(Stream "Let Me Go" by Daniel Caesar for a Better Reading Experience)
__________________________________________________________
"Hmm...Max, kayaknya kita balik dulu deh." Entah aku harus senang atau kesal dengan omongan Joy barusan yang bermasudkan untuk memberikan aku dan Max ruang dan waktu untuk berbicara. Teman-temanku yang lain juga langsung peka pula sama maksud Joy.
"Iya, udah malem nih." Pamela melirik jam dinding. "Udah jam 8. Kita mending balik dulu. Besok masih sekolah." Mereka semua kemudian merapikan kursi-kursi yang ada di sekeliling ranjang ke pinggir ruangan.
Terakhir, sebelum mereka semua meninggalkan kamar nomor 714 ini, Sabina menepuk pundakku. Ia menatapku teduh, seolah memberi semangat melalui tatap mata. "Kita pulang dulu, Vic." Lalu dia tersenyum, dan mengangguk singkat, seakan berkata, "lo pasti bisa."
Aku membuang napasku ketika mereka semua sudah keluar. Dan entah bagaimana, kini aku tidak lagi gugup. Tidak ada perasaan takut ataupun aneh. Aku sepenuhnya sadar dan berani. "Max." kupanggil namanya. "I'm not sure if you still want to hear me or not...dan gue rasa maaf pun gak akan berarti lagi, tapi-..." Aku menarik napas, memberikan jeda, "gue rasa gue tetep harus minta maaf sama lo."
Aku menatap matanya dalam. Dan ia pun menatapku balik. Aku mengeratkan kepalan tanganku. "I'm well aware kok, kalo gue egois dan salah. Gue well aware juga kalo maybe things won't be the same as it used to be. Dan make sense-make sense aja if you also hate me-"
"Vic." Omonganku dipotong. Ia memanggilku. Aku yang semula agak menundukkan kepalaku, kini mendongak. Mata kami kembali bertemu. Ia memajukan tubuhnya sembari memegang dadanya yang pasti masih sakit jika terlalu banyak gerak. Aku spontan mendekat juga kearahnya mendengar dirinya agak sedikit mengerang ketika melakukannya. "I'm okay." ujarnya.
Max
Kekhawatirannya yang kentara sedari ia menginjakkan kakinya ke dalam ruangan ini, ia tunjukkan dengan tatap matanya yang terlihat prihatin ketika aku memegang dadaku yang masih sedikit nyeri. Victoria lantas langsung mendekat dan membantuku untuk duduk tegak. Dan kini jarak diantara kami tidak sebanyak tadi. Kami berada dalam posisi lebih dekat. Diam-diam dalam hatiku ingin memeluknya sekarang juga. Tapi...aku nggak boleh egois.
"I don't and will never hate you, Victoria." Rasanya 'hate' sama sekali bukan kata yang tepat. Tidak ada perasaan benci atau bahkan kesal yang berlebihan pada dirinya. Kesal pernah ada. Tapi, ketika kulihat kembali wajahnya yang mungil itu...rasanya aku nggak sanggup untuk melanjutkan rasa kesalku.
How can I hate you when you're the reason for each smile I had last year? "Gue cuma nggak suka sama the life you live last year." Matanya sedikit berkaca-kaca, kentara ia ingin menyuarakan maaf.
"Gue lega pas denger lu udah gak disitu lagi, Vic." Victoria mengangguk ketika mendengar kelegaanku. "Yang udah terjadi, gak pa-pa. Gak perlu dibahas-bahas lagi."
"And of course...you are forgiven, kok."
"Thank you, Max." jawabnya. "After all those shitty things I've done to you. Makasih karena pada akhirnya lu tetep maafin gue."
Aku tersenyum dan kembali menyenderkan punggungku pada ranjang. "Itu kan juga bukan kemauan lo, jadi santai lah..." Ada rasa lega ketika kami sudah berbicara bersama begini, tapi masih ada satu hal lagi yang mengganjal dalam hatiku. "Cuman.." Victoria mendongak.