The Last Episode

queenara valerie
Chapter #8

"so perfect till I doubt my own eyes"

(Stream "Heaven" by Joe Layne for a Better Reading Experience)

_________________________________________________

Victoria

Festival akhir tahun sebentar lagi akan diselenggarakan. Festival ini akan menjadi tanda bahwa semua anak telah menyelesaikan satu tahun pelajaran. Tidak terasa tahun pertamaku di jenjang ini sudah berada di titik akhir. Kelas tujuh lebih dari sekedar tahun dimana aku belajar, tapi tahun ini memberikanku banyak sekali memori indah. Bisa kukatakan bahwa kelas tujuh ini adalah tahun terseru dalam sejarah aku bersekolah.

Bersama dengan wali kelasku yang masih muda, dan teman-temanku yang juga menyumbang banyak cerita yang menghasilkan kenangan indah. Semuanya sempurna.

Aku menyedot susu matchaku di pinggir taman sekolah. Dengan angin sepoi-sepoi yang menabrak wajahku sekaligus membuat helaian rambutku beterbangan pelan. Aku memandang ke arah langit. Sekedar bersyukur sudah diberikan tahun yang indah oleh Tuhan. Aku menutup mataku. Udara sore ini sempurna. Tidak begitu panas. Berawan saja.

HP-ku tiba-tiba mengeluarkan notif. Aku membukanya, dan melihat grup chat “Tim Festival”, disitu Pak Winatra menyampaikan pesan, gini tulisnya, “Semuanya, besok pagi kami akan kumpul sebentar ya sebelum hari H. Jadi panitia, maupun semua pengisi acara wajib hadir.”

Beberapa anak mulai menjawab “oke” begitu juga dengan aku seketika sudah selesai membaca pesan tersebut.

Namun, tak lama, Pak Winatra mengirimkan pesan pribadi padaku, “Vic, bisa latihan sekarang? Kamu masih di sekolah kan?” Dan langsung setelah menjawab pesannya, aku naik keatas- ke ruang musik.

“Oke,” Pak Winatra mematikan HP-nya. “Yuk, latihan. Menurut saya, kamu yang paling perlu banyak latihan.” ujarnya dan aku tidak tahu alasan mengapa aku harus banyak latihan. Aku sih berspekulasinya karena suaraku memang belum sempurna, tapi hal itu buru-buru ditepis olehnya, “bukan karena suaramu belum bagus, tapi bapak mau kamu ikut kompetisi musik yang nanti salah satu juri nya akan datang ke festival akhir tahun kita.” Ia mempersiapkan mic dan mengisyaratkanku untuk berdiri di depan stan mic tersebut.

“Kompetisi musik apa, Pak?” tanyaku santai sembari membetul-betulkan posisi mic yang belum begitu pas dengan posisi mulutku.

“Itu kompetisi musik diselenggarakan sama suatu entertainment gitu lah,” Pak Winatra menjelaskan, “bapak lihat kamu punya bakat, Vic. Ya…siapa tahu kan namamu bisa naik, dan kamu bisa terkenal kayak pemenang-pemenang Indonesian Idol gitu.” Kalau boleh jujur, menjadi terkenal tidak pernah ada dalam cita-citaku. Aku tidak suka menjadi public figure yang kekurangan privasi dan ketenangan. Aku menyaksikan begitu banyak aktor ataupun penyanyi diluar sana yang masalah pribadi nya tersebar dalam banyak media. Yah, kalau menurutku masalah pribadi haruslah pribadi, bukan untuk konsumsi publik. Tapi ya, melawan guru tua begini, aku bisa apa? Jadi, ya, aku iya-iyain aja si Pak Winatra.

“Jadi, kamu harus kasih yang terbaik untuk festival ini.” Aku mengangguk dan langsung mulai bernyanyi. Aku membawakan lagu The Climb dari Miley Cyrus yang merupakan salah satu lagu dari soundtrack film Hannah Montana. Lagu pilihanku ini awalnya aku pilih karena menurutku The Climb memberikan kesan semangat pada para pendengarnya. Terlepas dari alunan lagu nya yang memang tergolong pelan, lagu ini menyimpan banyak kisah emosional di belakangnya. Di film nya sendiri, lagu ini digambarkan seperti sebuah perjalanan si tokoh utama untuk meraih kesuksesan. Ada banyak orang yang akan menjatuhkan kita, tapi akan selalu ada kesempatan baru di tempat lain. Dan kesan seperti itulah yang mau aku persembahkan pada saat aku menyanyikannya.

Kesan semangat baru dan pantang menyerah yang mampu membangkitkan gairah para pendengar untuk tetap memperjuangkan mimpi-mimpi mereka yang mungkin nyaris terkikis buang akibat omongan orang lain. Karena di era-era belakangan ini, cyber bullying seringkali dianggap sebagai sebuah hal yang “biasa” dan tidak ada salahnya. Maka dari itu, aku mau sekali lagu ini menjadi titik awal mereka kembali mengejar impian mereka.

Aku berlatih lumayan lama, walau sebenarnya juga bingung sih apa yang membuat Pak Winatra tak henti-hentinya menyuruhku untuk latihan. Satu, lagu yang aku bawakan hanya satu. Dua, pengulangan yang aku nyanyikan juga sama. Tiga, beberapa nada yang diubah sedikit untuk improvisasi juga sama aja. Jadi…ya, sebenarnya ini adalah keobsesian Pak Winatra untuk memasukkan salah satu muridnya ke dalam kompetisi musik tersebut. Ia menekan rasa bosannya dengan mendengarkanku nyanyi berulang-ulang kali untuk membangkitkan rasa percaya dirinya dalam membiarkanku nyanyi diatas panggung nanti.

Lihat selengkapnya