Stream "Gravity" by John Mayer for a Better Reading Experience
__________________________________________
Victoria
Beberapa minggu lalu.
"Baik, saya ulangi ya, Kak, pesanannya, cheese pizza satu dan cheese fusilli satu."
"Ah, extra cheese ya, Kak. Yang banyaaak."
Sengaja gue mampir ke Pizza Hut dulu habis les vokal untuk membeli makanan kesukaannya. Jujur hari ini gue capeknya minta ampun. Jadwal gue super padet hari ini, tapi ternyata yang namanya kita mau ketemu seseorang yang kita suka itu, bisa memproduksi hormon endorfin yang berlebihan ya. Gue seakan lupa sama semua lelah gue hari ini ketika tadi pas ditengah-tengah latihan gue dapet ide cemerlang buat nyamperin dia di rumah sakit.
Udah deh, sejak otak gue menyarankan hal tersebut, bener-bener nggak ada yang lebih sempurna dari apa yang gue rasakan. Pizza yang memang proses pembuatannya cukup lama- dan gue selalu ngomel karena itu- sekarang jadi gue gak apa-apa-kan. Gue setia menunggu sembari menggerak-gerakkan kaki.
Nggak lama, bau semerbak keju memenuhi penciuman hidung gue. "Kak, ini udah jadi pesanannya. Silakan diambil." Gak pake lama-lama, gue langsung aja masuk ke mobil dan meminta Pak Dika untuk mengantarkan gue ke rumah sakit.
Gue melirik jam di dashboard mobil, hampir jam sembilan malam. "Ah, tapi gak pa-pa deh, asik juga makan pizza late at night." Gue lagi-lagi tersenyum memandangi kotak persegi empat itu yang duduk manis di sebelah gue.
Gue membereskan rambut gue yang udah lepek ini. Sebelum akhirnya gue turun dari mobil dan berlari kecil memasukki lift. Gue pencet tombol nomor tujuh, dan sesampainya di lantai itu gue langsung berjalan ke kamar nomor 14.
Gue bernyanyi-nyanyi ria, hendak membuka pintu, tapi...cahaya mata gue redup seketika waktu melihat siapa yang ada di dalam kamar itu bersamanya. Gue memang nggak kenal cewek itu, tapi gue tahu jelas dia siapa. Kepala gue langsung penuh sama berbagai macam pertanyaan. Kaki gue langsung lemas.
Waktu tangan gue baru aja memegang gagang pintu, tangan cewek itu sudah sampai di depan mulutnya. Gue nyaris menertawakan diri gue saking telatnya.
"Ya lagian kan memang dia juga udah bilang kalo hubungan lo sama dia nggak akan kayak dulu lagi. Salah lo lah masih berharap sama dia."
Tapi, gue nggak tau kalau ternyata inilah alasan hubungan kita nggak bisa kayak dulu lagi. Ada banyak alasan buat kita "putus", tapi kenapa ini malah yang menjadi alasan? Dan sejak kapan lo jadi dekat lagi sama dia, Max? Kok gue nggak pernah tau?
"Yaiyalah, lo nggak pernah tau. Lo kan ngilang selama setahun."
Kata-kata itu muncul di kepala gue, membuat gue berpikir bahwa memang sudah sepantasnya gue mendapatkan hal seperti ini.
"Iya juga ya. Gue kemana setahun kemarin? Kenapa ngelarang dia untuk dekat dengan orang lain? Kok gue egois ya?"
Gue membalikkan badan, butiran-butiran air sudah membanjiri wajah gue sedari tadi. Untuk yang pertama kalinya, gue menangis bukan karena sedih, bukan karena dapet nilai jelek disekolah, tapi karena gue tahu saat itu juga gue sudah kehilangan dirinya.
***
“Ah, elo mah enak!” teriak Sabina dengan kerutan di dahi nya yang kentara. “Dapet partner nya si Tim. Dia kan lumayan!” Kelihatannya memang Tim asik. “Daripada gue, sama si Mikel. Bah, kerja udah kayak ulet. Lelet!” gerutunya sepanjang perjalanan kami ke ruang perpustakaan untuk kembali mengerjakan pekerjaan yearbook.
