The Last Dinner

Hari Basuki
Chapter #6

KORBAN NOMER 2

Sebuah mobil MVP terparkir di pinggir jalan sepi, tersembunyi dari jangkauan kamera pengawas sebuah rumah mewah. Pagar yang tinggi dan pintu gerbang yang tertutup rapat membuat rumah itu lebih mirip benteng. Di balik kemudi mobil MPV, si pembunuh mengawasi situasi sambil menggaruk cambang palsu yang menempel di pipinya. Sebenarnya ia merasa sedikit terganggu dengan cambang palsu yang digunakan. Selalu menyebabkan rasa gatal yang menggelitik pipinya. Tapi tidak ada pilihan lain karena cambang dengan di tambah rambut palsu dapat merubah penampilannya menjadi berbeda sama sekali. Ia lalu kembali mengawasi situasi rumah mewah itu. Sebuah jendela kamar yang terbuka di lantai atas menarik perhatiannya. Sekilas diantara lambaian tirai jendela yang tertiup angin terlihat wajah calon korbanya, Jonas.

Kesempatan ini akhirnya datang juga, kata si pembunuh dalam hati.

Hanya empat orang yang berada di dalam rumah itu. Jonas dengan tiga orang yang anak buahnya. Si pembunuh mengukur hambatan yang akan menghadang. Bukan masalah untuk memasuki benteng itu, pikir si pembunuh. Ia telah mempersiapkan semuanya. Topi untuk menghalangi kamera pengawas menangkap gambar wajahnya dan jaket berlogo jasa layanan pesan antar online untuk menyamarkan identitasnya.

Sejenak ia memeriksa pistol berperedam miliknya. Ia mengokang pistolnya kemudian disembunyikan di balik jaket. Setelah menyambar setumpukan kotak piza yang telah disiapkan, ia lalu turun dari mobil.

Si pembunuh dengan tenang mendatangi rumah mewah incarannya. Letak kamera pengawas telah ada dalam kepalanya hingga ia tahu betul sisi sebelah mana supaya wajahnya tidak terekam disana. Setiba di depan rumah, ia memencet tombol interkom yang terpasang di samping gerbang. Tidak lama terdengar suara lewat speaker interkom.

“Ada perlu apa” terdengar suara laki-laki dengan nada curiga.

“Piza.” Si pembunuh sengaja menyamarkan suaranya.

“Anda salah alamat. Di sini tidak ada yang memesan.”

Si pembunuh menggaruk topinya, berlagak kebingungan.

“Tapi alamatnya cocok, tidak mungkin salah.” Ia lalu menyebut alamat rumah dengan mewah itu dengan tepat, lengkap dengan ancar-ancarnya. “Lagi pula semua sudah dibayar, anda tinggal terima.”

Hening sesaat. Terdengar suara “klik” pertanda kunci terbuka.

“Oke, anda masuk saja.” Suara dari interkom kembali terdengar.

Si pembunuh tersenyum. Ternyata mereka seperti orang kebanyakan. Selama hal itu tidak mengeluarkan uang, apapun akan mereka terima dengan senang hati. Si pembunuh menggeser pintu gerbang lalu melangkah masuk menuju pintu rumah.

Setelah memencet bel, tidak perlu waktu lama untuk menunggu pintu terbuka. Seorang dengan perawakan tegap berdiri di depannya.  Senyum langsung mengembang begitu ia melihat tumpukan kotak piza di tangan si pembunuh.

Seperkian detik! Itu saja yang dibutuhkan oleh si pembunuh untuk menilai situasi yang ada di dalam ruangan. Lewat bahu lelaki tegap dihadapannya, mata si pembunuh menyapu ruangan di belakang pria tegap seolah mesin scanner berkecepatan tinggi, memindai setiap detil ruangan. Di meja makan, dua orang lelaki lain sedang bermain kartu. Beberapa kaleng kosong minuman beralkohol bergeletakan di antara kartu yang yang sedang dimainkan. Perhatian mereka saat ini sedang terpusat dengan kartu-kartu di tangan mereka.

Harus bergerak sekarang, kejutan adalah factor penting dalam situasi seperti ini, pikir si pembunuh. Dan itu ada di pihaknya saat ini.

Lelaki tegap itu masih tersenyum saat menerima tumpukan piza. Tapi senyumnya dengan cepat sirna saat melihat laras pistol berperedam yang dipegang si pembunuh mengarah kepadanya.

“Apa maksud an-”

Lelaki itu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Sebutir peluru dengan cepat menembus jantungnya. Bersamaan dengan suara pistol yang mendesis, mirip suara minuman bersoda ketika dibuka tutupnya.

Satu!, si pembunuh mulai berhitung.

Lihat selengkapnya