The Last Letter To You

Ayu fazira
Chapter #9

TLLTY 8

Rasa sakit memporak-porandakan hati. Entah bisa diobati atau tidak sama sekali, nyatanya kamu memilih pergi, bukan menyesali. Sehingga perih di hati semakin tak terkendali.

........

Derap langkah kaki saling beradu di lantai. Kinan tidak tahu lagi harus berkata apa saat Agra menarik paksa tangannya, menggiringnya menuju ruang lab komputer. Di sana sepi. Tidak banyak dilewati orang-orang. Mungkin karena letaknya di ujung lorong lantai tiga. Kecuali jika ruangannya dipakai untuk praktik. Pasti ramai orang berlalu lalang.

Sekali sentakan, Agra menghempaskan tangan Kinan, kasar. Tatapannya dingin dan datar. Menghujam Kinan tanpa ampun. Kinan takut setengah mati. Menurutnya, aura Agra lebih seram daripada laki-laki tak sopan tadi.

"Seneng banget lo nyari masalah?!" tukas Agra, murka, "Ada gerangan apa lo mampir ke lantai dua?!"

Kinan tersentak, kaget. Agra baru saja membentaknya. Intonasi tinggi yang Agra keluarkan, memacu detak jantungnya menjadi dua kali lipat, cepatnya. Kinan terdiam. Bibirnya terasa kelu untuk sekedar membukanya sedikit saja.

"Setau gue, kelas maba ada di lantai bawah! Terus, ngapain lo bisa ada di sana?!" Agra langsung membombardir Kinan dengan lantang.

Kinan memilin jari tangan. Dia tergagu. Kenapa Agra marah besar padanya? Memangnya apa yang sudah Kinan perbuat sehingga Agra membentaknya?

Agra menyorot Kinan, tajam, "Jawab! Jangan diem! Kenapa lo ada di kawasan kelas gue? Mau nyari mangsa yang bisa lo kejar-kejar setelah gue nolak kehadiran lo mentah-mentah untuk kesekian kali?"

Mata Kinan melebar sempurna. Dia bukan perempuan seperti itu. Kata-kata Agra sukses menyakiti hatinya. Seakan ribuan jarum menusuk-nusuk hatinya tanpa ampun. Hingga berdarah dan bergoreskan sebuah luka. Omongannya pedas bukan main. Lebih menyakitkan daripada apa yang Cakra perbuat padanya.

"Buka mulut dan jawab! Gue nggak butuh diam lo sekarang!" lanjut Agra.

Bibir Kinan pucat pasi. Kedua tangannya gemetar. Mengangkat wajahnya saja pun Kinan tak sanggup. Kepala belakang serasa ditimpah beban yang sangat berat.

"A-aku nya-nyariin kamu, Agra," Kinan menunduk dalam-dalam. Suaranya seperti tikus ke jepit. Pelan sekali. Cuma sepatu lusuhnya yang bisa dia tatap, lama, "Tapi kamunya nggak ada nampak. Dan aku juga sama sekali nggak tahu kelas kamu yang mana."

"Bodoh!!" telak Agra, "Untuk apa lo nyariin gue sedangkan kelas gue aja lo nggak tahu?!"

"Gue heran, otak lo itu ada di mana sih?! Dengkul?! Atau ketinggalan di rumah?!" frontal Agra.

Dada Kinan semakin terasa sesak. Ternyata efek sakitnya terasa berlapis-lapis jika seseorang yang kita cintai, membentak kita secara jelas tepat di depan mata. Kinan terkejut mendapati kemurkaan Agra yang tak pernah dirinya lihat secara langsung dari laki-laki itu.

Ini kali pertama bagi Kinan. Jujur, Kinan ingin menyudahinya. Tak ingin berlama-lama berhadapan dengan Agra. Membuatnya ingin menghilang dari muka bumi saat ini juga.

Memberanikan diri untuk Kinan mendongak, memandang Agra sendu dan takut, "Meskipun aku nggak tau, aku tetap berusaha nyari sampai dapat. Aku nggak nyangka aja bakal digangguin sama laki-laki tadi, Agra."

Agra berdecih. Perempuan di depannya ini, sangat menguras pertahanan emosinya. Agra menatap tajam Kinan, "Apa lo sengaja biar gue dateng nolongin, terus baik-baikkin lo?! Iya, itu akal busuk lo?!"

Kinan sontak terkejut. Dia tak menyangka Agra memiliki pendapat jelek tentangnya. Sangat jauh dari yang Kinan harap-harapkan, "Enggak. Aku nggak punya pemikiran gitu, Agra. Aku memang lagi nyari kamu. Sumpah. Nggak bohong."

Datarnya ekspresi Agra seperti biasanya, menyiutkan nyali Kinan, "Mau apa lo nyari gue?"

Gugup menyerang. Bibir Kinan terasa kaku digerakkan, padahal kata-kata yang ingin dia lontarkan sudah bersiap di penghujung lidah. Kedataran mimik Agra, menambah debar jantungnya.

"Bisu? Gagu?" sentak Agra lagi. Dia tersenyum sinis.

