Stream Menari by MALIQ & D'Essentials for A Better Reading Experience
__________________________________________
Victoria
"Doh, lo udah repot aja, dah, mau sekolah." Ciciku yang sekarang sudah duduk di tahun terakhirnya sekolah tampak pusing melihatku mondar-mandir di dapur. Ya, abis mau gimana? Tugas IPS terakhir kami diselenggarakan hari ini. Kami akan membuka booth kecil. Jadi, sejak satu jam yang lalu, aku sudah grasak-grusuk di dapur, menyiapkan seluruh bahan, karena semalam aku sudah tidak bernergi lagi.
Aku membawa bubuk kopi, mokapot, susu, dan kreamer. Sebenarnya memang tidak terlalu banyak yang perlu dibawa, hanya saja aku agak parno anaknya. Takut ada yang tertinggal. Aku mengecek HP-ku ketika mendapatkan Tim mengirimkan foto barang-barang yang ia bawa. Aku men-cek-list daftar bahan dan barang yang harus dibawa, dan bergegas mandi.
"Eh, bikinin gua kopi dong." Keluargaku sudah lengkap duduk di meja makan ketika aku turun kebawah. Itu tadi Ko Liam yang minta kopi. Kulirik jam, pukul 6 pas. Masih ada 1 jam lagi. Aku masih punya waktu. "Papa, mau gak?" kutawarkan ayahku yang duduk di ujung meja, kursi nya kepala keluarga. Yang ditanya mengangguk, Mama dan Ciciku pun ikutan berteriak minta.
Double espresso untuk Papa. White with single ristretto untuk Mama dan Cici. Untuk aku dan Ko Liam ialah ice long black with triple shots. "Pagi-pagi, Ria...kena maag kamu, minum kopi sebanyak itu." Papa melipat tangannya di dada dan menyenderkan punggungnya di kursi.
Aku menoleh kearah Ko Liam yang duduk di sebelahku, "noh, yang ajarin dia."
Ko Liam tidak menghiraukanku. "Sehat untuk jantung, bukan, Pak Dok?" Ia menyeruput kopi hitamnya.
Papa memutar bola matanya, memang malas kalau anak laki-lakinya sudah buka mulut. Kepalanya terlalu keras. Susah dibilangin. Tapi, dia favoritku di keluarga. Hehe.
"Oh ya, Ria. SMA jadi pindah?" Papa mengalihkan topik.
"Yeah, sure." Aku mengaduk-aduk kopiku. "Di Linear, udah dimintain bayar, Pa?" tanyaku. Sudah sejak lama memang aku memimpikan masuk ke Linear Bangsa. Sekolah jebolan para artis, yang fokusnya dalam pengembangan bakat dan karakter, bukan akademik. Karena jujur saja, soal Fisika, Matematika, apalagi Biologi sama sekali bukan keahlianku.
Mama membetulkan kacamatanya, dengan matanya yang masih menatap iPad. "Iya, kemarin Mama udah di Email, Ri."
Aku mengangguk. "Ya, udah. Aku udah mantep pindah kok."
"Nyesel gua gak pindah." Ciciku nimbrung seraya mengambil sourdough di tengah meja dan mengolesnya dengan butter. "Temen gue kesitu, ada ekskul fashion design seru banget." Iya, Ciciku memang tertarik sekali dengan dunia fesyen. Cita-citanya pula jadi perancang busana atau nggak model. Tapi, kubilang, dua-duanya pun bisa. Lekuk tubuhnya dan parasnya yang manis cocok sekali untuk dua bidang itu.
"But, you got your Paris." Dia sudah diterima di International Fashion Academy (IFA) di Paris, dan akan berangkat pertengahan tahun depan. "Beasiswa lagi." She's always been the smartest in the family.
"Kalau kamu udah mantep, kamu ada tes dulu, baru nanti kalau lolos Papa bayar."
"Hmm, iya." Aku manggut-manggut, mengingat kualifikasi untuk masuk ke Linear. "Nanti aku dikasih tes kemampuan dulu kan ya. Terus nanti baru disuruh buat karya berdasarkan hasil tes kemampuan aku."
"Iya. Kamu mau kapan free nya? Nanti Mama jadwalin."
Aku lantas membuka kalender. "Minggu depan aku libur. Jadwalin minggu depan aja."
***
"Oi, mas!" Aku menepuk pundak Timothy yang sudah sibuk mengutak-atik perlengkapan booth kami di ruang aula. "Udah sibuk aje, lo." cecarku, meletakkan barang-barang bawaanku di sebelah kursi.
"Abis yang lain udah pada sibuk," bola matanya keliling ruangan, "gue jadi termotivasi buat siap-siap juga."
Aku tertawa. "Hahaha, sori-sori gue datengnya mepet."
Dia mengibas-ngibaskan tangannya, "santai. Masih lima menit lagi kok sampe jam mulai."
"Eh, kita tetep harus renungan dulu ya di kelas?" tanyaku, lupa akan instruksi yang diberikan Bu Nami kemarin. Apakah kita tetap harus ikut renungan di kelas, atau renungan bersama di aula.
"Renungan bareng kok di aula." Timothy menahan langkahku dengan jawabannya. Bersamaan dengan jawabannya, Pak Andar, guru Agama kami masuk ke aula. Ia naik ke atas panggung, dan mengambil mic. "Anak-anak, tiga menit lagi kita akan mulai renungan. Yuk, persiapkan diri dulu, dan duduk dengan Alkitab dan buku renungannya masing-masing."
Aku selesai mengeluarkan semua bahan dari tas dan mengambil kedua buku yang harus aku persiapkan, lantas duduk bersebelahan dengan Timothy lesehan. "Hari ini hari ke...dua lima." Aku membuka halaman dua puluh lima, serta menyiapkan pasal yang tertera disitu.
Aku menyangga dagu di atas kepalan tanganku yang kuletakkan diatas paha. "Tim, random question...ayat kesukaan lo apa?" Tiba-tiba saja pertanyaan ini muncul di kepalaku.
"Filipi 3 ayat 14." Ia tersenyum. "I want to keep running to Him, not only for the pleasure but to His high calling."
Aku balas senyumannya. Kalimatnya menenangkan. "I love that. That's wonderful."
"What's yours?"
Aku menegakkan dudukku. "Mine...?" Aku merenggangkan tubuh. "Mine is the famous Psalm 23. Spesifically verse two until four." Giliran ia yang menanggapi jawabanku dengan senyuman. "Gue suka karena ayat ini nenangin banget. Dibaringkan dirumput hijau...dibimbing ke air yang tenang...dituntun ke jalan yang benar...oleh karena namaNya."
"Lovely. That is, too, wonderful."
Duk..duk...duk... Suara mic dipukul-pukul pelan mengisi aula. Pak Andar sedang mengetes ulang mic. "Oke, terimakasih, semuanya sudah duduk dengan tenang. Sekarang, Bapak minta kalian semua berdiri, kami nyanyikan lagu Bapa kami sama-sama."