(Stream "My Neighbor Totoro (となりのトトロ)" by Azumi Inoue for a Better Reading Experience)
____________________________________________
Aku membanting diriku diatas kasur sepulangnya kerumah. Sejak kejadian di kantin tadi pagi, Sabina dan Karel jadi menghantuiku. Membayangkan sahabatku itu teleponan dengan seorang laki-laki. Geli sendiri aku membayangnya. Aku tersenyum meledek, dan mengirim pesan pada Sabina: cie, yang mau telfonan.
Selesai pesan terkirim, aku meletakkan tas Jansport-ku dibawah meja belajar dan pergi mandi. Dan aku kembali men-setup balkon kecil kamarku yang semula ditutup oleh pintu bercat putih cukup tinggi yang juga dilapisi lagi oleh tirai brokat berwana broken white.
Aku mengeluarkan sepasang kursi-meja dengan gaya tua bekas pemakaian Oma dan Opa-ku. Gaya vintage kedua benda tersebut sangat membuat mood-ku baik. Fisiknya masih sangat bagus walau sudah ada dirumah Oma-ku selama bertahun-tahun.
Sembari pelan-pelan mengeluarkan sepasang kursi-meja tersebut, aku mengeringkan rambutku yang masih basah dengan handuk. Aku mengambil buku novelku serta gelas mungil dari lantai bawah yang juga bergaya vintage, dan meletakkannya diatas meja. Gelas mungil itu aku isi dengan black tea yang sudah menjadi minuman favorit keduaku setelah kopi. Setelah itu, buru-buru aku mengambil lilin aroma terapi-ku dan menyalakan vinyl record-ku. Aku memilih-milih ria mana piringan hitam yang mau aku putar. Dan pilihanku jatuh pada sebuah soundtrack dari film animasi Jepang bernama My Neighbor Totoro dari Azumi Inoue.
Aku membiarkan pintu balkon terbuka agar ada pertukaran udara dan lagu yang diputar juga terdengar. Kamarku berada di lantai yang cukup tinggi. Aku bisa melihat langit dengan sangat jelas, beserta dengan beberapa gedung tinggi yang juga menghiasi pemandanganku sekarang. Rumahku ini berada di bagian tengah kota, yang dikelilingi banyak gedung perkantoran.
Aku menarik napas panjang, dan melepaskannya pelan. Suasananya begitu tenang. Aku meneguk sedikit teh panasku itu yang masih ada asapnya. Pahit, tapi nagih. Aku membuka novelku yang menceritakan kisah cinta tragis di era 90an. Aku menyukai segala sesuatu yang berbau zaman dulu. Kalau kalian berpikir bahwa buku itu adalah Romeo dan Juliet tentu saja kalian salah. Buku itu menceritakan tentang kedua orang yang memiliki negara asal yang berbeda. Kedua negara ini adalah negara yang berperang melawan satu sama lain. Tapi, mereka terlanjur jatuh cinta, dan seperti kata lagu nya Elvis Presly, “they can’t help but falling in love.”
Aku begitu terlarut dalam novelnya. Aku membaca nya dengan pelan-pelan, menikmati dan mencermati setiap adegan dengan seksama dan konsentrasi penuh. Buku ini terlalu bagus. Aku tidak mengingininya selesai.
Aku tahu sedari tadi ada beberapa orang yang mengirimkan aku pesan, karena aku bisa mendengar beberapa kali bunyi notifikasi tanda pesan masuk sudah banyak. Tapi, tidak ada yang lebih baik dari membaca buku ini.
Jam perlahan berganti. Bisa kurasakan matahari mulai menyinari wajahku, tanda ia akan terbenam sebentar lagi. Aku mengambil ponselku, sekedar untuk berjaga-jaga kalau saja nanti sunset-nya bagus, aku mau memotretnya. Tapi, karena momen dimana langit menjadi berwarna itu belum sampai, aku masih melanjutkan membaca buku. Aku sengaja tidak mengecek siapapun yang mengirimkanku chat supaya aku tidak terkecoh sedikit pun.
Aku kembali meneguk teh pahitku itu. Menyelesaikan sesi membacaku, karena warna pink dan ungu sudah mulai muncul dalam langit di depanku ini. Aku menyenderkan punggungku pada kursi, senyum manis muncul dalam wajahku. Moodku sedang teramat baik. Buku, teh, sunset, dan sedikit lagu. Ah, tidak ada yang lebih baik dari ini semua.
Warna-warna di langit sudah mulai matang, aku menyalakan ponselku. Lalu memotretnya dengan penuh kekaguman. Setiap hari aku melihat sunset, setiap harinya pula aku dibuat kagum olehnya. Sunset yang selalu kuanggap sebagai ciuman semesta untuk hari menjadi gelap. Sunset juga membuatku percaya bahwa akhir tidak selalu buruk. Ia membuktikannya dengan warna-warna yang menghiasi langit tersebut.
Sekitar dua puluh menit aku habiskan untuk menikmati momen sunset, dan kini hari sudah gelap. Aku memasukkan seluruh barang yang tadi aku letakkan di balkon, termasuk kursi-meja nya. Mungkin kalian akan bertanya, mengapa kursi-meja tersebut tidak ditinggalkan saja di balkon. Hal itu karena aku malas membersihkan meja-kursi ini kalau kena hujan. Jadi, lebih baik kita masukkan saja. Karena terkadang pun aku mau menikmati momen senja seperti tadi itu di dalam kamarku juga.
Sesudah semua barang aku letakkan kembali pada tempatnya, aku mengecek ponselku.
3 Messages from Sabina Keana:
Sabina Keana: Vicccccccc
Sabina Keana: Gue baru kelar telfonan nihh
Sabina Keana: Mau diceritain gak kita ngomong apa aja?
4 Messages from +62 817-098-386