The Last Scene

missminasa
Chapter #2

2016

— 2016

“Abi!” panggilnya. Abi mematung. Itu bukan suara Rajen ataupun temannya yang lain. Suara itu terdengar ceria, tenang, dan juga lembut. Suara yang paling Abi sukai. Ia pun berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya. Sebelum melihat kehadiran dirinya pun, Abi sudah tersenyum. 

Perempuan itu berdiri di sana, tersenyum dengan manis dan melambaikan tangannya ke arah Abi. Jemari-jemari kecil dan lentiknya membuat Abi ingin terus menggenggamnya. Wajahnya yang kecil, matanya yang bulat dan hitam, serta bulu mata yang lentik. Tak lupa hidung mancung dan bibir tipis namun tetap berwarna merah muda menjadikan gadis itu seorang dewi di mata Abi. Ia berjalan selangkah demi selangkah dan Abi hanya bergeming. 

“Abi? Kok diam saja?” tanyanya dengan lembut, “Abi?” panggilnya lagi, kali ini sambil melambaikan tangannya di depan wajah Abi yang melamun. 

“Disihir sama kamu,” jawab Abi dengan spontan membuat gadis itu bergidik ngeri dengan tersipu malu. 

“Apaan sih Abi ... geli ih!” sahutnya lalu berjalan mendahului Abi membuat Abi yang masih berdiri di tempat semula kini mengejar gadis itu. 

Enam tahun yang lalu dari tahun 2022, Abimanyu hanyalah seorang siswa SMA yang hobinya main dan main. Kalau kata Rajen, sih, ‘ngebolang’. Umur 17 tahun merupakan umur spesial bagi setiap orang. Begitu juga dengan Abimanyu yang sedang menjalani kehidupan sebagai siswa sekolah dengan sangat normal. Terlebih, ada seorang perempuan yang membuat dirinya dimabuk cinta monyet. Dialah yang membuat kehidupan sekolah Abimanyu menjadi dua kali lebih seru. 

Memasuki lorong sekolah, mereka sudah disambut oleh teman-temannya. Terutama Rajendra. 

“Abi! Gue butuh bantuan lo!” serunya dengan heboh. Rajen langsung menggoyang-goyangkan bahu Abi. “PR kimia gue!” serunya lagi. Abi pun menghela napas lelah. 

“Gue gak tau. Gak ngerjain,” ujar Abi, berbohong. Ia ingin menjahili Rajen untuk hari ini mumpung guru kimia mereka adalah orang yang tegas dan termasuk guru killer. 

“Rajen, salin punya gue aja. Cepetan, sebelum gurunya dateng!” sahut gadis itu sambil memberikan buku catatan kimianya kepada Rajen. 

“Yes! Makasih banyak!” serunya dengan senang. Namun, Abi menepuk tangan Rajen yang hendak mengambil buku itu. 

“Jangan Aesha,” ujar Abi sambil mengembalikan buku catatan itu. Gadis bernama Aesha itu memasang wajah kebingungan. 

“Salin punya gue aja, Jen,” sambung Abi lalu memberikan tasnya kepada Rajen. “Gue mau sarapan dulu. Ayo Aesha,” ajak Abi dengan menarik pelan lengan Aesha. 

Aesha—siswi kelas sebelah, persis di sebelah kelas Abimanyu itu memang pintar dan baik. Namun, bukan hanya itu yang disukai Abi. Ia sangat jujur, polos, dan terus terang. Aesha tak pernah sombong atas kepintarannya di berbagai bidang. Ia tetap menjadi siswi normal. Yang bergaul, yang belajar bersama, yang mau mengajari Abi, dan juga yang mengapresiasi kepintaran masing-masing orang.

“Abi, pagi-pagi gini kantinnya belum buka,” ujar Aesha sambil menarik lengan Abi untuk berhenti. Abi berbalik dan melihat Aesha sedikit ngos-ngosan. 

“Kita gak jajan di kantin kok,” jawab Abi yang langsung disuguhi wajah kebingungan Aesha. “Ayo, ikut aku.” ujarnya. 

Benar saja, Abi mengajaknya keluar dari sekolah lewat pagar belakang. Ada warung yang sudah buka di pukul enam pagi. Aesha terlihat panik karena 15 menit lagi bel akan berbunyi. 

Lihat selengkapnya