Apakah diriku ini tak kasat mata? Sehingga kau tak melihat kehadiranku? Tolong lihat aku yang tengah berjuang mendapatkan balasan cinta darimu.
.......
Surat ketiga dariku.
Teruntuk Agra, sang pemilik wajah datar.
Aku suka dengan keindahan. Aku suka cerahnya langit pagi. Aku suka hamparan jingga berbaur orange, membentang kanvas langit menjelang petang. Aku juga suka terangnya sang rembulan menerangi apa saja yang ada di bawahnya. Dan yang paling aku sukai, melihat gemerlapnya malam Kota Jakarta dari atas atap gedung tertinggi.
Sayangnya, aku belum pernah melakukan hal terakhir yang paling kusukai bersama seseorang yang aku cintai. Aku selalu berharap bisa melihat keindahan itu, tapi aku tak ingin seorang diri, menyaksikannya. Karena itu hal yang sangat berkesan bagiku, aku ingin pergi melihatnya bersamamu.
Aku ingin pergi ke sana bersamamu. Menikmati pemandangan Kota Jakarta dari atas gedung dengan jemari saling menggenggam erat. Aku juga ingin bersandar di dadamu dengan kamu yang memelukku erat dari belakang.
Namun, semuanya sebatas khayalan semu. Nyatanya, kamu tak menginginkan kehadiranku. Aku seperti debu, hilang melebur bersama angin. Aku begitu tidak terlihat oleh kedua matamu. Meskipun itu menyesakkan dadaku, tidak apa. Aku akan terus berusaha agar diriku dapat terlihat, walau mendapat balasan menyakitkan.
Inilah perasaanku, untukmu, yang tak tersentuh, namun selalu aku mau.
Love.
Dari Kinan, yang sangat menyukaimu.
Layar ponsel yang tadinya menyala dan menampilkan rangkaian kata di atas kertas putih, langsung menggelap saat Kinan mematikan ponselnya kemudian memasukkannya ke dalam saku celananya. Kinan baru saja selesai membaca ulang surat cintanya untuk dia berikan pada Agra. Suratnya, sudah rapi bersembunyi di balik amplop hijau. Kinan tidak mau membukanya hanya sekedar mengeceknya sebentar. Makanya, dia memotretnya dengan ponsel. Jadi tidak perlu susah melipatnya kembali.
Kinan menyapu pandangan ke sekitar. Mata gadis berkucir satu itu berbinar, ketika tak sengaja melihat Agra berjalan santai di koridor penghubung menuju ruang dosen.
Agra mempunyai pesona tersendiri bagi Kinan. Wajah tampan dibalik mimik datarnya, badan tegap, cara Agra menatap lawan bicara, terpancar jelas ketegasan serta kewibawaannya. Tapi sayang, Agra terlalu sulit untuk Kinan gapai. Sifat dingin dan kecuekan yang melekat di diri Agra, salah satu alasan kenapa Kinan tidak bisa mendekatinya melalui cara biasa. Butuh cara luar biasa untuk sekedar bisa mendapat lirikan dari Agrata Razzan.
Itu 'menurut Kinan'.
Dengan berbekal beberapa potong roti lapis ditangannya, Kinan berlari kecil ke arah Agra yang tampak tenang berjalan, sambil menggulir layar ponselnya. Tidak terusik dengan keadaan sekitarnya.
Sangking senangnya melihat sosok Agra, Kinan sampai melupakan satu hal; saat ini, di jam 8 pagi ini, kelasnya sedang mengadakan kuis dadakan mata kuliah Ekonomi Manajemen, dipimpin oleh Dosen terkejam di Fakultas Ekonomi.
Efek Agra begitu besar. Sampai-sampai dia lupa akan niatnya datang ke kampus pagi hari ini.
Bahkan isi kepalanya sekarang, hanya ada nama Agra, Agra dan Agra. Seperti ada magnet dalam diri lelaki itu sehingga Kinan selalu tertarik mendekat. Tak ingin menjauh. Kinan tidak peduli jika Agra mengabaikannya.
"Agra!"
Teriakan Kinan sama sekali tidak mendapat respon. Kepala Agra tetap menunduk, memainkan ponselnya. Kinan pun mempercepat langkahnya, menghadang jalan Agra, membuat pria berbaju hitam itu mengerem mendadak. Kedua alis tebal Agra tertaut sempurna.
