Stream 'Kiss of Life' by Sade for a Better Reading Experience
___________________________________________
Hari kedua pemotretan yearbook dimulai hari ini. Hari kedua sekaligus hari terakhir dari pemotretan kita. Aku membawa lebih banyak perlengkapan, karena hari ini, kami panitia juga akan melaksanakan pemotretan. Sewaktu menunggu mobil keluar dari garasi, aku menengok kearah langit. Cukup bersyukur dengan cuaca yang cerah pagi ini.
Sesampainya di sekolah, aku agak terkepot-kepot membawa dua tote bag berat yang ada di pundak kanan dan kiriku. "Salah nih gue, terlalu bawa banyak barang," gumamku seraya menaikkan tote bag-ku yang sudah sedikit melorot di pundak. Aku terus berjalan memasuki gerbang biru ini, dan aku jadi teringat soal kamera kemarin ketika mataku menangkap Max yang baru saja memarkir motornya.
Aku membawa kamera itu di dalam tasku. Sengaja membawanya. Karena masih ingin berlarut dalam perasaan baper itu. Karena mataku keburu menangkap keberadaan dirinya, aku jadi terpaku diam mengamati segala aktifitasnya. Mulai dari dirinya yang mencopot helm hitamnya, kemudian disusul dengan jaketnya yang kini ia buka. Lantas, turun dari motor, dan menyimpan jaketnya itu dibawah jok motornya. Kacamata nya ia ambil dari kantong seragamnya, lalu ia pakai. Manis.
Ia merapikan rambutnya yang berantakan di depan kaca spion. Memastikan dirinya sudah rapi dan bersih, kakinya mulai berjalan ke arah lapangan. Aku sedikit berharap dia menyadari keberadaanku, karena aku berdiri di depan gerbang, yang pasti akan kelihatan kalau ia berjalan dari arah parkir motor ke lapangan. Aku sengaja memperhatikannya lama, supaya ia sadar bahwa ada sepasang mata yang daritadi mengamatinya.
Dan yes, usahaku berhasil sebelum ada seseorang yang malah mengacaukannya. Ketika lirikan mata Max sampai padaku, tepukan tangan Matt juga sampai di pundakku. "Woi, diem aja lo. Ngapain sih?"
Aku reflek memutar bola mataku, sementara Max langsung berjalan masuk ke arah sekolah. "Ah, elo mah!" Aku langsung menggerutu menepis tangan Matt yang nggak kunjung ia angkat.
"Apaan sih? Pagi-pagi udah ngoceh aja." sindirnya seraya melipat tangannya.
Aku menghentakkan kaki dan berdecak. Lantas lanjut berjalan masuk. Ia mengikutiku di belakang sembari memegangi kedua tali bahu ranselnya. "Mau dibantuin gak bawa tote bag nya?" tanyanya sok perhatian.
"Hah?" Aku masih fokus dengan pikiranku tentang Max. "Oh, nggak. Gak usah, gak pa-pa." tolakku karena memang sebenarnya aku kuat-kuat saja membawa dua tas ini, hanya saja kalau Max yang membantu kan ceritanya jadi sedikit berbeda.
"Yaudah," Ia berjalan ke arah kelasnya yang berlawanan dengan kelasku. "Abis taruh tas, ke ruang foto jangan lama lo!" teriaknya dan aku hanya membalasnya dengan mengacungkan jempolku.
Setibanya di kelas, aku meletakkan satu tasku, sementara yang satunya kembali aku bawa ke ruang foto bawah. Ketika aku hendak keluar dari ruanganku, Max tiba-tiba ada di depanku. "Eh," Aku hampir tersantuk dadanya. Aku mendongak, mendapati wajahnya.
Dia hanya menatapku singkat. Dan kami berjalan beriringan. "Mau dibantuin gak?" YES. Akhirnya. Dia bertanya. Tapi, momennya kurang tepat. Karena kini aku hanya membawa satu tas, jadi kalau ia yang membawakan, kesannya aku terlalu manja. Jadi, kuputuskan untuk menjawab, "ah, nggak usah. Gak pa-pa." Aku menoleh ke arahnya sangat singkat karena gugup. "Thank you."
Ponselnya Max berbunyi. Sepertinya ada yang menelepon. Ia mengambil ponselnya itu dari saku celana. Aku melirik dirinya dan ada kerutan dahi disana. "Halo?" sapanya pada si penelepon.
"Max!" Buset, aku aja yang berdiri di sebelah Max, dan lebih pendek dari dirinya, alias gak tepat berada di sebelah telinganya- bisa mendengar suara lantang cewek itu. Max sontak menjauhkan HP nya dari telinga. "Ada apa?....Nanti malem makan?...Nggak bisa kayaknya..."
