka seenaknya main pecat.”
“Winda, sudahlah. Jangan sampai kamu juga bernasib sama dengan saya.”
“Tapi…,”
“Sudahlah.” Ia selesai mengemas barang-barangnya. “Saya juga tak tahu harus berkata apa. Tapi, beginilah kehidupan. Semoga kamu tidak bernasib buruk seperti saya sekarang ini.”
Harlan keluar dari ruangannya dengan membawa barangnya sendiri. Ia menyusuri jalan yang seperti lorong panjang baginya. Sedangkan Winda hanya bisa mengikutinya dari belakang.
Di luar, di dekat pintu masuk utama, orang-orang sedang ramai. Bukan hanya pasien beserta keluarganya yang ada, namun banyak tamu yang berdatangan. Ada pejabat pemerintahan, pengusaha dan juga puluhan wartawan yang datang. Hari ini merupakan acara peresmian direktur baru.
“Direktur baru kita itu alumni luar negeri. Masih muda dan pastinya gagah,” ucap salah seorang perawat yang berada di kasir.
“Tidak hanya gagah, ternyata dia juga anak pejabat,” perawat lain menambahkan. “Pastinya orang seperti itu juga cerdas.”