(Stream "Bad Habit" by Steve Lacy for a Better Reading Experience)
____________________________________________________
“EO sampah!” umpat Kris keras-keras. Terdengar sarkastik dan tidak sopan, tapi itulah kenyataannya. Baru tadi siang, Sir Yatna memberi tahu kami bahwa pembuatan layout tidak dilakukan oleh EO, melainkan kami. Bayangkan saja, layout satu buku tahunan itu, sepenuhnya kami yang desain dan rancang. Dan jangan pikir kami hanya merancang melalui digital, kami juga harus menggambarnya secara manual di kertas. “Gila kali, dipikir kita arsitek apa?!” Kris masih dengan amarahnya itu mengumpat-umpat kesal.
“Ah, udahlah, jangan ngoceh-ngoceh lagi lu.” Riana mengimbas-imbaskan tangannya pada Kris, mengisyaratkan cowok itu untuk duduk dan mulai merancang. “Jangan sibuk ngoceh aja. Gak ngubah situasi juga.”
“Kita bakal butuh berapa kertas HVS ya?” Joy berdiri di depan pintu sambil memegang gagang pintu tersebut, hendak pergi ke ruang guru untuk mengambil beberapa bahan yang kami perlukan. Kami memutuskan untuk membuat layout ini di sekolah– di perpustakaan tepatnya, dan bukan dirumah Joy. Kebetulan, guru-guru juga ada rapat sampai sore, jadi tidak masalah kami tinggal lebih lama.
“Ambil banyakan aja, Joy. Siapa tahu butuh.” sahut Farel ketika yang lain sibuk mengeluarkan alat tulis dan laptop yang akan dipakai untuk desain bentuk digitalnya. Joy langsung keluar dari perpustakaan menuju ruang guru dan dalam sekejap ia sudah kembali dengan tangannya yang penuh dengan lembaran kertas dan dua chrome-book yang berguna untuk dipakai oleh sebagian dari kami yang tidak membawa laptop.
Kami mulai mencoret-coret kertas tak bernoda itu. Menggambar halaman per halaman. Merancangnya sebagus dan sedetail yang kami bisa– karena yang bisa gambar dengan bagus hanyalah Joy.
Kami menggambarnya dengan tema Netflix dengan kesan warna hitam dan merah. Tidak lupa juga kami menambahkan elemen-elemen berbentuk film atau tema bioskop agar vibe buku tahunan nantinya lebih sempurna.
Satu sampai dua jam pertama masih berjalan dengan baik. Kita semua masih "semangat" dan setidaknya belom absen nguap. Iya, sekarang perlahan-lahan semua orang seakan lagi absen siapa-nguap-paling-kenceng. "Ini kita gak bisa nih begini. Harus ada kopi." ujarku sembari membuka aplikasi Gojek.
"Hoammm..." Sabina menguap. "Hoammmm..." Disusul Pamela. Kan, udah kayak absen aja acara nguap-menguap ini.
"Mau beli apa kopi apa, Vic?" tanya Joy. "Gue gak gitu demen kopi deh."
"Coklat mau?" Aku balik bertanya karena memang Joy suka sekali dengan minuman-minuman manis. Dan dia langsung mengangguk. "Extra whip cream, please."
"Sure, my love." jawabku dan dia menyenderkan kepalanya di pundakku karena kita memang duduk bersebelahan. "Yang lain mau apaan nih?"
"Americano aja dong, tapi extra shots-in hehe." jawab Matt nyengir.
Aku memberikan wajah malas-datar. "Maruk. But, okay, karena gue juga mau extra shots."
Pamela ikut me-request pesanan. "Gue mau kopi tapi yang manis, dong, say."
"Latte gula aren, mau nggak?" Dan dia mengangguk.
"Eh, gue mau yang melokal!" celetuk Farel tiba-tiba.
"Apaan, yang melokal?" Aku mengerutkan dahiku bingung dengan permintaannya.
"Kopi susu Batavia."
"Ck, nggak ada. Udah latte gula aren aja lah."
"Kopi susu tetangga deh."
"Tuku dong? Ini gue mau beli Kopken."
"Eh, iya, Vic. Tuku aja dong. Mau kopsus tetangga nya." Kris ikutan memelas.
"Jauh banget, weyyyyyyy. Nggak ada cabang Tuku deket sini. Boncos di ongkos."