“Bagaimana bisa kau berkata begitu? Padahal seingat ku, aku baru pertama melihat mu,” ucap Andrew bingung. Andrew masih berusaha mengingat, tetapi benar-benar tidak ingat.
“Beberapa tahun yang lalu, Legium ditugaskan untuk membantu Tentara Nasional. Tepatnya di Sandyakarta. Karena Tentara Nasional terpentok dengan masalah HAM. Jadi kementrian pertahanan menyewa Legium untuk turun tangan dalam membasmi separatis di Sandyakarta. Malam itu aku tertembak dan aku hampir meregang nyawa. Saat dibawa ke barak Tentara Nasional, aku dirawat oleh seseorang. Sebelum aku pingsan, aku membaca name tag-nya bertuliskan ‘Andrew’. Setelah aku sadar, aku sudah dirumah sakit Pusat Angkatan Darat di Jayakarta. Aku menjalani terapi pemulihan. Saat aku berjalan-jalan disekitar rumah sakit, aku melihat foto-foto dokter disana. Aku membaca keterangan di bawah foto, bertuliskan ‘Mayor dr Andrew Tjokro Kusumo’, hanya itu satu-satunya nama Andrew. Aku pun menemukan siapa yang telah menyelamatkan nyawaku,” Sean menjabarkan apa yang pernah dialaminya.
“Oh … terima kasih Sean, aku sudah mengingatnya. Waktu itu Luis memapah mu dengan terbata-bata. Kondisi mu sudah lemas, tetapi pupil masih merespon dengan baik. Lalu aku merekomendasikan supaya kamu dibawa terbang langsung ke RSPAD,” ucap Andrew sambil mengingat-ingat kejadian waktu itu.
“Saya yang harusnya berterima kasih dok,” timpal Sean.
“Saya mewakili rekan-rekan Tentara Nasional, berterima kasih pada Legium. Karena kalian memiliki keberanian yang diluar nalar. Enam orang bisa memporak-porandakan separatis yang mengatasnamakan Gerakan Sandyakala Merdeka,” Andrew berkata sambil membusungkan dadanya.
“Bukan hebat dok, hanya kami tidak terikat dengan perundangan import yang mempersulit kinerja Tentara Nasional,” ucap Sean.
“Walau kami juga babak belur,” timpal Sean lagi.
“Team … didepan ada rumah kosong dan kondisi sepertinya clear, bagaimana kalau kita jadikan untuk basecamp sementara?” kata Brenda sambil memperlambat laju mobil.
“Ide bagus! Badan ku sudah pegal-pegal,” timpal Brenda.
Mereka berempat turun dari mobil, mengendap-endap penuh waspada.
“Psst!” Dyah mendesis sambil matanya diarahlan ke Andrew yang siap dengan senapan laras panjangnya.
“Dok … jangan pakai itu!” kata Sean berbisik sambil menaikan kedua alisnya.
“Pakai pisau,” timpal Sean lagi.
Andrew mengganti senjata yang ia pakai, dikalungkanya AK47 dan ia stanby dengan pisau komando yang bertuliskan made in America.
Sean dan Brenda masik kerumah kosong itu. Dyah dan Andrew berjaga-jaga diluar. Langkah demi langkah, akhirnya sepatu boots Sean menginjak lantai keramik dan matanya menuju kesiluet yang menggambarkan seseorang tengah berdiri agak membungkuk. Kapaknya dipukulkan pelan ke tembok, “dug!” Dan tak lama ….
“Rhoooaarrr ….” Ternyata yang didepanya adalah seekor infected. Bilah kapak tidak berkompromi, langsung membelah kepala infected. Suasana menjadi senyap kembali.
“Tenang dok, clear” ucap Dyah lirih. Karena melihat Andrew tiba-tiba bereaksi.
“Tik … tik … tik …!” suara bilah kapak dan pisau Brenda beradu, yang berarti kondisi clear atau aman.
“Ayo masuk!” Ajak Dyah ke Andrew.
Brenda mengeluarkan nesting dan kompor mini, Sean mencari-cari sesuatu yang bisa di manfaatkan dan Dyah kembali ke mobil, untuk memarkirkan mobil kegarasi rumah itu. Tak lupa ia menutup gerbangnya.
“Kenapa Sean melarangku mengunakan senapan? Bukanya lebih cepat untuk menghabisi infected,” tanya Andrew.