Aku menikmati percik hujan yang sesekali mengenai badan. Tangan kananku menggenggam cangkir kopi. Perlahan-lahan, aku menghirupnya karena yakin kopi di tanganku bukanlah kopi yang buruk.
Bagiku hanya ada dua jenis kopi yang layak diminum: kopi panas dan es kopi. Kopi dingin yang berasal dari kopi panas, lalu terkontaminasi udara dingin benar-benar buruk.
Aku berhenti menyesap kopi dan menyandarkan punggung di kursi, kemudian menengadahkan kepala menatap langit-langit teras tanpa berniat membahas apa pun. Menutupi pikiran yang sebenarnya berada sangat jauh dari tempatku berada. Benar-benar jauh.
Kalau harus dijelaskan, aku tak tahu bagaimana memulainya.
Kalau pun bisa memulai, aku tak tahu cara mengakhirinya.
Tiba-tiba, aku teringat seorang teman. Ah, dia benar-benar tidak bisa diandalkan. Setiap kali pelajaran Kimia dimulai, saat itu juga mukanya pucat. Seakan sel-sel dalam tubuhnya mengalami reaksi kimia dan memancing reaksi lainnya. Kali ini lebih alami, yaitu reaksi tawa dari seisi kelas. Mungkin, aku adalah satu-satunya orang yang tidak terkena reaksi itu atau aku sudah tidak ingin menertawakannya lagi.
Aku kira dia cukup tekun, terlebih dalam mempelajari Kimia. Tapi entah kenapa, belajar sekeras apa pun tidak membuatnya lebih baik. Seakan takdir telah tertulis bahwa sehebat apa pun cara belajarnya, selamanya dia tetap tidak akan bisa.
Dari kemungkinan 0-100 poin nilai ujian, dia selalu berada di tengah-tengah. Itu pun karena keberuntungan yang konsisten. Lima puluh poin itu tentu saja berbeda dengan kopi panas yang berubah menjadi dingin atau es kopi yang mencair meninggalkan titik beku. Lima puluh poin adalah hal yang patut disyukuri. Sedangkan, kopi hasil perubahan suhu adalah hal yang patut dibuang.
Jika sebuah hubungan manusia diibaratkan seperti minuman kopi, itu artinya selalu ada kemungkinan untuk terlibat dalam perubahan.