Javanesspresso Café, atau lebih dikenal sebagai J’ves Caffee memiliki keunikan yang jarang ditemukan pada kedai-kedai kopi lain yang pernah disinggahi oleh Ellen. Kedai yang sebenarnya berasal dari rumah kuno dengan interior kayu itu telah beberapa kali dipugar, dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya. Sebelumnya, kedai itu adalah rumah seorang kaya, konon bangsawan dari Jawa. Terletak di sudut jalan besar, tak jauh dari stasiun radio tempat Ellen bekerja, Amora FM. Tempat itu menjadi tempat singgah favorit para kru Amora, termasuk Ellen.
Sejak sebelum bergabung dengan Amora, dua tahun lalu, tempat itu tak cukup ramai. Ellen sempat melihat tempat itu pernah menjadi butik kecil, kemudian ganti lagi menjadi rumah makan, kemudian menjadi konter handphone. Tempat itu ramai setelah berganti haluan menjadi kedai kopi. Yang ia dengar dari Rien, pemilik aslinya pada akhirnya menjual tempat itu kepada pemilik J’ves Café yang sekarang.
Pemilik kedai kopi mengganti semua warna catnya menjadi warna kayu dan divarnis hingga mengilap. Lukisan-lukisan abstrak digantung di beberapa muka dinding. Tampak eksotis. Ada satu lukisan yang membuat Ellen tertarik sehingga ia lebih sering menempati meja di sudut yang dapat melihatnya dengan jelas. Lukisan itu—di matanya—menggambarkan perjuangan anak manusia untuk keluar dari carut-marut hidupnya. Sapuan kuasnya yang rumit dan warnanya yang suram, dari biru hingga ke jingga, dengan figur orang yang berusaha membebaskan diri dari semacam labirin, membuat Ellen menyimpulkan demikian. Ellen merasa lukisan itu seperti menggambarkan dirinya.
Di suatu sudut lain dipajang benda-benda antik khas Jawa mulai dari sepeda kuno, seperangkat gamelan, hingga setrika jago. Menikmati kopi di kafe itu bagaikan diajak kembali menyimak budaya dan tradisi Jawa yang menyelinap di antara ingar-bingar Jakarta.
Ponsel Ellen berdenyit. Pesan Whatsapp dari Rama.
“Sweet, tunggu ya. Kerjaan belum kelar. Lima belas menit lagi aku meluncur. Sabar, ya….”
Ellen tak menanggapi. Ia kembali meletakkan ponselnya di atas meja.
Barista yang telah akrab dengan Ellen, datang membawa pesanan. Seragamnya, perpaduan antara oranye dan merah, dipadu dengan batik jawa melilit pinggang serta blangkon di kepala, membuat ekor mata Ellen terpancing bergerak.
“Silakan, Mbak Ellen.”
“Makasih, Joe. Seragam baru, ya?”
“Iya, Mbak. Keren, kan?”
“Hmmm, lumayan. Daripada yang sebelumnya,” Ellen nyengir.
Ketika barista itu meninggalkan meja, Ellen kembali tenggelam dalam alam pikirannya. Ia menatap tangannya yang terbungkus sarung tangan di atas meja.
“Ini harus segera dicari pemecahannya,” pikirnya. Seharian itu, di antara tugas siarannya, ia terus mencari informasi tentang kondisi tangannya melalui internet, tapi tak ada satu pun penjelasan mengapa tangan manusia bisa berubah menjadi biru berkilauan seperti itu. Tak satu pun penjelasan logis yang ia temukan. Otak Ellen terus berputar mencari jawaban. Ia mengingat-ingat kembali kejadian kecelakaan motor yang ia alami bersama sahabatnya, Cindy. Kejadiannya terjadi pada pukul delapan malam, sepulang mereka siaran. Cindy mengendarai di depan, dan Ellen membonceng di belakang. Jalanan lengang usai hujan deras reda, dan mereka berkendara dengan santai. Sesekali Ellen dan Cindy mengobrol. Tertawa-tawa. Sepeda motor melaju dengan stabil.
Ketika hampir tiba di sebuah perempatan besar, Cindy menyalakan lampu sen ke kanan karena mereka mau berbelok ke kanan. Ia melakukannya dengan hati-hati. Tiba-tiba saja, dari arah belakang, sebuah motor sejenis CBR melaju dengan kecepatan tinggi, menyambar pundak Ellen, menabrak setang di sisi kanan, dan menyeret sepeda motor yang mereka naiki bersamanya. Ellen merasa ngilu saat raungan dan decit ban terdengar seiring roboh dan terseretnya mereka sejauh belasan meter bersama motor yang menabraknya. Jalanan licin bekas hujan makin memacu kecepatan luncuran. Pandangannya terasa kabur. Gelap yang berbaur aneka lampu jalan dan kendaraan berputar cepat di matanya. Dua sepeda motor itu pada akhirnya berhenti tergelincir saat motor penabrak menghantam pembatas jalan. Lalu diam.