“Namanya juga kelompok acak.” Aku menyedot sekotak Ultramilk coklatku. "Lagian gue juga belom tau sih, si Tim gimana kerjanya. Kan nanti malem ketemuannya."
Sabina mengangguk singkat, "kalian jadi dimana ketemuannya?"
"Pison. Samping GI."
"Wanjay, fancy amat."
"Pe-we abisnya tempatnya."
"Udah ngomongin cowok laen aja lo." Kris tiba-tiba datang dari belakang dengan kacamata merah ala jametnya. Aku dan Sabina sontak menoleh.
Aku memutar bola mataku. "Kompor darimana lagi nih?" Aku melirik Kris sinis. "Orang kita ngomongin Pison, kok malah cowok laen kata lo."
Kris berjalan mendekat, "kacamata gue bagus nggak?"
"Jamet." kata Sabina dengan nada mematikan sembari membuka pintu perpustakaan.
Dan si jamet itu langsung melenggang masuk dengan badannya yang sok dilemaskan. "Levronkaaaaaa!" Suara nya nyaring membuat guru perpustakaan langsung memberikan tatapan tidak suka padanya.
Kris langsung duduk di sebelah Levronka, sedangkan yang dipanggil hanya memberikan tatapan sinis padanya. "Ih, parah banget gue cuman didiemin." Aku dan Sabina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Kris itu sebenarnya salah satu orang yang paling asik yang pernah aku kenal. Tapi, sifat playboy akutnya itu seringkali membuatku ingin muntah.
Kris doyan menggoda cewek-cewek di sekolah yang ia anggap lemah imannya terhadap laki-laki. Entahlah bagaimana ia bisa berpendapat bahwa Levronka mudah baper, tapi terlihat jelas bahwa cowok itu sedang menargetkan Levronka sebagai sasarannya.
Aku memberi kode diam-diam pada Kris saat kami ditengah-tengah pengerjaan tugas supaya yang lain tidak sadar dengan kode ini. Tapi, Kris malah senyum-senyum santai tanpa dosa seolah berkata bahwa tindakannya itu tidak masalah.
“Guys,” Joy mengangkat kepalanya membuat kode-kodean antara aku dan Kris berhenti. “Mau pemotretannya kapan ya?”
“Hmm…Sir Yatna gak ada bilang mau kapan gitu?” Pamela bertanya.
"Mana mungkin dia udah tetepin, wong dia sama sekali nggak ikut campur sama pengerjaan yearbook ini." Nggak ada nada kesal dalam bicaranya, tapi kentara Farel tidak begitu suka dengan Sir Yatna yang samasekali nggak ada campur tangan dalam yearbook ini yang membuat kita terkadang kesulitan mengajukan beberapa permintaan.
“Tanggal 19 sama 22 aja kali ya?” Levronka memilih untuk tidak ikutan menyindir-nyindir Sir Yatna dan langsung mencetuskan ide. “Kalian pada bisa?”
“Hari apa – ah, tapi kalau buat Levronka apa sih yang enggak?” Lagi-lagi Kris menggoda. Pipi Levronka merona, tapi cepat-cepat ia tepis dengan kerutan di dahi nya dan lirikan sinis. Kami semua sontak melirik aneh sekaligus jijik. Tidak ada yang curiga akan niat Kris ini, karena memang begitulah cowok itu. Semua cewek digoda olehnya. Dasar buaya darat.
Sabina membuka kalender di ponselnya, “19 sama 22 itu hari Rabu sama Sabtu, weh.”
“Sabtu gak mungkin bisa sih. Mundur ke 18 sama 21 aja gimana?” ide Joy dan kami semua pun sepakat melakukan pemotretan di kedua hari itu.
Kembali pada parkiran sekolah yang entah mengapa vibe nya bertambah dua kali lipat lebih asik saat malam hari. Kami semua kembali menunggu jemputan disini. Sembari bercerita ria dan tertawa ringan membicarakan hal-hal sampah. Sampai pada akhirnya kami kehabisan topik, kami memutar lagu dan berjoget ria. Seolah urat malu masing-masing dari kami sudah putus, kami berputar-putar, berjoget semaunya, dan bernyanyi-nyanyi walaupun suara kami fals.
