The Last Episode

queenara valerie
Chapter #9

one year full of emptiness

(Stream "Empty Space" by James Arthur for a Better Reading Experience)

_______________________________________________________

Victoria

Banyak sekali yang terjadi dalam satu tahun terakhir. Kalau kelas tujuh kemarin aku katakan sebagai tahun terbaikku dalam sejarah aku bersekolah, aku berani mengatakan bahwa kelas delapan ini adalah tahun terburukku. Di kelas delapan ini yang hampir selesai, aku tidak menghabiskan banyak waktu bersama teman-teman dan keluargaku. Yang aku lakukan selama setahun terakhir ini ialah berlatih, perfom, dan mendapat sertifikat. Sudah, begitu saja. Rutinitas yang sangat membosankan.

Semenjak yang aku tampil di acara festival akhir tahun itu, juri dari kompetisi musik yang belakangan setelah itu baru aku ketahui namanya, yaitu Soundrenaline- tertarik dalam teknik suaraku. Tentu saja, Pak Winatra kegirangan bukan main ketika aku mulai mengikuti banyak pelatihan untuk perfom di berbagai pertunjukan TV.

Aku benci yang namanya kepopuleritasan. Itu sungguh klise bagiku. Tapi, aku dengan bodohnya malah menerima tawaran itu dengan pikiran bahwa talentaku ini bisa berkembang setelah mengikuti pelatihan-pelatihan itu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Aku pikir aku akan senang ketika bisa tampil depan penonton secara terus menerus. Tapi, nyatanya hanya perasaan kosong yang mengisi ketika rutinitas itu sudah berjalan selama lima bulan.

Ketika para publik mulai tahu namaku, ketenangan sungguh sulit untuk didapat. Lagi-lagi, aku benci hal itu. Lack of privacy is terribly sucks and irrational. Dan bukan cuma privasi yang tidak aku dapat, melainkan hubunganku dengan teman-temanku dan Max jadi berantakan. Ada sedikit jarak diantara kami yang membuatku resah. Akibatnya, sekarang aku dan Max, kami sudah tidak seperti dulu lagi. Ketika HP-ku mulai sering aku matikan, ia kesulitan menghubungi dan, dengan begitu saja, semuanya selesai.

Hal yang sama terjadi pada teman-temanku. Tidak ada lagi belajar bersama, ngerjain orang bersama, dan hang out bersama. Semuanya selalu kutepis dengan jadwal-jadwal padat nan sadis itu. Aku sungguh bodoh. Ya, memang. Aku akui aku sungguh bodoh sampai aku kehilangan semua yang merupakan sumber kebahagiaan sejatiku.

Sampai akhirnya aku bersyukur Mama menanyakan satu hal sederhana, namun memberikanku efek yang luar biasa hebat yang menjungkir-balikkan kehidupanku. Dan pertanyaan itu adalah, “are you happy?”

Malam itu Mama masuk ke dalam kamarku. Pukul satu pagi. Ia baru saja menyelesaikan sebuah proses operasi. Dengan tubuhnya yang aku yakin penuh lelah itu, ia mengutamakan aku. Ia duduk di kursi kayu bersama denganku yang berada tepat di sebelahnya. Kami duduk menghadap jendela luar yang diisi dengan suasana malam yang gelap.  Dia mengulangi pertanyaannya, “are you happy?” Lalu mataku yang tadi hanya basah, kini mulai mengeluarkan butiran air. “Doing all this stuff,” Mama memandang beberapa kertas lirik yang ada diatas meja, “doing so many rehearsal ‘till you don’t have time for yourself, for your happiness.”

Isakan tangisku mulai terdengar kencang. Dadaku sesak. Kepalaku berat sekali rasanya. Aku tak mampu berkata-kata.

“Kalau capek…jangan, sayang.” Mama memandangiku dengan mata yang hangat. Ah, aku rindu melihatnya. “Kalau capek…berhenti, Ria.” Sekujur tubuhku merinding hebat mendengarnya. “Menjadi penyanyi itu bukan soal mengembangkan bakat,” Mama bisa membaca pikiranku, “jangan pikir dengan kamu berhenti latihan seperti ini, kamu nggak mengembangkan bakat kamu.” Ia mengelus kepalaku sementara aku masih setia mengeluarkan air mata. “Ada banyak cara untuk mengembangkan bakat. Dan kalau caramu bukan dengan cara menjadi penyanyi, ya enggak pa-pa.”

Aku mengangguk. Terdengar suara bukaan pintu kecil. Mama menengok, tapi dari wangi vanilla nya aku sudah bisa menebak siapa yang masuk. Kakak perempuanku. Dia menghampiri kami berdua. Dan duduk di sebelahku membuat aku yang kini duduk diantara kedua orang ini.

Kak Rebeca menggenggam tanganku, “I love you more as a normal student, Vic…” ucapnya jujur. “Gue lebih punya banyak waktu sama lo. Kita bisa jadi sister goals, dan gue bisa pamer ke orang-orang kalau gue deket sama ade gue karena gak semua sisters out there bisa deket.” Aku menunduk sedikit, air mataku mengalir. “Gue lebih suka pamerin itu daripada pamer kalau adek gue adalah singer dari beberapa tv shows.” Dan disitulah, tangisku menjadi-jadi. Aku merasa menjadi yang terjahat ketika aku tidak bisa menebak apa yang keluargaku rasakan tentang seluruh kegiatan yang aku lakukan selama setahun terakhir ini.

Lihat selengkapnya