Senin Pukul 06:00
“Freed ... bangun! Sudah pukul enam pagi, nanti Jessie terlambat ke sekolah lho,” suara lembut itu selalu terdengar setiap pagi, hari Senin sampai dengan hari Jumat. Dengan mata yang masih se-per-empat terbuka, Freed mencoba bangun dengan sekuat tenaga meskipun nyawanya belum sepenuhnya terkumpul.
“Okee ... aku sudah bangun ... oke-oke ... sudah bangun,” Jawab Freed.
“Papaaa ... ayooooooo aku sudah siap!” suara riang dan penuh semangat itu adalah Jessie, dengan nama panjang Jessica Frederica, anak satu-satunya Freed.
Suara lembut itu Lillyana Sharon biasa panggil Lilly istri Freed dan juga Mama Jessie.
Freedie Gibson adalah Papa muda berusia 35 tahun mantan seorang komando cadangan Tentara Nasional. Keluarga ini bahagia dengan segala kekurangan dan kelebihanya, tinggal di rumah peninggalan orang tua Freed, di sebuah perumahan dengan populasi yang lumayan padat.
Freed pun bergegas cuci muka, lalu mengenakan jaket ojolnya dan mengajak jessie untuk berangkat kesekolah.
“Ayo sayang … Papa sudah siap lho,” kata Freed sambil mengayunkan telapak tangan kirinya ke Jessie.
Dan mereka berdua pun berlalu sambil melambaikan tangan kepada Lilly. Setelah motor Freed sudah di penghujung jalan Lilly pun segera masuk rumah, karena pekerjaan rumah yang belum selesai ditambah lagi pekerjaanya sebagai penulis novel, yang karya selanjutnya akan segera di tagih oleh penerbit.
“Papa, nanti kata Ibu guru pulangnya agak telat karena ada pelajaran tambahan,” kata Jessie kepada Freed, sekedar menginformasikan kegiatan hari ini di sekolah.
“Oh ya? nanti Papa jemput kamu ya seperti jam biasa aja, sekalian Papa mau ngobrol-ngobrol sama pak Yanto warung depan sekolah,” jawab Freed santai.
Setelah itu di perjalanan tidak ada pembicaraan apapun. Akhirnya tiba juga mereka didepan gerbang sekolah Jessie, gapura raksasa yang bertuliskan SD FRANSIKUS XAVIERUS DIRGASANAKARTA, sekolah elit di kota itu, kalau di hitung secara matematika, Freed terlalu memaksakan diri menyekolahkan anaknya disekolah itu, dengan resiko Freed harus menambah jam kerjanya, tetapi Freed dengan bahagia melakukan hal itu demi anak semata wayangnya. Setelah selesai mengantar Jessie ke sekolah, Freed pun bergegas menghidupkan aplikasi per-ojolanya untuk mencari nafkah dan uang SPP.
Walaupun ia seorang mantan komando cadangan, Freed bukan orang yang sok keras, dia tetap rendah hati, banyak yang menanti kehadiranya di tempat tongkrongan. Terkadang Freed senyam-senyum sendiri kalau mengingat pertemuan awal dengan Lilly.
Lilly yang bermula adalah seorang sandera, ditawan oleh teroris disuatu mall dikota ini, kebetulan Freed saat itu sedang tidak bertugas, namun instingnya seorang “tentara” walau bukan tentara organik. Freed nekat menyelamatkan dengan peralatan seadanya.
“Triing … Triing!” notifikasi nyaring di handphone, menandakan orderan masuk. Sebelum tugas menjemput Jessie pulang sekolah, itulah yang dia kerjakan.
....
Lilly bekerja dirumah seperti biasanya, setelah selesai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Ia membuka laptop kesayanganya lalu meneruskan menulis novel yang belum selesai ia kerjakan, ya karena sebagai novelis yang merangkap sebagai ibu rumah tangga itu bukanlah hal yang mudah.
Beberapa novel bertema fiksi misteri telah ia release. Ada pula satu naskah yang sampai di pakai untuk bahan dasar film bioskop dan filmnya juga meledak serta trending sampai beberapa bulan. Bagi Lilly itu adalah sesuatu mimpi didunia nyata yang tak terduga royalti mengalir deras mirip-mirip dapat jackpot pada permainan judi online.
Tak terasa pukul 01:25 terik matahari seperti merebus kulit, walau sudah menggunakan jaket seragam ojol, terasa di kulit masih sangat panas. Meskipun begitu Freed tetap semangat untuk menjalani pekerjaanya pada siang itu.