The Last Episode

queenara valerie
Chapter #14

wisata masa lalu, rupanya.

(Stream "I Love You But I'm Letting You Go" by Pamungkas for a Better Reading Experience)

___________________________________________________________

Aku mengembalikan topi Max yang ia pinjamkan saat mengantarku pulang. "Nice, cap." ujarku saat topi nya sudah mendarat ke tangannya. "Thanks for the ride."

Max ikut memandangi topi nya. "You know what," matanya masih pada topi nya itu. "This cap was supposed to be yours." Hah? Aku bingung. Seharusnya punyaku?

"Gue beli ini tahun lalu...buat kado ulangtahun lo." Pipiku terasa panas sekarang. "Tapi, waktu itu lo sibuk banget bahkan di hari ulangtahun lo sendiri. Sampe gue mikir, 'yaudah deh gak pa-pa, bisa dikasih nantian aja." Dia menatapku tersenyum. "Tapi, you never seemed to be around. Terus akhirnya karena udah lewat hampir 3 bulanan gitu, gue jadi merasa kalo mau kasih udah basi gitu. Yaa...akhirnya jadi gue deh yang pake, hehe." Dia tertawa ringan, suaranya sangat tenang dalam menceritakannya.

Aku mengigit bibirku, bingung harus merespons apa. "It looks good though on you."

"Yeah, but everything about this cap...is also about you." Max menjauhkan topi itu dan mengamatinya dari jarak yang sedikit jauh. "Warna nya coklat tua, bukan tanpa sebab gue pilih warna ini. It's because nama kode dari warna ini tuh 'espresso,' which is your favorite.

"Mereknya sengaja gue pilih Alo, karena lo pernah bilang kalo nggak ada baju olahraga senyaman Alo." Dia masih ingat hal-hal kecil tentangku. "Terus, tau gak, tahun lalu ini produk high demand banget, jadi gue litereli rebutan malem-malem sama ribuan orang. Gue seneng banget pas gue berhasil dapetin satu." Hatiku hangat mendengar betapa besar effort nya waktu itu, sementara mataku jadi agak berkaca-kaca sekarang. Aku mengelapnya sekilas sambil tertawa kecil.

"Dan setiap gue pake topi ini, rasanya lu selalu ada di deket gue. Nggak tau ya kenapa, mungkin karena topi ini memang elu banget." Entah kenapa, malam ini terasa sangat sepi sampai aku tidak mendengar suara lain selain suaranya yang tulus.

Kami hening selama semenit, sampai akhirnya aku berkata, "then keep it yours, supaya gue bisa selalu deket sama lo." Logikaku melarangku untuk melanjutkan pengakuan ini. Sementara hatiku berkata untuk terus melanjutkannya.

Dan aku menuruti apa kata hatiku. Aku melanjutkannya, "I want to be close with you, Max. More than I wanna be close with anyone. You're truly a soft spot for me." Aku menggenggam erat hoodieku dan membuang napasku kasar, "tapi beberapa minggu lalu, gue liat lo...sama Nadine."

***

Matt (beberapa minggu lalu, setelah makan es podeng)

"Jawab dong, udah gue usirin juga kucingnya." Aku berdecak kesal, karena kedua manusia di sebelahku ini tak kunjung membuka mulutnya masing-masing.

Victoria menghela napasnya, sadar bahwa jawaban- alasan- apapun tidak akan membuatku puas. "Yah...mungkin gak segampang yang lo pikirin kali, Matt buat jadi 'biasa aja' lagi." Sungguh, aku tidak mendesak mereka untuk mendapatkan jawaban seperti ini, tapi ya sudahlah. Aku tidak mau menekan mereka berdua terus-terusan.

Aku menegakkan diriku, dan membuang gelas es podeng itu. Dan malam itu pun berakhir denganku yang enggak dapat jawaban apa-apa. Tapi, dua hari setelah itu, aku melihat suatu pemandangan yang aku yakin banget adalah alasan kenapa Max dan Ria nggak- atau belum- bisa punya hubungan yang kayak dulu lagi.

Sore itu, dengan cuaca yang sangat sedang bersahabat, aku mengendarai motorku dengan headphones di kedua telingaku. Aku memutar lagu-lagu akustik yang cocok banget sama vibe waktu itu. Aku bernyanyi-nyanyi ria. Yah..intinya semuanya berjalan seperti biasanya. Sampai mataku menangkap sebuah pemandangan yang sama sekali nggak pernah terlintas di kepalaku akan ada adegan begini.

Max dengan seorang cewek sedang berada di toko bunga. Sontak aku langsung menepi dan memberhentikan motorku. Aku mengamati mereka dari jauh. Aku kurang bisa mengenali siapa cewek itu. Tapi, yang pasti bukan Victoria ataupun cewek-cewek yang aku kenal di sekolah. Cewek itu cukup tinggi, kurus, berkulit sawo matang juga. Rambutnya panjang banget. Dan...pake kacamata. Seingatku, di panitia yearbook setidaknya, tidak ada cewek yang punya rambut sepanjang itu. Dan, yang pake kacamata juga cuma Joy, tapi Joy nggak berkulit sawo matang.

