Stream "Pulang" by Float for a Better Reading Experience
______________________________________
"Terus, lo jawab apa pas dia ngomong gitu?" tanya Ciciku seraya menyesap wine nya. Ia duduk mengangkat kakinya di teras. Sementara aku, masih memakai obat-obatan mukaku akibat jerawat.
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. "Boleh isiin wine buat gue dulu, gak?" Terdengar dentingan gelas dari terbenturnya botol anggur dan gelas rawan pecah itu. Aku langsung berjalan ke arah teras, mengambil gelas itu, meneguknya habis langsung. Ciciku sudah tidak heran dengan kebiasaanku yang selalu menegak habis gelas pertamaku. Dia langsung menuangkannya padaku, dan aku duduk di sebelahnya. "Gue...tolak."
Ia sontak menghentikan kegiatannya yang sedang menegak minumnya itu. Matanya melirik mataku. Wajahnya tidak memberikanku ekspresi apapun. Dia hanya menatapku dalam. Setelah berlihat-lihatan selama hampir semenit. Dia meletakkan gelasnya di meja. Menggosok-gosok dengkulnya yang ia naikkan keatas kursi. "Kenapa?" Suaranya tidak bertenaga, kecil sekali, seolah pertanyaannya ikut pergi terbawa angin.
Aku menyesap minumku. Menaikkan kedua pundakku. "Belom waktunya lah, Ci..." Aku mengelap bibirku dengan ujung bajuku.
"Kata siapa, Vic?" Dia mengangkat kedua alisnya kearahku. "Lo...," telunjuknya sempurna terarah ke wajahku."Jangan bohongin perasaan lo."
Aku meneguk anggur di gelasku, lantas mengisi ulang, "oke. Gue revisi. Gue gak nolak sepenuhnya sih."
"Tapi?" Kentara sekali bahwa Ciciku tidak puas dengan jawabanku.
"Yah... gue bilang. Jangan gampang bilang sayang. Kita masih bocah. Gak perlu bilang hal-hal yang terlalu romantis begitu. Masih panjang jalan kita ke depan. Kita sebentar lagi mau SMA di sekolah yang beda. Apa masih bisa sediain waktu untuk satu sama lain?" Aku... memang sedang membohongi diriku sendiri. Apa yang barusan aku tuturkan ke Cici adalah hal yang sama dengan yang aku tuturkan pada Max. Tapi, di saat yang bersamaan, hatiku sebenarnya memaki mulutku yang dengan lancangnya berbicara tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya aku rasakan. Apa yang Max katakan buatku benar-benar sulit berkata-kata. Dan aku memercayai apapun yang ia katakan. Namun rasanya, aku yang belum sanggup untuk berjanji dengan diriku sendiri.
Menjadi murid di Linear bukan perkara mudah. Akan ada banyak tantangan yang akan aku alami ketika nantinya aku berada di kelas bersama dengan orang-orang yang kemampuannya jauh diatasku. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa menyediakan waktu dan tenaga untuk Max nantinya. Maka dari itu, kupikir, akan lebih baik jika 'menolak' dia. Dengan begitu, setidaknya aku tidak akan ingkar janji.
Tidak lama setelah itu, kami semua masuk dalam jenjang baru. Jenjang terakhir dalam sekolah. Sekolah Menengah Atas. Benar saja, Linear sama sekali tidak membiarkanku bernapas. Di tahun pertamaku, aku kerja layaknya orang yang tak kenal istirahat. Setiap hari, aku akan pulang jam sembilan malam, akibat banyaknya jadwal di sekolah serta beberapa les yang harus aku jalankan. Aku sudah tidak ingat hari lagi. Sampai-sampai tidak terasa, aku ternyata sudah menyelesaikan satu tahun SMA-ku. Hubungan kami sebagai Panitia Yearbook SMP pun harus aku akui sudah tidak sedekat dulu. Kami masih saling mengirim pesan di group chat, namun tidak seaktif dulu.