Ellen dalam kondisi sadar, begitu pula Cindy, sementara si penabrak tak bergerak. Mereka bertiga segera dilarikan ke rumah sakit. Si Penabrak dan Cindy terluka cukup serius, sementara kondisi Ellen jauh lebih ringan. Hanya lututnya lecet-lecet dan kedua telapak tangannya mengelupas. Posisi jatuh Ellen membuat ia harus menopang tubuhnya di jalanan beraspal dengan menggunakan kedua belah telapak tangannya..
“Pasti telapak tanganku tergores badan jalan,” pikir Ellen. “Tapi kenapa efeknya bisa sampai seperti ini?”
Ellen kembali menatap ponselnya. Ia membaca kembali bbm antara dirinya dengan Rama. Ia merasa harus menceritakan semua ini kepadanya. Rama harus melihat kondisinya.
“Ada masalah dengan tanganku sejak kecelakaan. Aku mau kau melihatnya. Aku perlu bantuanmu untuk mencari sebabnya dan cara penyembuhannya. Aku nggak mau Mama sampai tahu. Dia pasti panik setengah mati,” tulisnya di bbm kepada Rama sore tadi.
“Tanganmu kenapa?” balas Rama.
“Biru.”
“Biru? Bengkak, maksudnya?”
“Tanganku jadi biru.”
“Kirimkan fotonya.”
Ellen memotret tangan kirinya dan mengirimkannya.
“Astaga. Ya Tuhan. Kenapa bisa begitu?”
“Aku punya pertanyaan yang sama.”
“Oke, oke. Aku akan langsung pulang begitu kerjaanku selesai. Sore ini aku harus ngajar dulu. Setelah itu, sebelum berangkat ke klub, aku akan menemuimu.”
Sebelum ke J-ves Café, Ellen menyempatkan pergi ke rumah sakit untuk menengok Cindy. Ellen merasa lega kondisi sahabatnya itu sudah lebih baik. Sementara, pengendara motor yang menabrak mereka, kabarnya belum juga sadar.
Ellen tidak tahu, apakah ia harus bersyukur atau sebaliknya. Secara fisik ia memang tidak terluka. Tapi sebuah keanehan terjadi pada dirinya yang tidak ia mengerti. Ia ingin menceritakannya kepada Cindy, seperti biasanya mereka selalu saling menceritakan rahasia satu sama lain. Tapi, ia mengurungkan niatnya. Selain karena kondisi Cindy yang belum memungkinkan untuk mendengar hal-hal yang mengagetkan, sepertinya makin sedikit yang tahu, akan makin baik. Jadi ia memutuskan untuk menceritakannya kepada Rama saja. Untuk sementara ini.
Rama tiba sekitar setengah jam kemudian.
“Hai,” ia mengelus rambut Ellen sekilas. “Gimana kondisimu?” Ia langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Ellen. Wajahnya tampak khawatir.
Ellen memandang sekitarnya.
“Haruskah aku membuka sarung tanganku di tempat umum?” bisiknya. “Bagaimana kalau ada orang lihat?”
Lalu ia menelusupkan tangannya di bawah meja. Rama mengikutinya dengan memerosotkan tubuhnya di kursi. Setelah memastikan keadaan, Ellen melepas sarung tangan kirinya. Rama terkesiap. Ia hendak meraih tangan Ellen, tapi gadis itu buru-buru menepisnya.
“Jangan menarik perhatian.”
Rama berdeham lalu menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Oke….” Ia menarik napas panjang. “Yang kanan juga sama?”
“Persis,” Ellen mengangguk. “Jadi bagaimana? Apa pendapatmu?”
“Aku perlu melihat lebih jelas.”
“Tapi di mana? Kita ke rumahku?”
Rama menggeleng. “Nggak, nggak. Di sini saja. Anggaplah, semua orang tidak memerhatikan kita. Bisa saja mereka menganggap tanganmu ditato atau apalah.”
“Tato apa yang begini bentuknya?”
“Whatever. Tapi, kemarikan tanganmu. Biar kupegang.”
Ragu-ragu, Ellen mengulurkan tangan kirinya di bawah meja. Rama memegangnya dengan lembut. Mengamatinya. Menelusurinya dengan jemari.