Teriakan Mama terdengar lagi seiring dengan gedoran di pintu kamar. Ellen menarik bantal dari bawah kepala, berbalik, dan menutup kepalanya dengan benda empuk itu. Berharap bantal itu dapat menyelamatkan kupingnya dari ketulian mendadak.
“Ellen…! Wake up, honey! Sudah siang…!”
Ini kutukan pagi. Sejak dulu, sejak Ellen masih duduk di bangku SD, teriakan Mama adalah musik pagi di rumah itu. Suara Mama yang merdu mendadak berubah seperti auman harimau di pagi hari. Tak cukup teriakan, gedoran di pintu sebagai bonusnya, diberikan ketika Ellen memutuskan untuk mengunci pintu kamar sejak SMP. Begitulah cara Mama membangunkan untuk menyuruhnya sekolah. Sementara itu, dengan gerakan gesit ala Tazmania, Mama sibuk menyiapkan sarapan untuk Ellen sekaligus menyiapkan dirinya sendiri untuk berangkat ke kantor. Setelah mandi, dengan masih mengenakan mantel mandi, Mama melesat ke dapur menyiapkan sarapan, lalu melesat ke kamar untuk berdandan. Dalam melakukan aktivitas itu ia sesekali singgah untuk memeriksa Ellen. Mereka harus saling menyesuaikan jadwal. Agar tidak terlambat, Ellen harus sudah keluar dari rumah selambatnya setengah tujuh. Itulah mengapa Mama harus berpayah-payah membangunkan, menyiapkan sarapan, sekaligus ia sendiri bersiap ke kantor—meski jam kerjanya sendiri baru sekitar pukul sembilan.
Mama tidak pernah menyerahkan urusan menyiapkan sarapan kepada Bi Inah, pembantu yang selama belasan tahun mengabdi pada mereka. Alasannya, hanya di pagi hari Mama bisa melayani anaknya, dan ia tidak ingin urusan itu diambil alih juga oleh Bi Inah. Di masa kuliah, Ellen tidak selalu harus tergesa dengan terdengarnya beker alami itu. Jadwal kuliah tak selalu pagi. Yang perlu dilakukan hanyalah setor muka setelah kira-kira mamanya selesai berdandan, makan sedikit sarapan yang disiapkannya, dan mengantarnya bekerja dengan ciuman.
Ellen sadar, ia tak boleh keberatan melakukannya. Suatu hari, mama dan anak akan merindukan masa-masa itu. Saat si anak sudah berkeluarga, atau saat mamanya sudah tiada, mereka akan merindukan masa ketika masih bersama dan saling mengurus hidup. Mengingat itu, Ellen perlahan melepas bantal dari kepalanya. Ia bangun dari tidurnya. Duduk di atas kasur. Teringat sesuatu, ia menarik kedua tangannya ke depan wajahnya, lalu terpekik.
Warna biru itu masih ada di sana!
Warna itu muncul setelah ia mengalami kecelakaan, tiga hari lalu. Semula ia mengira itu akibat memar, sebagai dampak kecelakaan, dan dalam beberapa hari sudah akan lenyap. Namun, dugaannya salah. Warna itu hidup. Semula berupa bercak biru di telapak tangan, warna itu menjalar naik dan kini meluas, menutup seluruh telapak tangan dan punggung tangannya dengan warna biru berkilauan serupa glitter. Warna itu merayap pelan, sangat pelan sehingga ia tak menyadarinya, menuju pergelangan tangan. Kepanikan kembali menyergapnya. Ia mencari-cari sarung tangannya di antara bantal, lalu memasangnya dengan tergesa.
“Mama tidak boleh tahu,” gumamnya. “Atau dia akan panik setengah mati dan menyeretku ke rumah sakit dan mereka akan mengamputasinya.”
Ia buru-buru menepis pikiran buruknya. Ellen memastikan kedua tangannya sudah terbungkus rapi, lalu turun dari tempat tidur. Sebelum membuka pintu, ia tertegun. Ada yang terlupa. Jaket, tanpa jaket ia akan terlihat menggelikan. Kaos lengan pendek dengan sarung tangan? Mamanya yang redaktur mode itu pasti akan menertawakannya. Ellen menyambar jaket yang masih tergeletak di atas kasur.
Mama sudah lenyap dari muka pintu. Mungkin sedang menyempurnakan riasan di kamarnya. Ellen menyeret langkah ke meja makan. Di sana telah terhidang nasi goreng yang masih mengepulkan asap. Aromanya menggelitik hidung dan perut. Di atas meja, tergeletak Woman Bizz—majalah di mana Mama bekerja sebagai pimrednya. Edisi terbaru. Ellen meraih dan mengendus aroma kertasnya. Ellen selalu menyukai bau kertas, seperti ia suka menghidu aroma kopi.
Oh ya, Mama tak lupa menghidangkan kopi. Black coffee untuk dirinya sendiri, dan Capuccino untuk Ellen, dengan hiasan chocho granule.
Ellen mengempaskan pantatnya di kursi sambil membolak-balik halaman Woman Bizz. Ia menatap lembar-lembar majalah yang penuh dengan ulasan tentang mode, artikel soal career woman, hingga rubrik psikologi wanita. Majalah kaum wanita eksklusif. Kelas sosialita. Ellen mencibir diam-diam. Di Indonesia sering kali istilah itu diidentikkan dengan gaya hidup. Kaya, glamor, modis, tapi melupakan kekuatan karakter.
“Morning, darling….” Mama muncul di sisi Ellen. “Nggak kuliah?”
“Masuk siang, Ma.”
“Sore ini siaran?”
Ellen menyambi jadi penyiar di sela kuliahnya.
“Malem, Ma,” sahut Ellen.
Mama mengernyit. “Astaga…padahal malam nanti Mama mau ngajakin kamu keluar, lho. Makan malam. Masa harus ditunda lagi, sih? Susah nyari waktunya.”
Ellen mengintip dari balik majalah. “Lagi?”
“Ya, semalam sudah, tapi kamu kan tidak bisa ikut.”
“Jadi harus diulang?”
“Iya, dong,” Mama menyendok nasi goreng sambil tersenyum-senyum.