"A-aku ma-mau ngajak kamu main-main ke tempat kerjaku. Biar kita bisa baca buku, bareng-bareng," cicit Kinan sembari menatap lantai. Dia takut.

Kinan tahu, dia bukan pacar ataupun teman terdekat Agra. Dia hanyalah orang asing yang tanpa diijinkan, masuk ke dalam hidup Agra dan merusak kenyamanan lelaki itu.

Agra tertawa meremehkan, "Kita?" beonya, "Emang lo siapa gue? Lo udah yakin banget gue bakal nerima ajakan lo?"

Bom!!

Kinan meringis pelan. Sesuatu keras menghantam dadanya, kuat. Luka di hatinya semakin lebar, bahkan penuh dengan noda darah. Tidak nampak, namun bisa Kinan rasakan perihnya. Berusaha untuk menahan bulir bening yang mendesak agar segera diturunkan, Kinan mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas, membentuk senyuman seperti tak terjadi apa-apa. Seperti biasanya ketika dia berada di depan Agra. Kinan kembali memakai topengnya. Topeng berlapis kebahagiaan.

"Aku memang bukan siapa-siapa kamu dan aku yakin kalau kamu tertarik sama ajakan aku. Kamu kan suka baca buku Akuntansi, Agra," begitu percaya diri Kinan berkata. Dia menatap lekat mata Agra, meski dia sendiri takut luar biasa dengan sorot tajam dihadapannya.

Kinan adalah satu-satunya perempuan yang membuat Agra menjadi sosok lelaki jahat. Dengar saja, perkataan Agra selalu pedas dan menusuk, lantaran Kinan tetap gigih mengejarnya setiap ada kesempatan.

Apa yang Kinan lakukan memang tak salah, Agra saja yang masih menyimpan dendam sekaligus amarah pada seseorang di masa lalunya sehingga Kinan terkena imbasnya.

Raut datar Agra, untuk kesekian kali menyentrik jantung Kinan. Sangat dingin. Tak ada keramahan ataupun sebuah kehangatan di dalamnya.

"Tingkat kepedean lo sepertinya perlu dikasih standing applause," Agra bertepuk tangan, kemudian maju selangkah agar jarak mereka habis tak bersisa. Lalu, Agra membisikkan Sesuatu di telinga kanan Kinan.

"Mimpi lo ketinggian! Tertarik sama lo aja gue enggak! Apalagi pergi bareng lo!" cibiran Agra terasa panas di pendengaran Kinan, "Jadi, mending lo jauh-jauh dari gue. Mau secantik apapun wajah lo di mata orang-orang, tetap aja. Gue nggak akan pernah suka sama lo."

Setelah berhasil meruntuhkan kebalnya dinding pertahanan Kinan, Agra pergi dengan langkah seribu. Tak peduli jika perkataannya menyakiti perempuan itu. Tak peduli jika dia menorehkan beberapa luka untuk Kinan hadapi seorang diri.

Hingga Kristal bening tak mampu lagi bertahan di persinggahannya dan akhirnya meluruh bersama rasa sakit yang tak pernah bisa menghilang dari ingatannya.

Tubuh mungilnya terjatuh ke lantai, berjongkok, sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergetar hebat. Raganya lemah dan rapuh. Isakan yang lolos dari bibirnya begitu memilukan.

Agra sungguh lelaki tak punya hati.

......

Ada beberapa hal yang menjadi bagian dari diri Agra. Pertama, Agra paling malas mencampuri urusan orang lain. Kedua, Agra tidak terlalu peduli pada sekitar. Yang ketiga, membentengi diri dari perempuan manapun.

Agra tidak peduli jika orang lain mengomentarinya hidupnya yang monoton. Mengecapnya sebagai lelaki sombong dan tak mempunyai perasaan. Agra benar-benar menutup telinganya rapat-rapat jika orang lain berkata bahwa dia tak memiliki hati.

Toh, hukum alamnya, lelaki itu tugasnya memilih bukan dipilih. Jadi, mau perempuan manapun tak menyukai sikapnya, Agra tak mempermasalahkannya. Karena diakhir, semua keputusan ada ditangannya.

Dan masalahnya, hari ini, siang ini, Agra sudah melampaui batas. Dia melanggar hal terlarang yang dirinya buat sendiri. Melanggar poin pertama yang menjadi bagian dari dirinya. Agra tak mengerti kenapa dia bisa bersikap berlebihan seperti itu.

Entahlah! Pikiran Agra benar-benar kacau, sekarang.

Agra menyandarkan punggungnya di pilar koridor lantai satu. Sorot matanya memancarkan amarah sekaligus dendam. Kedua tangannya terkepal erat. Bayang-bayang saat Kinan diusik oleh Cakra, menguasai seluruh emosinya dalam sekejap. Permasalahannya bukan ada di Kinan, melainkan ada di Cakra.

Antara dendam atau tak menyukai sikap Cakra pada Kinan, intinya Agra paling anti bersitatap dengan Cakra. Lelaki urakan yang kerjaannya menganggu para Mahasiswi di kampus. Kurang kerjaan. Terlebih lagi, Agra sudah terlanjur tidak suka dengan Cakra, di masa lalu.

Lihat selengkapnya