The Last Letter To You

Ayu fazira
Chapter #8

TLLTY 7

Alam mimpi membuat diriku terkesan. Alam yang dengan senang hati menawarkan keindahan untukku, walau hanya sesaat kurasakan.

.......

Bau alkohol menelisik masuk ke indera penciuman. Asap rokok saling berbaur di udara hingga membuat pekat dan sesak. Dentuman musik EDM, menggema kuat sampai menenggelamkan suara lautan manusia yang berada di dalam ruangan minim penerangan itu. Sang DJ berseru semangat mengajak semua orang untuk berpesta. Cahaya di sana temaram. Hanya lampu kerlap-kerlip yang terlihat, menyala-nyala.

Biasanya, orang-orang yang datang ke sana adalah orang kalangan atas. Para pembisnis maupun pejabat tinggi yang sekedar mencari kesenangan tersendiri selepas bekerja dengan menyewa wanita penggoda atau juga sekumpulan anak muda yang sekedar ingin menjernihkan pikiran dengan segelas cairan bening di tangan kanan mereka. Dan masih banyak alasan lain yang akan mereka lontarkan jika kita bertanya satu-satu pada orang yang berbeda.

Tetapi khusus malam ini, khusus acara pesta ulang tahun seseorang, tidak ada yang namanya para pembisnis ataupun pejabat. Hanya para anak muda baik laki-laki dan perempuan saling berbaur di lantai dansa. Membentuk sekumpulan mengelilingi meja. Berpesta minuman. Dan tak segan saling bercumbu. Dunia malam yang mengerikan.

Di balik meja bar, sang bartender dengan lihainya meracik minuman beralkohol pesanan dari sang pemilik acara. Ada enam gelas kecil berisi cairan bening. Siap di antar.

"Kinan! Tolong antar minuman ini ke meja yang ada di sana!" sang bartender cowok itu, membisikkan sesuatu ke telinga Kinan dengan keras karena musik yang terlalu mendentam. Jari telunjuknya mengarah ke sekumpulan laki-laki tak jauh dari tempatnya berdiri.

Kinan mengangguk. Dia membawa gelas minuman dengan nampan dan berjalan ke meja yang diarahkan teman kerjanya tadi. Sangat hati-hati dia melangkah, takut badannya dan badan orang lain saling bersenggolan kuat dan berakhir minuman ini jatuh ke lantai.

Sesampainya dihadapan laki-laki muda itu, Kinan meletakkan minumannya di atas meja lalu berlalu pergi. Dia risih akan tatapan-tatapan liar yang memburunya. Seakan siap menerjangnya kapan pun mereka mau. Apalagi malam ini, pakaian yang Kinan kenakan sangat minim. Dress ketat di atas lutut berwarna hitam. Tak lupa highheels merah membungkus kaki putihnya.

Baru saja beberapa langkah berjalan, pergelangan tangan Kinan dicekal seseorang.

"Hai, cantik! Sini gabung sama kita-kita!" celetuk salah satu di antara segerombolan laki-laki di meja lain. Bersebrangan dengan meja yang Kinan antar pesanannya tadi.

"Maaf! Saya harus bekerja!" Kinan meninggikan suaranya karena terkikis oleh dentuman musik, "Permisi!"

"Eits! Oh come on baby! Jangan sok jual mahal! Mari bersenang-senang! Jangan terlalu serius bekerja!" tangan kokoh tadi semakin mengeraskan pegangannya pada pergelangan tangan Kinan. Kinan sampai meringis pelan.

"Lepaskan! Saya harus kembali bekerja!" Kinan mencoba melepaskan diri. Namun, sia-sia. Tenaganya tak cukup kuat untuk melawan. Badan Kinan sudah terlalu melemah karena sedari siang sudah berada di klub, beres-beres.

