Aleta berjalan gontai begitu keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, dia merasa tubuhnya sangat lemah.
Apa yang harus gue lakuin sekarang?
Sebuah pertanyaan muncul di kepalanya, Apa ini cobaan untuk hubungannya dengan Arven? Setelah sekian lama mereka bersama.
Aleta menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, dia meremas sebatang alat kontrasepsi di tangannya dengan kuat.
Dia meliukkan badannya dan berusaha dengan keras agar tidak menangis.
Ponselnya berdering, Aleta meraih benda itu di bawah bantal.
Nama Pingkan terpampang di layar ponselnya, Aleta menormalkan pernafasannya.
Aleta tau Pingkan khawatir padanya, teman baiknya itu akan sama paniknya bila tau bahwa hasilnya positif.
"Ta, gimana hasilnya?" Sambar Pingkan dengan nada panik.
Aleta menghembuskan nafas dengan berat, airmatanya mulai mengenang sampai bibirnya bergetar menahan tangis.
Aleta mencoba bicara senormal mungkin, tapi sepertinya tidak akan berhasil.
"G-gue..."
Pingkan mulai merasa ada yang tidak beres dengan nada suara Aleta dan langsung menyela dengan cepat, "Aleta, jangan bilang kalo..." dia menggantungkan ucapannya.
Tepat pada hitungan ketiga tangis Aleta pecah.
Disitulah jawabannya.
***
Sekali lagi Aleta menatap sosok pucat dan berkantong mata di depan cermin, dia terlihat seperti mayat hidup.
Aleta menghembuskan nafasnya dan menyapu seragam putih sekolahnya dengan kedua tangan lalu merapihkan rambutnya untuk yang kesekiankalinya.
Dia meraih tas sekolah dan keluar dari kamar sebagai sosok Aleta yang normal.
Langkah Aleta terhenti saat dia menuruni tangga, pemandangan tidak asing kembali dia lihat, tapi kali ini wajah wanita itu yang asing.
Aleta membuang muka dan berusaha untuk tidak memperdulikan mereka sambil berjalan turun dari tangga agar segera keluar dari rumah jahanam ini.
“Siapa itu?”
Aleta dapat mendengar suara wanita itu, dia tidak peduli dan terus berjalan melewati mereka.
“Dia putriku, biarkan saja.”
Aleta dapat mendengar suara ayahnya, kali ini dia justru peduli.
Langkahnya ikut berhenti saat mendengar tawa kecil dari mereka, Aleta berbalik dan mendapati ayahnya sedang mencumbui wanita itu.
Dasar sialan!
Aleta benar-benar geram, kedua tangannya terkepal erat tapi airmatanya menggenang, ini seharusnya tidak terjadi—tapi akhir-akhir ini dia begitu sensitif.
“PAPA!” teriak Aleta membuat gema di sepenjuru ruang tamu yang besar ini.
Mereka berdua berhenti dan sama-sama berpaling.
“Bisa kita bicara?” ujar Aleta yakin.
Dia ingin mengatakan semuanya pada pria sialan ini, kita lihat bagaimana reaksinya begitu tau apa yang terjadi Aleta.
Aleta berharap dia mengamuk—Aleta ingin lihat ayahnya memberontak, Aleta ingin merasakan betapa menyakitnya pukulan ayahnya nanti padanya—seperti orang tua kebanyakan yang akan hancur mendengar keadaan putri yang mereka sayangi.
Ayahnya melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah satu kali.
“Kamu tidak lihat saya sedang sibuk? Sebaiknya kamu ke sekolah sekarang dan jangan ganggu saya lagi,” ujar ayahnya kasar.
Pria brengsek itu lalu menarik tangan wanitanya pergi dari sana, meninggalkan Aleta mematung memperhatikan mereka masuk ke salah satu kamar di rumah ini.
Beberapa pembantu hanya menatap Aleta dengan iba, membuat cewek itu ingin menghancurkan apa saja yang dia lihat sekarang, ingin melempar vas bunga ke dalam kamar itu, tapi dia tiba-tiba kehilangan niat.
Seharusnya dia tidak bicara, seharusnya dia pergi saja seperti biasanya. Ayahnya tidak peduli padanya, ayahnya bahkan merasa dia tidak ada di dunia ini.