Bahasan kami cepat habis begitu saja, karena ketika satu orang membuka topik, yang lain akan menjawabnya enam-tujuh jam setelahnya. Dimana topiknya sudah basi. Sudah tidak hangat lagi. Aku pun kerap kali sudah tidak punya tenaga untuk saling mengirim pesan seperti dulu. Sampai rumah, aku selalu langsung ingin tidur karena esok hari harus melakukan pertempuran yang sama dengan hari ini.
Aku tidak ingat kapan terakhir aku bisa naik ke ranjang di pukul delapan malam, sampai hari ini. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Kebetulan jatuh di hari Minggu. Jadi, permintaan keluargaku ialah aku bersantai sepanjang hari dan makan di restoran enak bersama mereka di malam harinya.
Sepulangnya dari makan malam keluarga, aku menyalakan lilin favoritku. Seperti biasa, menyalakan vinyl record-ku. Menyembunyikan tubuhku dibawah hangatnya selimut. Setahun lalu, aku memang 'menolak' Max. Tapi, tiada hari aku lewati tidak merindukan dia. Aku kangen, dan akan terus kangen. Pikiranku setiap malamnya hanya berisikan dia. Bahkan tidak jarang pula aku memimpikan dia saking rindunya. Namun, aku kecewa, karena dari sekian banyaknya manusia yang mengucapkan 'selamat ulang tahun' padaku, Max tidak melakukannya. Aku terus me-refresh halaman chatku dengan dirinya. Berharap ada pesan baru muncul. Tapi, tetap tidak ada.
Aku melirik kearah jendela. "Oh my, kapan ya terakhir gue bisa santai di teras?" Maka dari itu, disinilah aku sekarang. Duduk menikmati secangkir teh hangat, dengan angin sepoi-sepoi malam. "Max... gue kangen, Max..." Aku menggumamkan perasaanku. "Sebenernya gue bego ya, tahun lalu gak nerima lo..." Aku membuang napas kasar, mengasihani diriku sendiri. "Lo udah gak sayang lagi ya sama gue? Ulang tahun gue...udah gak inget ya? Hmm... ya... wajar kok, Max. Gak pa-pa."
But, it is indeed true, when you expect nothing, that is when the surprise come. Pukul sebelas malam. Ketika hari sebentar lagi akan berakhir, aku mendapati mobilnya di depan rumahku. Aku hampir tersedak teh ketika aku melihat sosoknya keluar dari mobil. Dia menengok keatas, mendapati aku yang sedang melongo. Dia tersenyum.
Aku buru-buru turun dengan tenang. Berusaha tidak membangunkan siapapun. Aku buka pagar dengan teramat pelan. Dan ketika pintu pagar terbuka, wajahnya tepat ada di depanku. Wanginya langsung sampai pada indra pencimanku. Wajahnya terkesan lelah, namun semangat di saat yang bersamaan. Aku tidak mengatakan apapun. Aku tidak tahu harus berbicara apapun, karena di detik selanjutnya, ada satu keramik besar berisikan lilin berbentuk kue yang ia nyalakan. Walau bentuknya kue, namun baunya teakwood dan freesia. Wangi-wangi kesukaanku.
Mataku berair. Dia mengenalku sekali. "Happiest birthday, Victoria." Aku hanya diam. Sungguh, masih tidak tahu harus berkata apa. "Maaf ya, aku datangnya pas udah mau selesai hari ulang tahunnya." Mataku berkaca-kaca, tapi senyumku sudah tidak bisa kutahan lagi. Kini aku menatap laut matanya. Seperti sedang menyelami laut biru yang dalam, aku pun seolah sedang menjelajahi dalamnya tatapan Max padaku. Max... I don't deserve this. You're too kind for me.
Tanpa aku sadari, sebutir air lolos dari mataku. "Max...makasih ya." Aku menyedot hingusku di tengah wangi yang mulai tercium, serta hangatnya malam ini. "Aku...aku seneng banget."
