Sebuah mobil melaju dengan cepat menembus kegelapan malam. Di dalamnya tampak Danang mengemudi dalam diam, pandangannya lurus ke depan, fokus mengawasi jalan yang akan dilaluinya.
Dengan menyesal saya mengabarkan, istri anda telah meninggal.
Kalimat itu terus terngiang di kepalanya. Tanpa sadar ia menginjak pedal gas makin dalam.
Sanjaya yang duduk di sebelahnya, sesekali memperhatikan. Menerka perasaan yang ada di hati Danang.
Tidak sampai sejam kemudian Danang memasuki sebuah ruangan yang dingin, dikelilingi tembok putih senada dengan warna lantainya yang bersih mengkilap. Aroma disinfektan tercium kuat memenuhi ruangan. Di tengah ruangan, di atas sebuah brankar terbaring sosok Tania berselimutkan kain putih bersih sebatas dada.
Langkah lebar Danang mendekatkan dirinya brankar, lebih cepat dari Sanjaya dan seorang polisi berpakaian preman yang membuntutinya. Danang memperhatikan wajah istrinya yang terbaring, ada sedikit bilur kebiruan di dahinya.
Dalam tidur abadinya, kecantikan Tania tidak memudar. Sedikit lekukan di kedua ujung bibirnya memberi kesan Tania sedang tersenyum dalam tidurnya. Hanya mata yang terpejam dan tidak adanya hembusan napas yang menandakan Tiana sudah meninggal.
Ia pasti sedang tidur, entah apa yang ada dalam mimpinya, pikir Danang.
Bola mata Danang bergerak-gerak, menelisik setiap lekuk di wajah istrinya seolah sedang memahat setiap lekukan itu di dalam otaknya.
“Kecelakaan tunggal.” Terang seorang petugas polisi yang mendampingi Danang. Ia masih terengah-engah ketika mengikuti langkah cepat Danang menuju tempat ini.
“Bagaimana kejadiannya?” Sanjaya bertanya, mencari keterangan.
“Tidak ada saksi mata yang melihat langsung kejadiannya. Tapi kalau melihat jejak ban di aspal dan bukti lain, sepertinya korban kehilangan kendali.” Petugas polisi berbicara sambil melihat buku catatan kecil di tangannya.
Tania tidak pernah kehilangan kendali mobilnya. Ia selalu berhati-hati penuh perhitungan.
Danang merasakan tepukan pelan Sanjaya di bahunya.
“Aku turut berduka, Tania sudah seperti anak ku sendiri.”
Danang hanya terdiam, dia ingin menyimpan duka ini sendiri.
Duka ini milikku, bukan untuk orang lain.
___________
Suara batuk kecil Kinaya menyadarkan Danang. Ia merasakan wajahnya terasa panas.
Ia pasti mengira aku cengeng.
“Kamu sendiri? Sudah lama menyukai fotografi?” Danang mencoba keluar dari situasi canggung yang terjadi.
Kinaya meletakan cangkir kopinya. “Tidak terlalu lama, sejak aku suka menulis. Blog ku perlu gambar-gambar yang bagus untuk menguatkan apa yang aku tulis.”
“Ohh, penulis blog.” Tatapan kagum terlihat jelas di mata Danang.
Entah kenapa Danang selalu merasa kagum dengan kemampuan seorang penulis. Terkadang tulisan mereka dapat mengirimkan pesan-pesan rahasia yang hanya bisa ditangkap oleh hati.
Kinaya berdiri sambil membawa piring dan peralatan bekas makan di tangannya.
“Dapur di sebelah sana bukan?”
Dalam keheranan, Danang mengangguk. Ada pertanyaan dalam matanya.
“Kamu sudah memasak, sekarang giliran ku untuk bersih-bersih. Tidak etis rasanya, makan gratis tanpa melakukan apa-apa.” tanpa menunggu jawaban ia berjalan dengan ringan menghilang di pintu dapur. Danang tertegun lalu cepat-cepat membereskan sisa peralatan makan yang masih tertinggal. Tanpa sengaja kakinya menendang jatuh tas kecil milik Kinaya yang ditaruh di lantai. Ia membungkuk, bermaksud mengembalikan tas pada posisi semula. Saat memungut tas sebuah benda menyembul keluar menarik perhatiannya.
Entah kenapa nalurinya menuntun Danang membuka tas Kinaya, mencari tahu lebih jauh. Wajah Danang langsung membeku ketika menyadari benda itu adalah gagang dari sepucuk pistol berperedam. Pistol yang telah mengambil nyawa Jonas dan tiga orang anak buahnya.
Siapa dia sebenarnya? Pikir Danang curiga sambil memandang ke arah dapur, tempat Kinaya berada. Sebuah perasaan tidak nyaman menyelimuti dirinya.
Danang mengembalikan tas Kinaya ke posisi semula lalu bergegas menuju dapur sambil membawa sisa peralatan makan yang masih tersisa di atas meja.
Pintu dapur terbuka lebar, nyaris seperti dibanting saat Danang mendorongnya dengan keras. Peralatan makan ditaruh sekenanya di meja dapur. Lebih tepat dilempar Danang.
“Kinaya! Apa maksud kamu sebenarnya?”
Kinaya yang terkejut meninggalkan cucian piring yang sedang di kerjakannya. Wajah marah Danang kini memandangnya.
“Maksud kamu?” Kinaya berkata heran.