Kinan tersenyum manis, kedua matanya langsung menyipit. Persis seperti bulan sabit, "Pagi Agra," sapanya riang, "Udah sarapan, belum?"
Dari nada suaranya, Kinan sangat bersemangat. Padahal sewaktu di rumah, Kinan lesu, layu bagaikan tanaman yang beberapa hari tidak disiram air. Dan lihatlah, saat ini, wajah imutnya terus saja tersenyum. Topengnya kembali dia pakai. Topeng yang selalu bisa menyembunyikan kesedihannya.
Agra diam, tidak menjawab ataupun sekedar memberi isyarat gelengan atau anggukkan kepala.
Hati Kinan tercubit pelan.
"Pasti belum kan?" Kinan menebak-nebak sendiri, "Ini aku bawain kamu roti lapis isi coklat. Lumayan buat ganjal perut kamu," Kinan menyodorkan kotak bekal warna merah miliknya ke hadapan Agra.
Agra melirik tempat makan itu, lalu menatap Kinan datar.
Dua kali, tidak ada respon.
"Ini buatan aku, Agra. Ambil dong. Jangan diliatin aja," Kinan tak menyerah agar Agra membuka suara.
"Gue nggak laper," akhirnya, Agra menyahut. Wajahnya tetap datar, tidak ada ekspresi. Kinan mengucap syukur dalam hati.
Senyumnya, masih mengembang indah, "Agra udah sarapan ya?"
Agra tidak menjawab pertanyaan Kinan. Agra berdiri di depan Kinan dengan mata menyorot perempuan itu, datar.
"Kira-kira kalau makan roti dua lapis, perut Agra masih bisa nerima, nggak?" tanya Kinan dengan raut menggemaskan. Agra sebisa mungkin mengontrol dirinya karena hampir saja tangannya ingin mengusap pucuk kepala Kinan. Agra tidak mengerti kenapa reaksinya akan lepas seperti itu. Benar-benar tanpa Agra duga. Tapi, untungnya dia bisa menahannya.
"Enggak."
Wajah Kinan langsung muram. Namun, dia tetap mempertahankan senyumannya. Walau tak merekah seperti beberapa menit lalu, "Kalau aku suapin, mau?"
"Gue bukan anak kecil."
Kinan menghela napas. Dia merasakan hatinya nyut-nyutan. Tidak bisakah Agra menerima pemberiannya tanpa acara penolakan? Tidak bisakah dia berpura-pura lapar dan menerima bekal darinya demi menyenangkan perasaannya?
Beruntungnya, kesedihan yang dia rasa, tertutupi oleh topeng kebahagiaannya.
Kembali menyodorkan bekal itu dan kali ini, langsung ditepis kuat oleh Agra, sampai bekalnya terhempas, jatuh ke bawah, mengakibatkan beberapa potong roti di dalamnya, berserakan di lantai.
"Gue bilang nggak laper. Ngeyel banget sih lo!" bentak Agra, tidak merasa bersalah. Malah perkataannya menyakiti hati Kinan. Berkali lipat.
Kinan melotot tak percaya ke arah Agra. Lalu beralih memandang nanar roti buatannya. Padahal Kinan belum memakannya sama sekali, karena tidak sempat sarapan di rumah. Sebenarnya, roti itu Kinan buat memang khusus untuknya. Tapi, berhubung Kinan tadi melihat Agra, jadi dia memberikannya pada lelaki itu. Namun, rotinya kini sudah tak layak lagi untuk di makan.
Kinan melirik Agra sedih, "Rotinya udah kotor Gra. Jadi nggak bisa lagi di makan," matanya sudah memanas. Kinan ingin menangis, sudah menahan sesak sejak tadi. Tapi dia berusaha tetap mempertahankan senyumnya. Mengikhlaskan bekalnya yang jatuh, "Aku beliin roti lagi ya, di kantin. Mau?" tawarnya.
Agra berdecih, kemudian menatap tajam perempuan di depannya, "Gue mau, lo pergi dari hadapan gue! Gak usah sok perhatian!" Suara dingin Agra menyapa kuat pendengarannya. Menusuk sampai ke ubun-ubun.