HP-ku tiba-tiba berbunyi, dan kami semua sontak terdiam. Aku buru-buru mengambil ponselku yang ada di dalam tas ranselku. Aku melihat nama yang tertera disitu. Timothy Angkasa is calling you. Aku langsung memencet tombol hijau dan mengangkat panggilannya.
"Halo, Tim." Farel langsung mengecilkan volume lagu ketika aku menyapa Tim yang berada di seberang sana. "Iya...oh, oke...hahaha....gak pa-pa, bro....santai...oke, oke...iya...see you, Tim."
"Apa katanya?" Sabina bertanya ketika panggilan baru saja aku matikan.
"Kita kan mau ketemuan, dia bilang dia bakal agak telat, soalnya baru kelar les."
"Ck," Matt berdecak sok kesal. "Gue pikir dia mau jemput lo. Penonton kecewa, ah." Dan aku mengerutkan dahiku ketika mendengar kata-katanya.
"Kenapa jadi lo yang kecewa, dah?" Joy memutar kepalanya terhadap Matt, bingung dengan pernyataannya barusan.
"Lah, bukannya justru lebih bagus kalo Tim nawarin Vic jemputan?" balasnya lagi seolah seharusnya semua orang mendukung dia.
"Hah? Memang kenapa?" Pamela ikut menimpali. "Apa hubungannya, anjir?"
"Lo pada emang gak seneng liat Vic ama Tim?"
"What the heck, Matt?" kataku akhirnya. Aku nggak marah. Nggak kesel sedikitpun juga. Tapi, aku sungguh nggak ngerti apa maksud dari statement nya.
Matt malah menyalakan mesin motornya. "Udah, ah, lo semua lola." Memakai helm nya. "Gue balik dulu. Bye." Motornya melaju pergi dan kita semua bingung.
"Kenapa dia jadi ngedukung lo sama Tim gitu, Vic?" Farel menunjuk punggung Matt yang kini sudah tidak terlihat lagi. "Lo emang lagi deket beneran sama Tim?" tanya Farel serius.
Aku buru-buru menggeleng. "Gue aja nggak pernah ngobrol lagi sama Tim abis yang waktu itu." Maksudku adalah saat Tim memberi tahuku kalau ternyata aku satu kelompok IPS dengannya. "Nggak jelas, Matt, sumpah."
"Lo emangnya mau ketemuan dimana nanti malem sih?" tanya Joy.
"Di Pison, doaaaang. Mau bikin tugas IPS. Nggak ada niat lain. Suer deh." Aku mengangkat jariku membentuk simbol peace. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh." Aku melipat kedua tanganku depan dada. "Matt gak usah didengerin. Ngelantur doang dia."
Max
Entah Matt memang beneran hanya melantur atau...Vic dan Tim memang ternyata dekat. Tapi, memangnya bisa ya orang itu dalam beberapa hari saja, pikirannya bisa langsung berubah gitu? Seingatku malam itu, dengan es podeng dan blok S, temanku ini sangat mendukung sekali hubunganku dengan Vic supaya seperti dulu lagi. Tapi, kenapa hari ini dia jadi ganti haluan ke tim lain?
Aku berdecak kesal di belakang helmku. "Gak jelas itu anak, emang."
Eh, tunggu. Kenapa aku jadi kesal ya? Seingatku, aku sendiri yang bilang kalau hubungan kami sudah nggak bisa seperti dulu lagi. Tapi, mengapa rasanya menyebalkan sekali ya mendengar Matt berkata seperti tadi?
Kalau kemarin-kemarin, malam selalu kuhabiskan dengan menunggu balasan pesan dari Nadine. Malam ini, aku malah risih dengan chat nya yang terus masuk ke ponselku. Aku malah mematikan suara ponselku supaya suara itu tidak lagi terdengar. Aku membuka laci nakasku, yang berisikan hasil cetak film foto dari kamera kodak-ku.