Mulut laki-laki itu sangat bau minuman keras. Kinan sampai menutup hidung sangking tak kuasa akan baunya yang menyengat. Ditambah, ruangan pengap ini begitu gerah dan asap rokok mengepul di mana-mana.

Sekali sentakan, Kinan sudah terduduk dipangkuan laki-laki mabuk itu. Mata Kinan melebar sempurna. Dia buru-buru bangkit, berdiri. Gerakannya kembali ditahan.

"Kau?! Jangan macam-macam padaku!" Kinan memberontak. Laki-laki mabuk itu malah melingkarkan tangannya di pinggang Kinan dan menariknya agar tubuh mereka semakin dekat. Kinan menahan dada laki-laki itu dengan kedua tangannya. Inilah sesuatu yang paling Kinan takutkan saat bekerja. Dilecehkan layaknya wanita murahan.

"Lepaskan tanganmu, berengsek!" Kinan berteriak. Tak ada yang menyadari kejadian ini. Semuanya asyik dengan dunianya sendiri. Musik semakin malam semakin kencang. Terlalu percuma, berteriak.

Kinan bergerak gelisah dan semakin membangkitkan gairah si lelaki. Apalagi pinggul Kinan bergoyang-goyang dan membuat nafsunya semakin buas. Dia memukul-mukul dada bidang dihadapannya.

Ketika bibir sang lelaki ingin meraup bibir mungil Kinan, seseorang lebih dulu menendang kursi yang di dudukinya hingga terjatuh ke belakang bersama dengan tubuhnya. Seseorang tadi langsung menangkap tubuh kecil Kinan agar tak ikut terjatuh. Kinan membulatkan mata mendapat serangan tiba-tiba. Tangannya gemetar.

"Pergilah!" kata seseorang itu pada Kinan. Kemudian beralih menatap sengit lawannya.

Tak sempat melihat wajah penolongnya, Kinan setengah berlari menuju ke ruangan khusus pegawai. Di sana, dia menumpahkan seluruh ketakutannya dengan air mata menuruni pipi mulusnya. Dia menangis. Tangannya gemetar. Kinan sangat ketakutan. Hal yang paling dirinya hindari, terjadi lagi. Mengingatkannya pada malam sebelum dia berusaha mengakhiri hidupnya.

Kinan tak bisa membayangkan bagaimana jadinya dia ketika seseorang tadi tidak menolongnya.

Mungkin, keperawanannya sudah direnggut paksa oleh laki-laki berengsek itu.

Mungkin saja, keesokan pagi Kinan sudah terbangun tanpa sehelai benang pun di kamar hotel.

Semua kemungkinan bisa terjadi kalau saja lelaki tadi tidak datang.

Intinya, Kinan benar-benar tidak tahan lagi!

Kapan, malam penuh siksaan ini berakhir?

.......

Tanpa mengganti baju, tanpa menghapus sisa-sisa make up di wajahnya, Kinan menghempaskan diri di atas kasur empuknya. Mata terbukanya, menatap langit-langit kamar berwarna putih. Pandangannya lurus, tepat mengarah ke lampu kamarnya. Terang.

Andai saja hidupnya seterang dan secerah lampu itu, Kinan pasti amat sangat bahagia. Tidak merasa kesepian dan terasingkan di suatu tempat terpecil dengan penerangan minim, tanpa ada sebuah cahaya yang menerangi setiap langkahnya. Kinan harus merasakan kepahitan serta kekejaman hidup yang membuatnya mati perlahan. Ada kalanya, dia tak sanggup menopang semua rasa sakit itu. Ada kalanya juga, dia harus bertahan karena suatu alasan.

Kini, sepi kembali mengekang jiwa dan raganya. Rasa sakit itu mengikatnya hingga dadanya seperti ditimpah puluhan batu berukuran besar. Kinan tidak tahu lagi harus mengadu pada siapa. Harus berlindung pada siapa. Kinan tidak mempunyai siapa-siapa lagi untuk diajaknya berbagi.

Lihat selengkapnya