Hujan turun lagi senja itu. Ellen menatap ke luar dari balik jendela studio. Kopi hitam mengepul di depannya, plus sepotong brownies yang belum juga ia sentuh. Jemarinya yang terbungkus sarung tangan, sesekali terjulur ke kaca jendela, menelusuri alur air di permukaannya. Guratan air yang berliku di kaca, bagaikan genangan-genangan ingatan dalam benak Ellen, memercik, mengalir dan meliuk, dan Ellen teramat ingin menelusurinya.
Ellen punya semacam keterikatan dengan hujan. Musim hujan seperti ini selalu membuat ingatannya terberai. Ellen menyimpan semacam dendam sekaligus kerinduan pada dua belas tahun lalu. Pada sosok lelaki yang ia panggil Papa. Lelaki yang mengakrabkannya dengan hujan.
Ellen suka menunggu hujan, karena pada saat itu, lelaki bertubuh tegap itu akan meraih tangan mungilnya, berjongkok di hadapannya, dan menatapnya dengan sepasang mata birunya yang indah. Ellen menyukai mata itu. Mata yang diwariskan kepadanya dengan sedikit perpaduan warna mata Mama, mata yang berbeda dengan mata orang-orang di sekitarnya. Warna birunya yang mengingatkannya pada langit. Ellen menyukai anak-anak rambut yang jatuh di keningnya. Pirang keemasan. Warna rambut yang beberapa tahun ini sengaja ingin ia hapus dan timpa dengan warna hitam. Ellen menyukai hidung lelaki itu. Hidung yang mancung dengan ujung sedikit mencuat ke atas. Ellen menyukai lekuk samar di dagu lelaki itu. Ellen menyukai rahangnya yang kokoh, kulitnya yang kemerahan, bibirnya yang tipis. Ellen menyukai gaya bicaranya, tawanya yang berderai, Ellen menyukai semuanya. Ellen adalah pengagum ayahnya. Daddy’s little admirer.
“Jouons[1]?”
Mata Ellen membulat riang. Kepalanya mengangguk-angguk.
Lalu dengan hanya mengenakan kaus dalam dan celana pendek, mereka memelesat ke luar dan berlarian di halaman. Sesekali lelaki itu mengangkat dan memutar tubuh mungilnya hingga Ellen terpekik-pekik girang. Kadang mereka bermain bola di tengah hujan, menari-nari, bermain luncuran di rerumputan, kadang bahkan berlarian keliling kompleks. Para tetangga menyebut lelaki itu ‘papa bule sinting’, karena membawa bocah kecil berhujan-hujan. “Nanti anaknya sakit, lho….” Begitu biasanya mereka menakut-nakuti. Tapi Papa tidak peduli. Ia hanya tertawa-tawa. Papa selalu memiliki sudut pandang yang berbeda dengan orang-orang. Ia yakin, tubuh anaknya malah jadi kebal jika dibiasakan berhujan-hujan. Entah teorinya benar atau hanya kebetulan, Ellen memang tidak pernah sakit karena hujan-hujanan.
Mama tidak pernah marah dengan kelakuan mereka. Mama sangat paham, kegembiraan itu tidak akan tergantikan. Ia cukup merasa terhibur dengan gelak tawa mereka di antara rinai hujan. Dengan sabar, ia akan menunggu di beranda sambil membaca, setelah terlebih dulu menyiapkan handuk dan baju ganti yang bersih, susu hangat, dan kue untuk mereka.
Namun, kebiasaan itu lenyap tiba-tiba ketika usia Ellen menginjak sepuluh tahun, tepatnya saat ia duduk di bangku kelas tiga SD. Musim hujan mendadak terasa hampa. Saat hujan pertama turun, Ellen menunggu ajakan Papa untuk bermain seperti biasa. Tapi ajakan itu tidak pernah datang, Bahkan sosok Papa sendiri pun mulai kerap menghilang.
Kedamaian di rumah mulai terusik. Sesekali Ellen mendengar pertengkaran. Tak jarang Ellen menemukan Mama dengan mata kemerahan. Atau Papa yang lebih banyak diam. Ellen sadar, mereka tengah menyembunyikan sesuatu darinya.
Ellen tak bisa lupa, hari itu, Mama pulang lebih awal dari biasanya. Dari raut wajahnya, Ellen tahu ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Mama tampak sangat tidak bahagia. Ia mengunci diri di kamarnya. Ellen menunggu hingga pintu kamarnya terbuka. Ellen tahu ini berkaitan dengan Papa. Malam sebelumnya, Ellen terbangun dini hari dan melihat Papa menyeret koper keluar kamar, diiringi tatapan dingin Mama. Tidak ada tangis seperti sebelumnya, tidak ada kemarahan, hanya kebisuan yang menyakitkan. Ellen tak berani mendekat. Ia hanya mengintip dari balik pintu kamar. Ellen butuh penjelasan, tapi ia tahu itu bukan saat yang tepat. Ketika pada akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya, Mama hanya menjawab, “Papa ada urusan di luar negeri.”
Kalau pertanyaan itu disusul dengan pertanyaan berikutnya, “Sampai kapan?”
Mama akan menjawab, “Mama tidak tahu.”
Rasa ingin tahu Ellen kian tak terbendung setelah berbulan-bulan Papa tak juga pulang. Ellen mulai bertanya lagi di saat musim hujan datang. Itu adalah musimnya dan Papa. Dan di musim mereka, Papa seharusnya ada untuk kembali bermain bersama di tengah hujan.
“Papa mana, Ma?”
“Jangan tanya-tanya terus. Jawabannya sama.”
“Urusan apa? Kenapa lama?”