Kami sampai di lantai bawah, alias di ruangan foto. "Iya, nggak bisa..." Aku masih menguping, pura-pura berjalan dekat dengan Max. "Udah ya, Nad." Namanya disebut. Aku yang sebenarnya sejak awal juga sudah tau siapa orang yang menelepon Max diujung sana, tetap tersentak sedikit mendengar namanya sampai di telingaku. Menyadarkanku untuk tidak berlama-lama lagi tenggelam dalam fantasi yang aku buat.
"Udahan ya. Gue udah mau mulai foto yearbook." Ia lantas meletakkan ponselnya kembali di saku celana dan membantu memindahkan beberapa back drop yang akan dipakai.
"Oke, grup Peaky Blinders yuk, buruan." Riana memanggil satu kelompok anak kelas 9D yang akan memakai tema seri US itu sebagai tema pemotretan mereka. "Nora, sori, pilihnya boleh dipercepat?" Riana gerah melihat Nora yang daritadi ngubek-ngubek pilihan kacamata yang mau ia pakai. Cewek itu akhirnya memilih kacamata hitam dengan lensa yang juga hitam, sama seperti yang lain.
"Babi. Peaky Blinders kan emang item-item, ngapain sih lama banget nyari nya. Aneh." umpat Riana ketika membalikkan tubuhnya ke arahku dan Matt.
"Siap? Satu, dua, tiga." Si EO-minim-kerja itu mengambil beberapa jepretan foto, dan grup nya Nora berhasil selesai.
”Permisi…” Pak Hartanto, guru BK favoritku itu mengintip di daun pintu. “Guru-guru sudah siap yaaa. Jadi, bisa mulai pemotretannya.” ujarnya sembari memberikan senyum.
Matt langsung mengacungkan jempol dan membawa kamera nya yang ia kalungkan di lehernya keluar. “Beberapa orang tolong bantuin gue dong.” pinta nya dan aku serta Farel langsung berinisiatif keluar.
Pemotretan untuk para guru dan staff sebagian besar dilakukan di ruang guru dan perpustakaan. Kami mengelompokkan guru berdasarkan pelajaran yang mereka ajar, karena di sekolah kami memang ada beberapa guru yang mengajar 1 mata pelajaran.
Sesi foto untuk guru-guru berjalan cukup tenang. Karena mungkin ruangan seperti ruang guru dan perpustakaan cukup besar, sehingga kami tidak terasa begitu penuh dan sesak. Ketimbang di ruangan yang dipakai dengan greenscreen super lebar dan backdrop yang terus berganti-ganti dibawah.
Nggak lama, matahari kian terik. Menunjukkan bahwa hari sudah semakin siang. Aku melirik jam tanganku. Pukul 12.15.
Bel di sekolah lantas berbunyi. Guru-guru langsung menyuruh kami semua untuk istirahat dan makan siang. “Setelah ini, kita foto per kelas lagi ya?” tanya Bu Kina, wali kelasku.
Aku mengangguk. “Iya, Bu. Tinggal kelas kita sama 9D.” Dan Bu Kina langsung mengangguk, kami berjalan keluar perpustakaan bersama.
Aku, Matt, dan Farel langsung berjalan menuju kantin karena sebelumnya Joy sudah mengirim chat di grup untuk makan bersama disana. “Duh, makan apa ya?” Aku memegangi perutku, lapar.
“Nasi campur nya Nainai aja ah, gue.” ujar Matt mempercepat langkahnya dan kami sontak mengikuti. “Murmer, dapet banyak.”
“Lo, Rel?” Aku tipe orang yang super bimbang kalau soal makanan. Karena aku memang secinta itu dengan makanan. Sehingga semuanya pun aku mau. Maka, aku harus bertanya banyak orang agar bisa menentukan satu pilihan.
”Hmm apa yah.” Ia melipat kedua tangannya di depan dada. “Kayaknya gue mau bakso aja deh.” Ia menoleh kearahku. “Tiga porsi.” Lantas aku tertawa. Ternyata bukan hanya aku yang kelaparan.
Sesampainya di kantin, Joy dan Sabina sudah duduk di meja tengah. Mereka berdua agak basah keringat, karena hari ini panasnya memang dua kali lipat dibandingkan kemarin. Kami bertiga langsung ikut duduk, dan nggak lama, yang lain pun datang.
Kami langsung menyantap makanan kami sewaktu semua makanan yang kami pesan sudah tersaji. Kami tidak banyak ngomong, hanya sesekali bertukar canda. Sampai ditengah-tengah sesi makan siang kami, Joy membuka mulut. "Kris, maaf ya, kemarin gue marah-marah nggak jelas."
Sontak kami saling lihat-lihatan. Sementara yang diajak ngomong baru mendongakkan kepalanya menatap Joy. "Udah nge-judge duluan."