The Last Letter To You

Ayu fazira
Chapter #4

TLLTY 3

Bersamaku, senang yang kau rasa akan berujung sakit. Aku sudah memperingati. Hati-hati dan jangan menyesal di akhir nanti.

......

Ting!

Denting pintu kafe berbunyi, menandakan seseorang telah masuk ke dalam. Laki-laki berkemeja hitam dengan ransel hijau tua yang tersampir dipundaknya, naik ke lantai dua setelah memesan sesuatu pada pelayan di meja kasir, berjalan menuju meja kosong yang terletak di ruangan outdoor. Gerak-geriknya seperti menunjukkan bahwa dia sudah sering ke sana dan hafal betul tempat duduk paling strategis.

Raveena café, namanya. Gedung besar berlantai dua yang disulap menjadi tempat tongkrongan anak muda jaman sekarang. Di dalamnya, berbagai gambar grafity tercoret rapi di dinding berwarna hitam. Rak-rak buku disetiap sudut ruangan dengan macam-macam novel remaja tersusun rapi di sana serta buku-buku kunci gitar beserta lagunya juga ada. Para remaja maupun orang tua tidak akan rugi jika berkunjung ke sana, sebab pemilik kafe juga menyediakan fasilitas untuk keluarga seperti tempat karaoke yang ada di lantai dua. Dan tentunya buku-buku seputar dunia olahraga, fashion dan memasak.

Ruangan outdoor-nya, dihias sedemikian rupa seperti berada di tengah-tengah kebun bunga. View-nya benar-benar memanjakan mata. Semua pelanggan yakin jika pemilik kafe adalah seseorang perempuan muda dengan selera yang pas. Pas bagi para kaum muda-mudi. Harga makanannya pun terjangkau.

Agra meletakkan ranselnya di kursi kosong sampingnya. Laki-laki berwajah datar itu sudah terhanyut pada buku di genggamannya. Membaca buku adalah salah satu hobi Agra selain berenang. Tempat ini, rumah kedua baginya. Suasananya damai dan tentram. Agra betah.

"Satu coffe latte dan pancake coklatnya, Mas," perempuan berpakaian serba putih, datang dan meletakkan nampan di atas meja yang di atasnya terdapat pesanan Agra.

Diam menjadi bahasa Agra.

"Orang bisu dilarang ke sini Mas. Mas bisa turun melalui tangga lalu belok kiri. Di sana Mas-nya bisa melihat pintu keluarnya," perempuan tadi berkata jengkel. Dia duduk tanpa permisi di kursi kosong berseberangan dengan Agra. Tidak peduli jika laki-laki itu menendangnya atau mengadu pada pemilik kafe. Karena dialah pemiliknya.

"Berisik," balas Agra datar.

"Dih, mendingan gue. Daripada lo, ngalahin orang bisu," perempuan cantik dengan name tag Adira di bagian dada kirinya, terlihat memasang raut dongkol. Tidak di sini, tidak di kampus, tidak di rumah sering sekali berwajah tanpa ekspresi seperti itu. Adira sampai bosan melihatnya.

Suara buku tertutup terdengar, Agra si pelakunya. Dia menaruh buku kembali pada tempatnya kemudian menyesap kopi pesanannya. Diliriknya Adira sekilas. Senyumnya pun mengembang meski tipis.

"Bisu-bisu tapi cakep," Agra berucap pede.

"Boleh nggak nih gue mual?"

"Silahkan aja."

Respon Adira, mendesis.

Kepala Agra menengadah, memandang hamparan langit sore di atas sana. Burung-burung membentuk sekawanan dan terbang secara bersama-sama. Agra iri pada burung. Bebas dan lepas seolah tanpa beban. Meskipun beban yang dirinya tanggung tidaklah terlalu besar.

"Gimana kampus hari ini? Makin rame dong ya semenjak ada mahasiswa baru?" tanya Adira meminta jawaban melalui siratan mata hitamnya.

"Seperti biasa. Obrolan unfaedah Afka dengan segala sifat playboy-nya. Kampus juga lumayan padat."

Adira Raveena. Perempuan yang memiliki bola mata berwarna hitam, berkulit putih dan berwajah cantik itu adalah sahabat Agra sejak SD. Sifatnya yang humble sangat disukai banyak lelaki. Dia baik dan kadang cerewet. Pemilik Raveena Café. Harta satu-satunya peninggalan orang tuanya sebelum mereka pergi meninggalkan Adira sendirian di dunia yang kejam ini. Adira kecil yang dulu sangat rapuh.

Untungnya, keluarga kecil dari sahabat lelakinya itu, berbaik hati menampungnya serta merawatnya sampai Adira segede sekarang. Umurnya saja sudah 20 tahun. Adira sangat berterima kasih untuk semua curahan kasih sayang yang keluarga Agra beri padanya. Pundak laki-laki itulah yang menjadi sandaran Adira selama dia masih berkabung dalam kesedihan.

Adira mendengus. Tak heran lagi dengan Afka, "Temen lo sangking jomlonya, minta banget dirukiyahin. Dia tuh sebenarnya bukan pemain wanita, tapi jomlo ngenes. Emang dasar sok dielitin bahasanya jadi playboy."

Respon Agra, tertawa kecil, "Memang bawaan dari orok udah begitu. Lagian, gue nggak terlalu ambil pusing. Ada dia, kampus jadi rame. Rame dengan segala khayalannya tentang para cewek-ceweknya."

Alis Adira naik-turun. Dia tersenyum misterius, "Lo-nya kapan punya pacar?"

Agra langsung mendatarkan ekspresinya. Dia sangat tak suka pembahasan itu. Terlalu sensitif. Kalau di suruh memilih, Agra lebih baik membaca buku Akuntansi setebal mungkin daripada membicarakan soal cinta. Tidak terlalu penting baginya.

"Gue lagi nggak mood bahas gituan Ra. Jangan pancing amarah gue."

"Oke-oke. Gue khilaf."

Lihat selengkapnya