“Bruumm … hmm … bruuum …,” suara knalpot mobil sedan hitam tanpa lampu, melesat cepat tanpa jeda sedikitpun. Pengemudinya adalah seorang wanita berambut pendek sebahu dan mengenakan topi eiger. Di sampingnya ada seorang laki-laki dengan badan tegap berkulit kuning, bermata sipit dan tengah memangku sebuah kapak warna hitam bergagang merah. Dan yang disebelah Andrew ada seorang wanita berambut keriting, berkulit hitam. Andrew belum berbicara sepatah kata pun, gesturenya menyiratkan bahwa dia sedang dalam keadaan waspada. Walau posisi sekarang, mereka bertiga adalah malaikat penolongnya.
“Ehem … bagaimana rasanya di ujung kematian?” tanya Dyah. Ia bertanya dengan nada datar, kaki kanannya tetap konstan mengijak pedal gas dan matanya tetap fokus memperhatikan gelapnya jalan raya.
“Maksud mu?” tanya Andrew balik.
“Apa kau tidak mengerti bahasa Indonesia dengan baik dan benar?” tanya pria yang duduk disebelah Dyah, yang tidak lain itu adalah Sean.
“Pelan-pelan saja team, biar aku yang bertanya,” kata wanita yang duduk disebelah Andrew.
“Oke … begini kawan, perkenalkan nama ku Brenda. Aku tahu kamu seorang perwira, karena aku lihat ada lambang bunga tanjung dikerah bajumu. Pertanyaan sederhana tolong di jawab dengan seksama … oke? Hmm … kenapa kamu bisa terjebak diantara para makhluk berlendir?” kata Brenda panjang lebar mencairkan suasana dan di akhiri dengan pertanyaan.
“Aku ditugaskan menjaga perbatasan, tiba-tiba ratusan infected menyerang dan kami kuwalahan, semua personil jadi santapan para infected dan tidak berselang lama para personil juga berubah jadi seperti mereka. Aku hanya bisa menghindar dengan berlari sekuat tenaga. Akhirnya dipersimpangan setelah beberapa ratus meter aku berlari, kalian menawariku tumpangan. aku berterima kasih, atas apa yang kalian lakukan,” Andrew mencoba menjelaskan dengan singkat.
“Tidak perlu berterima kasih pada kami, tetapi berterima kasihlah pada Sean. Dia yang meminta untuk menyelamatkan mu,” ucap Brenda sembari melihat melirik ke arah Sean.
“Terimakasih, bro. Tapi apa kamu mengenal ku?” tanya Andrew kepada sean.
“Sebenarnya tidak perlu berterima kasih padaku, kalau pun kamu lupa itu tidak jadi masalah, kalau aku yang melupakan mu berarti aku lebih hina dari pada koruptor,” jawab Sean tegas.
….
….
“Freed kau pembuatnya takut,” ucap Lilly menengahi. Saat itu Myra masih tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya.
“Ayo masuk! Jika kalian masih disini, para infected akan semakin brutal dan mungkin bisa mengundang infected yang lain. Akibatnya akan menumpuk, bisa-bisa merobohkan pagar,” Lilly meminta Freed dan Myra untuk masuk rumah. Freed menenteng tas logistiknya dan Myra mengikutinya dari belakang. Namun Myra hanya melangkah satu langkah dari pintu dan tidak meneruskan langkahnya. Mungkin ia sungkan.
“Ayo dek sini!” ucap Lilly ramah sambil mengayunkan telapak tangan. Dengan langkah berat Myra berjalan ke arah Lilly yang sedang duduk di sofa.
Dengan segera Freed mengunci pintu dan memasukan kunci pintu kedalam laci dapur, lalu laci dapur dikuncinya dan kuci laci dapur dikantoinginya. Freed lalu naik ke lantai dua untuk berganti pakaian dan melihat keadaan putrinya.