"Make a wish, Vic." suruhnya dan aku langsung memejamkan kedua mataku. Aku ucapkan semua doaku dalam hati, harapanku tidak banyak. Aku hanya mau semua orang yang aku sayang hidup dalam rasa bahagia dan tinggal dalam tubuh yang senantiasa kuat dan sehat. Di akhir doaku, aku minta bahwa orang yang sekarang berdiri di depanku ini selalu dikelilingi sama orang baik dan agar dia tahu bahwa aku sayaaaang banget sama dia. "Amin."
Aku lantas meniup semua lilin yang ada, "Max, masuk aja, yuk." Aku mendorong pintu pagar agar terbuka lebih lebar lagi. "Atau udah terlalu capek, ya?" Aku tatap wajahnya.
"Enggak capek, kok, Vic." Aku mengambil keramik lilin itu dari tangannya, dan dia menggaruk-garuk kepalanya. "Cuma, besok pagi aku ada Band Fest di sekolah dari pagi. Jadi... maaf, kayaknya aku gak bisa masuk." Wajahnya penuh rasa bersalah, sementara aku merasa itu bukan sebuah hal yang ia harus rasa bersalahkan. Sungguh, tidak apa-apa. Aku mengerti. "Aku free minggu depan." Dia beri alternatif. "Kemarin Matt sama Kris sempet ngajakin nongkrong. Katanya mereka mau follow-up di group chat kita, tapi kayaknya pada lupa deh saking sibuknya." Aku mengangguk-angguk. Max tiba-tiba langsung mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan menjepret wajahku secara mendadak.
"Eh, buset. Jelek, Max." Bunyi notifikasi muncul di ponselku. Max mengirimnya ke group chat Panitia Yearbook.
"Guys, cabut weekend depan hari Sabtu bisa gak?" Disusul dengan isi pesan yang gak ada hubungannya sama sekali dengan fotoku.
Entah semesta sedang memberikanku kado atau apa, semuanya mendadak online. "Cielahhh... sa ae lo ngasih kue lilin gitu, Nyet." balas Matt.
"Idih, idihh tuh muka sumringah amat, Vic." susul Sabina.
"Acikiwirrrrr, co cwitttt bettttt." Joy ikut menyeletuk dan mengirim stiker emoji dengan pipi merah.
"Untuk menjawab bisa apa engga, gue bisa nih, Sabtu depan." Farel menimpali menjawab pertanyaan Max. Dan sekali lagi, hari ini Tuhan baik sekali padaku. Karena semua anak-anak Panitia Yearbook dengan mudahnya berkata 'bisa' pada ajakan Max.
"Tumben banget, pada langsung online gini." kata Max sambil senyum-senyum. Aku pun juga sambil senyum-senyum menatap halaman chat tersebut. "Ya, udah. Aku pulang dulu deh." Ia memegang pundakku, "tidur yang nyenyak ya, Vic." Dan perasaan hangat langsung menyergapku, membuatku reflek langsung memegang telapak tangannya, "kamu juga, Max. Sekali lagi, I feel so appreciated and... loved. Thank you, Max. I really thank you. You truly made my day." Aku mengucap kata terima kasih berkali-kali karena aku memang merasa berterima kasih dengan segala hal yang Max lakukan padaku.
***
Kembali pada malam dimana Max mengutarakan isi hatinya dengan teramat sempurna. Malam itu adalah malam paling hangat bagiku. Malam dimana aku merasa jadi perempuan paling beruntung dan bahagia karena dicintai sebegitu effortless nya dengan seorang Max Jefferey. "I want to keep going home. Home. To you again...and again...and again." Rasanya aku langsung ingin memeluk Max saat itu juga. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya berasal dari hati. Pemilihan katanya yang...sungguh aku belum pernah mendengar orang sebegitu ingin dekatnya dengan diriku. Aku nggak layak dibilang rumah. Belum layak. Aku masih bocah ingusan yang kerap kali egois dan mementingkan diri sendiri. "Tapi, kamu selalu mengerti aku, Vic." Malah begitu kata Max. Aku masih banyak kurangnya, aku masih suka ngomong asal tanpa mikir, yang seringkali bikin orang lain sakit hati. Tapi Max malah memberiku ruang untuk bertumbuh bersama.
