“Tab … tab … tab … tab …,” suara langkah kaki memecah keheningan malam. Langkah kaki itu beralaskan sepatu convers berukuran 36. Seorang gadis berusia 15 tahun berambut panjang lurus se-pinggang dengan warna kecoklatan, menggendong ransel warna bermotif kotak-kotak bergaris warna coklat muda. Gadis itu memasuki minimarket dengan sangat hati-hati, celingak-celinguk memastikan kondisi benar-benar aman. Lalu ia mengambil makanan dan air minum kemasan hingga tasnya penuh. Malam itu hanya ia sendiri yang dipastikan sebagai manusia 'hidup'.
Sesaat hendak keluar minimarket, ia tidak sengaja menginjak kaleng minuman bersoda, hingga menimbulkan suara yang memancing para infected yang sedari tadi mematung.
“Oh … tidak!” serunya lirih.
“Wuaaarrkkkkk …!” terdengar erangan yang khas dari jarak dua puluh langkah kebelakang. Para infected mencari sumber suara itu dengan membabi buta.
Tanpa berpikir panjang ia berlari sekuat tenaga, hingga ia menemukan gerobak angkringan yang sudah di tinggal oleh pemiliknya. Dia pun bersembunyi di balik gerobak itu hingga dipastikan kondisi dirasa aman.
….
“Sayang, apakah logistik aman untuk beberapa minggu?” tanya Freed kepada istrinya.
“Tunggu aku cek dulu di almari persediaan,” jawab Lilly sambil bergegas melihat almari yang berada di dapur.
Malam itu suasana sunyi, Jessie sudah tertidur pulas karena kelelahan. Freed mengintip dari sela-sela koran bekas yang ia tempel bersama Jessie tadi sewaktu magrib. Hanya terlihat 2 ekor infected yang mematung dan itu berada didepan rumah pak Bram tetangga depan rumah. Rumah itu tertutup rapat, dan tanpa penerangan sedikit pun.
“Hari ini kan jadwal kita belanja bulanan, aku jadi ingat. Pantesan almari kosong,” kata Lilly berbisik sambil tanganya mendarat di pundak Freed.
“Mumpung para infected hanya 2 ekor didepan rumah pak Bram, apa aku pergi mencari logistik?” ucap Freed sambil meminta persetujuan Lilly.
“Aku dan Jessie ga mau kehilangan mu untuk kedua kali Freed,” jawab Lilly merajuk.
“Tenang, aku akan kembali secepatnya,” Freed mencoba meyakinkan Lilly.
“Kan ga lucu juga, kita mencoba bertahan menghindari infected tapi kita mati kelaparan,” timpal Freed lagi.
“Aku hanya berharap tidak kehilangan mu,” jawab Lilly lemas.
Freed bergegas menganti pakaian dengan armor andalanya, tak lupa membawa peralatan tempur serta kacamata infrared.
“Setelah aku meluncur tolong tutup pagar dan kunci rapat-rapat. Aku akan pakai motor supaya bisa bergerak dengan lincah,” Freed menjelaskan arahan rencananya.
“Aku berharap ga kehilangan mu,” Lilly menjawab kata-kata itu untuk kedua kalinya.
“greegedeeekkk ….” Gerbang terbuka, dan …,
“Bruuum … hmmm … bruuum …,” deru suara knalpot, Yamaha Soul GT 160cc mengiringi kepergian Freed.
Lilly bergegas masuk kedalam rumah, rasa khawatir menyelimutinya. Para infected yang berada dijalanan pun terpancing oleh deru suara motor Freed. Para infected pun mengejar Freed hingga ujung jalan.
“Tuhan … lindungi aku,” kata Freed lirih. Ia mengenakan baju tempur serba hitam, buff hitam dan kacamata infrared. Untuk meminimalisir infected terpancing saat ia tidak dalam berkendara.
Sudah sejauh tiga kilometer ia berkendara, tibalah ia di sebuah pusat pertokoan. Ia mencari minimarket yang lumayan lengkap untuk dijarah.