"Hai kalian berdua." Aira memeluk Celine dan Bianca dengan erat, gadis bergigi kelinci itu baru saja masuk kuliah setelah menghilang selama seminggu.
"Apa kau baik-baik saja?" Mata hazel Celine menatap Aira dengan penuh kekhawatiran.
"Kami mencemaskanmu, Aira," tambah Bianca dengan nada sendu.
"Orangtuaku sedang mengurus kasus perceraian mereka." Mata hitam milik Aira berkaca-kaca. "Dan mereka memaksaku untuk tinggal bersama mereka. Apa mereka pikir aku adalah amoeba? Bisa membelah diri kemudian menyuruh masing-masing tubuhku untuk mengikuti kehendak mereka? Aku lelah ... selama ini mereka tak pernah sekalipun peduli pada perasaanku dan terus bersikap egois." Air mata gadis itu mulai menetes.
Celine menyandarkan kepala Aira dibahunya. "Menangislah, Aira. Menangislah sampai kau puas. Kami ada di sini untukmu."
Bianca juga turut memeluk Aira. Tangannya terus mengusap-usap punggung gadis itu, berharap dengan begitu kesedihan di hati Aira akan berkurang barang sedikit saja.
Celine menatap kedua sahabatnya sejak dari SMP itu dengan lirih. Teringat kenangannya sejak kanak-kanak. Karena kekuatan yang diturunkan oleh Arianna, Celine bisa mendengar suara pikiran orang-orang di sekitarnya. Karena itulah dirinya tidak bisa memiliki banyak teman. Karena disaat dirinya merasa nyaman dengan mereka, terdengar suara pikiran mereka yang menghujat ataupun mengolok-olok Celine hingga membuat gadis itu muak dan menutup hatinya untuk berteman.
Hingga Aira dan Bianca datang dalam kehidupannya. Selama delapan tahun lebih bersahabat, tak pernah sekalipun ia mendengar suara pikiran keduanya yang mengatakan hal buruk tentang dirinya. Karena itulah Celine merasa nyaman ketika berada bersama kedua gadis itu.
Mata kuliah mereka baru saja berakhir dan kini mereka bertiga sudah duduk di halte bus di depan gerbang universitas mereka, menunggu Pak Jimmy, supir keluarga Celine datang.
"Sudah lama ya, kita tidak menginap di rumah Celine. Aku selalu senang jika datang ke sana." Aira tersenyum hangat, membayangkan ibu Celine yang selalu menyambut mereka dengan senyum lebar di wajahnya yang cantik dan awet muda.
Bianca mengangguk. "Rasanya sudah hampir tiga bulan? Biasanya kita terus menempel pada Celine sampai akhir pekan."
"Terkadang, aku merasa iri dengan Celine, karena memiliki keluarga yang penuh kasih sayang." Aira menghembuskan napas berat. "Selama ini, aku hanya mendapatkan kasih sayang dari kalian. Orangtuaku sibuk mengejar karir masing-masing, seolah berlomba siapa yang akan lebih kaya diantara mereka. Mereka baru menyadari bahwa aku ini anak mereka saat mereka hendak bercerai."
Celine dan Bianca menatapnya berkaca-kaca, tak lama mereka berdua memeluk Aira yang memang duduk di tengah-tengah mereka.
"Jangan bersedih. Kami selalu ada di sisimu. Sekurangnya mereka menyadari kesalahan mereka selama ini, kan? Kau juga harus lebih bersyukur, meski orangtuamu bercerai, setidaknya kau masih bisa melihat mereka. Menemui mereka. Tidak seperti aku." Bianca meneteskan airmatanya. Mengenang kecelakaan tragis yang membuat dirinya kehilangan kedua orangtuanya sepuluh tahun yang lalu. Saat ini ia diasuh oleh kakek dan neneknya.
Celine merentangkan tangannya lebih jauh untuk memeluk Bianca. Airmatanya mengalir perlahan. Begitu pula dengan Aira. Ia sudah menangis sesenggukan seraya mengucapkan kata maaf tiada henti.
"Meski aku tidak mengalami apa yang kalian berdua alami, tapi aku juga merasakan kepedihan kalian. Percayalah, setiap orang di dunia ini punya ujian hidupnya masing-masing. Bagaimanapun kita semua harus tabah menghadapinya." Celine memberikan kata-kata penyemangat untuk sahabat-sahabatnya itu hingga tiba-tiba ia melihat sesosok lelaki yang berada di seberang jalan menatapnya dengan tajam.
Lelaki itu nampak menyeringai, sebelum akhirnya menghilang begitu saja. Membuat Celine tersentak. Hatinya berdebar keras, entah mengapa tatapan lelaki itu membuatnya merasa takut sekaligus penasaran.
Siapa dia? Sejak kapan ia berdiri di sana? Kenapa ia menatapku seperti itu?
Suara Bianca memecah lamunannya. Pak Jimmy telah tiba dan menghentikan mobil tepat di hadapan mereka. Dengan segera mereka memasuki mobil hitam milik Fabian. Celine masih terus menatap ke tempat lelaki tadi berdiri dari cermin mobilnya. Wajahnya dipenuhi kebingungan.
***