"Kita bisa grow together. Aku mau temenin kamu tumbuh, dan aku mau kamu temenin aku tumbuh." Aku akan sibuk sekolah, pacaran dan punya pacar... belum jadi prioritasku. "Gak pa-pa. Aku ngerti. Aku juga akan sibuk. Tapi, aku mau ceritain keluh kesah aku ke kamu waktu malem sebelum tidur, Vic."
Max punya seribu satu jawaban untuk seluruh keraguanku. Walau malam itu tetap berujung dengan diriku yang berkata, "Max. I love you, I do. A million times, I do. Tapi, waktunya lagi gak tepat, Max. Aku mau SMA. Aku mau kejar semua kemauan aku. Aku mau ikut club ini-itu. SMA bagiku itu saatnya nabung buat kuliah. Waktunya kumpulin banyak-banyak pengalaman organisasi dan cetak nilai bagus. Aku mau kasih fokus sepenuhnya ke Linear.
Aku sayang kamu, Max. Dan aku mau kamu selalu ada di sisi aku. Tapi, daripada aku gak bisa komitmen kasih waktu aku ke kamu, lebih baik kita tetep sebagai temen yang nggak perlu ngabarin setiap hari, nggak perlu update kegiatan setiap hari... dengan begitu aku setidaknya gak perlu merasa bersalah kalau aku terlalu sibuk dan gak bisa kabarin kamu.
Aku nggak mau hubungan kita ini rusak cuma karena status kita pacaran, tapi kita nggak kayak pacaran. Karena, sungguh, Max, aku nggak tahu apakah aku bisa kasih waktu aku ke kamu setiap harinya. Begitu juga sama kamu," aku berhenti sebentar, "kamu... fokus dulu aja sekolah. Kita tetep bisa saling temenin kok walau gak pacaran." Aku memaksakan senyum, dan Max pun melakukan hal yang sama. Max mengangguk dengan lesu. Anggukkan nya sama sekali tidak mantap, tidak rela dengan jawaban yang aku beri. Kepalanya kini menunduk. "Dan..." Aku membelai pipinya agar matanya kembali bertemu dengan mataku. "Dan... kalau kamu merasa kesepian kalau malam... merasa kamar sebelah terlalu berisik, telefon lah aku, Max." Sebutir air lolos dari matanya. "Aku pasti akan angkat. Aku pasti temenin kamu. Don't ever ever feel alone, Max. Because you're not. You have me."
***
Sepanjang tahun ini, hari ini aku merasa baru bisa bernapas dan menikmati diriku. Aku memandangi diriku yang sudah berpakaian rapi dan cantik di kaca. Jarang-jarang sekali kegiatan ini bisa kulakukan dalam setahun terakhir. Boro-boro ootd-an, baju dan celana yang ada di tumpukkan atas lemariku saja tidak pernah ganti saking sibuknya dan malas memikirkan soal outfit. Yang penting nyaman dan rapi aja.
Hari ini aku memakai tank-top garis-garis yang aku padukan dengan celana gantung warna abu-abu. Simpel sekali, tapi aku merasa sangat fresh. Aku menyemprot minyak wangi di kedua pergelangan tanganku serta menggosokkannya pada bagian belakang telinga. Aku cek HP-ku, memastikan belum ada notif dari Joy yang masuk, karena kami sepakat untuk otw bareng ke lokasi Panitia Yearbook nongkrong. Dan Joy yang akan datang kerumahku terlebih dahulu, barulah kami diantar ke tempat tujuan. Lantas aku mengambil tas serta menyelempangkannya pada tubuhku.
Turun ke lantai bawah, memilih sepatu favoritku. Yaampun, ini sepatu udah gak dipakai selama beberapa bulan, ya? Seneng banget rasanya ketika aku bisa kembali berdiri di sepatu kesukaanku. Indeed, I'm nicer when I like my outfit. Tidak lama, terdengar klakson mobil, menandakan ada orang di depan rumah. Aku buru-buru keluar, itu pasti Joy.