Aku melipat kedua tanganku di depan dada dan menegakkan dudukku. "Siapa ya..?" batinku, berusaha untuk berpikir siapa cewek yang sedang berdiri membelakangiku itu.

Mereka berdua memilih-milih bunga, yang juga merupakan sebuah aktifitas yang teramat aneh bagiku untuk seorang Max. "Sejak kapan dia jadi interest ke bunga-bunga gini, anjir?" gumamku lagi-lagi pada diriku sendiri. "Ini pasti ceweknya nih yang ngajak." Aku berasumsi sendiri.

Samar-samar aku bisa mendengar Max berkata, "yaudah kita ambil Ranunculus aja, Pak." Aku nggak tahu Ranunculus tuh apa, tapi kayaknya itu nama jenis bunganya. Max kemudian mengeluarkan dompet dan mengeluarkan selembar uang untuk membayar.

Si bapak penjual pun langsung menyodorkan satu buket bunga nya itu ke si cewek. "Duh, anjirrr siapa sih." Aku malah frustasi sendiri karena tak kunjung mengenali sosok yang ada di sebelahnya itu.

Dan nggak lama, mereka berbalik badan, dan barulah aku mengenali siapa ceweknya itu. Nadine. Teman lama kami, sekaligus...mantannya Max. Aku dan Max datang dari sekolah yang sama dulu, sebelum akhirnya pindah ke sekolah yang sekarang. Dan Nadine juga dari sekolah kami yang dulu itu.

Nadine dan Max memang dulu dekat. Satu sekolah juga tahu tentang itu. Tapi, karena Max pindah sekolah 3 tahun yang lalu, mereka akhirnya "putus." Iya, mereka juga nggak pernah berpacaran sebenarnya. Sebatas teman-tapi-mesra aja.

Sejak kami pindah, aku pun udah nggak pernah denger lagi tentang Nadine, dan setauku Max pun juga begitu. Tapi, nyatanya aku salah. Sepertinya mereka memang masih keep in touch melihat apa yang baru aja mereka lakukan itu.

Aku memberhentikan motorku di garasi rumah. Tadinya aku ingin mengikuti kemana mereka pergi, tapi rasanya nggak perlu. Jadi, aku mutusin untuk pulang aja. Aku membanting tubuhku di sofa rumah, dan memeluk satu bantal bersegi empat. Aku menutup mataku, ngantuk. "Hmm...baguslah lo nggak deket dulu sama Max, Ri." Tanpa sadar, mulutku bergumam sendiri. "Kasian, ntar lo sakit."

***

Max

"....tapi beberapa minggu lalu, gue liat lo...sama Nadine." Kata-katanya membuat senyuman di bibir gue hilang. Basi, kok Vic bisa lihat?

Dia menyedot hingus nya. Pasti alergi hidungnya lagi kambuh. "Sepengen apapun gue deket sama lo, tapi hati gue juga kayaknya nggak kuat kalo deep down gue tau lo masih deket sama Nadine." Dia mencari-cari tissue di dalam tasnya dan mengeluarkan hingusnya itu. Dia terlihat kesakitan. Dulu dia memang pernah bilang kalau lagi panik atau stress, alerginya itu bisa langsung kambuh, dan konka nya langsung membengkak. Tapi, aku tidak pernah sekali membayangkan kalau aku bisa menjadi salah satu orang yang menyebabkan hal itu terjadi pada dirinya.

"Gue sempet mau nyari-nyari alesan. Kalo bisa aja kalian cuma temenan atau apa. Tapi, malem itu, malem selanjutnya, dan selanjutnya, dan seterusnya menunjukkan kalo kalian bukan sekadar temenan aja." Tunggu-tunggu, yang dimaksud 'malam' disini itu waktu... "Tapi, ya...memang mungkin lo travel lagi ke masa lalu lo." lanjut Victoria sambil tersenyum menatapku, sementara hatiku langsung remuk ketika melihat nya.

"Tapi, gue sangaaaaat menghargai lo, Max, karena udah sadar sama perasaan lo, dan membuat batasan di antara kita." Sorot matanya tenang, seakan dia ikhlas. Seakan dia nggak pa-pa. "Dengan begini juga gue jadi beneran punya alesan yang nyata kenapa gue juga harus move on. Dan udah, stop, berhenti, buat pengenin lo."

"Karena pas gue lihat lo sama Nadine ya," matanya melirik ke langit, semakin jelas ada butiran air yang menggenang disitu. "Gue tuh jadi merasa kayak...kita udah nggak bakalan jadi kita yang dulu. Kayak ada aja gitu rasanya di dalem hati gue. Yang pas gue liat kalian, gue langsung, 'oh, udah nggak ada harapan lagi buat jadi kita yang dulu, ya, Max?' Jadi yaaah...ya udah, gak pa-pa." Satu butir air lolos dari matanya yang teduh menatapku.

"So...before everything is end, gue cuma mau bilang, kalo you've made me the happiest. Sampai kapanpun gue akan inget itu. Karena gue memang sebahagia itu waktu deket sama lo."

Lihat selengkapnya