Pusara kau masih tampak bersih seperti biasanya, tetapi tulisan diatas nisan telah memudar, terhapus waktu. Aku tidak akan melupakan aksi heroik yang kau lakukan kala itu, meskipun hanya mengetahuinya dari Ibu. Aku menyesal karena pernah berprasangka buruk kepada kau. Kini penyesalan tiada arti, bukan? Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengucapkan maaf. Mengingat, kita tidak akan bertemu lagi.
“Maafkan aku, Ayah. Aku berjanji akan lebih merawat diri. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku lagi, oke?” aku bergumam dihadapan pusara itu.
Seorang gadis jelita yang sedari tadi bersamaku tengah sibuk menghias pusara itu dengan aneka bunga berwarna-warni. Kini pusara itu memancarkan aroma semerbak yang luar biasa. Ia terus menyeringai lebar, merasa puas dengan usaha yang telah dilakukannya. Tetapi masalah hati tak dapat dibohongi. Sekali dua ia mengusap air mata yang turun tanpa diperintah.
Aku memeluknya, mengusap lembut kepalanya seraya berbisik, “semua akan baik-baik saja.”
Bodohnya aku. Berpura-pura untuk tetap tegar sungguh menyakitkan.
***