The Last Episode

queenara valerie
Chapter #18

satu lagi yang pupus

Stream "Sorry" by Pamungkas for a Better Reading Experience

___________________________________________

Matt

Satu hal yang paling aku benci dari putus cinta adalah kita jadi ditinggalkan dengan mixed feelings alias perasaan kita ini jadi nggak jelas. Masih suka gak sih sama dia? Atau udah gak suka? Tapi, kalau udah gak suka, kenapa rasanya masih nggak rela membayangkan dia dengan orang lain? Itulah yang aku rasakan selama satu tahun terakhir ini ketika putus dengan Joy. Hatiku rasanya nggak tahu mau dibawa kemana.

Tapi, malam ini seolah menjadi jawaban bahwa aku memang harus berhenti menyukai dirinya. Akhirnya perasaanku diberikan titik, bukan koma. Aku senang melihat senyumannya yang terlukis di wajahnya itu. Sungguh, aku turut bahagia. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, rasanya ada sebagian dari diriku yang...mati.

Aku selalu suka dengan imajinasi bahwa aku pernah disukai orang seperti Joy. Imajinasi itu terus aku bawa selama setahun belakangan. Ini tuh rasanya kayak...lo lagi hibernasi, terus dikasih mimpi yang indaaah banget sama Tuhan, tapi sekarang udah waktunya untuk bangun. Waktunya untuk kerja lagi. Untuk cari yang baru.

Maka dari itu, malam ini adalah pertanda bahwa Tuhan masih baik. Dia membangunkanku dalam mimpi yang seharusnya aku tidak menenggelamkan diriku disitu. Karena tempatku sedari awal memanglah bukan disitu. Jadi, alih-alih bersedih, aku ingin tertawa malam ini. Merayakan sebuah "kemenangan" dan bukan kekalahan.

Iya, call me crazy for saying that. Tapi, mungkin semua hal memang soal sudut pandang aja. Soal POV. Gimana kita melihat suatu kejadian.

"Salut sih gue sama lo, Matt." Victoria menepuk pundakku. Jalan rumah kami searah, jadi tadi aku menawarkan untuk mengantar dia pulang. Kini kami malah jadi ngobrol di depan rumahnya.

Dia melipat kedua tangannya di depan dada serta menghela napas berat. "Andai gue bisa kayak lo."Aku menatapnya lewat ujung mataku. Dia menatap lurus ke depan. Ah, Vic... andai aja lo tau sekarang Max deket sama siapa...

"Lo tau gak sih, Matt, apa yang bikin gue merasa lebih bego lagi?" Aku menganggukkan daguku, seolah bertanya 'apa?' Lalu, ia melanjutkan, sembari kakinya memainkan batu kerikil. "Waktu Max masih dirawat. Sekitar 3-4 bulan lalu, ya, berarti. Gue mau ngasih dia makanan. Semangat banget gue waktu itu. Gue pikir spend time berdua aja bisa bikin hubungan kita tuh kayak dulu lagi." Nada bicaranya menggambarkan semangatnya dia. "Gue pesen cheese pizza, kesukaannya." Nggak banyak orang yang tahu bahwa orang sedingin dan sekaku Max suka banget sama keju.

"Tapi..." Dia membuka tangannya lebar, merentangkan tangannya, merenggangkan tubuhnya. "Ternyata martabak keju lebih menarik." Dia menatapku. "Disuapin pula, Matt, dia waktu itu."

"Nadine. Itu pertama kalinya gue ngeliat dia." Aku menarik tubuhku sedikit menjauh serta melebarkan mataku. Dan dia mengangguk sebagai jawaban kekagetanku. Ternyata Victoria udah tau. "Gue inget banget tangan gue udah megang gagang pintu, cok, astaga. Pas gue liat, gue langsung...gatau lah...gatau mau ngomong apa. Bingung. Sedih."

"Udah kayak gitu mah, harusnya kan, udah jelas yak. Gue harus berhenti suka." Aku rasanya ingin sekali memberitahu dia soal aku melihat Max pergi ke toko bunga dengan Nadine. Aku ingin menambahkan satu lagi alasan untuk dia berhenti menyukai Max. "Tapi, sumpah, Matt. Segalanya tentang Max bikin gue jatuh lagi dan lagi." Penekanan katanya mantap, seakan dia nggak akan berhenti menyukai Max sampai kapanpun. Jadi, kuurungkan niatku. Karena tentang pergi nya Max dan Nadine ke toko bunga pun aku yakin tidak akan menggoyahkan perasaannya.

Victoria...she's mad when it comes to loving someone. Mad...to the state...almost insane.

***

Sore ini, kami para anak-anak musik ngumpul di aula untuk menyelesaikan tugas band kami. Ini adalah tugas musik terakhir kami di kelas sembilan. Membentuk band dan memainkan lagu pilihan kami masing-masing dengan improvisasi yang kami buat sendiri. Kris datang-datang langsung marah-marah, "Max, lu mah bangke! Kalo lu punya studio segitu gede, ngapain juga kemarin-kemarin kita latihan di aula yang kekurangan alat musik gini!" Dia menepuk pundak Max sampai-sampai tubuh cowok itu terdorong. Kris langsung duduk diatas kahunnya.

Max yang sudah memangku gitar elektriknya malah cengengesan. "Ya, maap. Itu studio baru beneran jadi juga minggu lalu."

"Hah? Serius baru jadi minggu lalu?" Sabina nyaris melongo. Karena studio itu tampak seperti sudah ada sejak lama. Tidak ada satu kepingan yang menampilkan rasa 'barang baru.'

"Alat musik nya beberapa udah ada yang dari dulu." Ia membetulkan senar gitarnya. "Tapi ruangannya yang baru jadi minggu lalu."

Pak Winatra masuk, "ayok, BeBand. Kita mulai." Ia langsung duduk di tempat duduk baris paling depan.

"Waduh, sabar, Pak." Matt menyahut, baru masuk ke dalam drum shield. "Kita baru sampe nih." Dia mengatur tempat duduknya agar setara dengan tubuhnya. Aku juga ikut buru-buru memasang mic, dan mengalungi gitar kecilku. Sabina berdiri di sebelahku dengan suling di tangannya. "Pam, Ri, siap?" tanya Matt karena dia yang akan memberikan aba-aba untuk memulai. Mereka berdua langsung mengangguk, dan kami mulai.


Lagu selesai, Pak Winatra memberikan tepuk tangan. "Oke, saya mau tanya satu pertanyaan. Bisa jelaskan kenapa namanya BeBand?" Ia bangkit berdiri dan menyimpan kedua tangannya dalam saku celana.

"Simpel, Pak." Kris langsung menjawab dengan lantang. "Karena beberapa dari kita, saya salah satunya, gak jago banget main musik. Tapi, disini diwajibkan sekali menjadi sempurna. Jadi, ya bagi beberapa dari kita, tugas akhir ini adalah beban."

Pak Winatra tampak mencerna sementara kami ngeri-ngeri sedap. Boleh nggak usah sejujur itu gak, Kris?! "Hmm...iya, Pak. Dan kami mikir, kan jelek ya kalau dibaca nya 'beban,' jadi kami bacanya jadi bee-ben. Lumayan lucu kedengerannya." tambah Matt, berusaha menutupi jawaban Kris tadi.

Lihat selengkapnya