The Law Of Psychology

Pramdigdya Sasliandri Priantama
Chapter #3

Chapter 3 - Aku, Si Gadis Cacat

“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?”

Suara itu terdengar samar-samar, sepertinya suara Ayah. Aku tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang telah terjadi padaku. Terakhir kali aku sedang berbaring dikasur, bersiap untuk tidur. Ah, aku ingat. Setelah itu aku merasakan sakit yang luar biasa menyerang dadaku, rasa-rasanya seperti ditikam oleh pisau.

Perlahan aku membuka mata, samar-samar melihat sekeliling, ini bukan kamarku? Aku dimana?

“Ah, kau sudah sadar!” Sahut Ibu. Air mata membanjiri matanya. Entah apa yang disedihkan olehnya. Tangan Ibu mengusap-usap kepalaku dengan lembut.

Sekarang penglihatanku semakin jelas. Aku dikelilingi oleh empat orang, termasuk Ayah dan Ibu, namun dua diantaranya mengenakan baju jas panjang berwarna putih dengan aroma obat-obatan yang menempel di pakaian mereka. Sepertinya mereka adalah Dokter. Berarti aku sedang berada di rumah sakit.

Salah satu Dokter mendatangiku, satunya lagi menjauhkan Ayah dan Ibu dari sisiku. “Dari skala 1 hingga 10, seperti apa rasa sakit yang kau rasakan?” tanya salah satu dokter yang berkumis tebal.

Mulutku masih disumpal selang oksigen, tidak banyak kata-kata yang dapat aku ucapkan kepadanya. Lantas aku mengangkat kedua tangan, membuka seluruh jemari tanganku membuat isyarat angka sepuluh. Sebenarnya rasa sakit yang aku rasakan lebih dari itu. Kalau saja aku juga bisa mengangkat jemari kaki, pasti aku akan mengangkat semuanya, membuat isyarat angka duapuluh.

Pemeriksaan telah selesai. Kedua Dokter itu berjalan meninggalkanku sendirian di dalam kamar, tangannya meraih pegangan pintu. Ayah dan Ibu menyambut mereka. Aku dapat melihat seluruh kejadian diluar dengan jelas, namun tak dapat mendengarnya, terhalang kaca. Ekspresi dan gestur tubuh tidak bisa berbohong, terlebih Ibu yang terlihat gusar ketika mendengarkan penjelasan Dokter, sekali dua menggosok-gosok mata dengan tangannya, begitupun Ayah.

***

Gemintang menghiasi langit Ibukota.

Aku berbaring diatas kasur, bersiap untuk tidur. Baru sehari merasakan kehidupan menjadi mahasiswa, rasa lelah sudah menyelimutiku. Astaga. Aku belum siap merasakan lelahnya menjadi mahasiswa.

Baru saja memejamkan mata, seseorang membuka pintu kamarku. Itu Ibu.

“Ayah ingin berbicara sebentar dengan kau. Katanya ada hal penting,” ucap Ibu.

Lihat selengkapnya