The Last Letter To You

Ayu fazira
Chapter #7

TLLTY 6

Seberapa sering kamu mendiamkanku, seberapa sering juga aku mengoceh dihadapanmu. Semakin sering kamu memasang raut datar, semakin sering juga aku tersenyum padamu. Itu aku lakukan, agar saat diriku tak ada, kau akan merindukan hadirku.

......

Baju lengan panjang berbahan wol dengan bawahan celana panjang jeans berwarna hitam serta sepatu flatshoes hitam membungkus kaki putihnya adalah pilihan terakhir Kinan. Setelah dua puluh menit terkuras hanya untuk memilih setelan yang pas guna dia pakai ke kampus hari ini. Sebenarnya, Kinan ingin mengenakan dress longgar selutut yang dia beli beberapa hari lalu. Tapi, mengingat dia harus menemui salah satu dosen Ekonominya-pak Broto, Kinan mengurungkan niat.

Dia segan. Meskipun dress-nya itu tidak ada seksi-seksinya, sama saja. Kinan merasa malu dan tidak enak. Apalagi dosen yang ingin dia temui adalah dosen pria.

Kinan mematut penampilannya di cermin besar di sudut kamar. Rambut panjangnya, dia biarkan tergerai indah dengan sentuhan bergelombang di bagian bawahnya. Menamburkan bedak tipis ke seluruh wajahnya dan tak lupa memoleskan bibirnya dengan liptint.

Sudah sempurna. Kinan meraih tas slempangnya lalu turun ke lantai bawah. Menuruni anak tangga satu persatu. Maniknya memendar ke sepenjuru ruangan, tak mendapati papa tirinya di mana pun. Padahal dia ingin berpamitan.

Dia melangkahkan kakinya ke arah pintu utama. Setengah jam lagi, kelas mata kuliah Manajemen keuangan akan berlangsung dan Kinan harus buru-buru pergi sekarang agar tidak telat. Namun, begitu tangannya mencapai gagang pintu, suara berat dari arah belakangnya menginterupsi. Kinan buru-buru membalikkan badan.

"Kau mau ke mana?" Mr. Brown datang dari arah pintu samping, membawa segelas kopi di tangannya kemudian duduk di sofa ruang tamu. Pria setengah baya itu memandang Kinan datar.

"Aku mau ke kampus, Tuan," cicit Kinan pelan.

"Dengan pakaian seperti itu?" ada nada mengejek terselip di kata-katanya. Brown meneliti Kinan dari atas sampai bawah. Dia berdecih.

Kinan ikut melihat penampilannya. Baginya, tak ada masalah. Ya, meskipun seleranya tak terlalu tinggi, paling tidak nyaman dia pakai. Itu yang penting.

"Aku suka berpakaian simple dan tidak terlalu ribet."

Brown menyesap kopinya dan meletakkan gelasnya ke atas meja, "Ya. lagi pula kau tak pantas memakai barang-barang mahal," Ucapnya santai.

Kinan diam, tak membalas lagi.

"Jangan lupa selepas kuliah kau langsung ke klub. Bantu para pelayan yang lain. Seseorang telah menyewa tempatku untuk merayakan hari ulang tahunnya. Kau jangan sampai telat atau aku akan menghukummu," Brown memperingati.

Kinan mengangguk patuh, "Aku tidak akan telat. Kalau begitu aku permisi,Tuan."

Selesai berpamitan, Kinan langsung keluar rumah. Berjalan kira-kira sampai depan komplek karena taksi tidak ada yang melewati depan rumahnya. Untungnya, jarak dari rumah ke depan sana tidak jauh. Jadi, Kinan tidak perlu berlari.

Disetopnya taksi begitu dia sampai ke jalanan depan. Kinan masuk ke dalamnya dan memberitahu alamat tujuan pada sang supir. Kinan mengatur napasnya yang tersenggal. Tubuhnya bersandar pada sandaran kursi. Pandangannya menjelajahi setiap emperan toko dari kaca mobil sebelah kirinya. Kaca mobil dia buka setengah agar angin membelai keningnya yang berpeluh keringat.

Pikirannya melayang. Perasaan was-was itu muncul.

Semoga saja nanti malam tidak akan ada masalah yang terjadi padanya.

......

Wajah Kinan terus saja melempar senyum pada siapapun yang dilewatinya. Dia menyusuri koridor dengan langkah cepat. Dia sudah telat tiga menit. Semoga saja dirinya masih diperbolehkan masuk oleh sang dosen.

Kinan mengatur pernapasannya sejenak, kemudian mengetuk pintu dan menyembulkan setengah kepalanya, "Permisi, Bu. Saya boleh masuk?" ujarnya pada dosen.

Dosen berjenis kelamin perempuan itu mengangguk tanpa suara. Kinan berjalan ke kursinya tepat di samping Zerina-sahabatnya. Kinan mengeluarkan binder dan sebuah pena dan menaruh tasnya di laci bawah kursi.

"Lo ketiduran ya, Nan? Tumben telat," celetuk Zerina pelan. Takut dosen mendengar suaranya.

"Ada sedikit perdebatan kecil tadi, Na."

Alis Zerina tertaut sempurna. Sinyal kekepoannya menyala-nyala, "Pasti debat sama papa tiri lo yang kejam itu. Gue bener kan?" tebaknya.

"Hush! Nggak boleh ngomong gitu. Yang lo katain itu, bokap gue Na. Sejahat dan sekejam apapun dia sama gue, gue tetap sayang sama dia."

Zerina memutar bola matanya malas. Ini dia yang tidak Zerina sukai dari Kinan, mempunyai hati selembut kapas. Sudah diperlakukan tidak baik pun, tetap saja membela papa tirinya itu. Zerina jadi emosi sendiri melihat Kinan terlalu tulus jadi perempuan.

"Jangan lupakan gimana dia memperlakukan lo layaknya perempuan murahan. Gue bukan ngatain bokap lo Nan, gue cuma nggak suka aja cara bokap lo yang seenaknya aja sama anaknya," dengan menggebu-gebu Zerina mengatakannya.

Kinan justru terkekeh menyadari wajah Zerina memerah karena emosi. Dia pun mengelus lembut punggung lebar Zerina, meredamkan emosinya, "Thanks ya Na. Lo udah mau repot-repot ngekhawatirin gue."

"Lo sahabat gue. udah sepatutnya gue begitu."

Lihat selengkapnya