"Wah! Film tadi seru sekali! Benar-benar menegangkan!" pekik Aira gembira. Ia menoleh ke arah Raizel. Kulit pucat lelaki itu terlihat lebih pucat dari biasanya. "Raizel, aku tidak tahu jika kau takut menonton film zombie." Ada raut iba di wajahnya. Teringat tatkala mereka bertiga masih berada di dalam ruang bioskop. Raizel menumpahkan semua popcorn yang dipegangnya ketika sebuah adegan close-up zombie muncul di layar lebar. Lelaki itu bahkan terus menutup matanya dengan kedua tangan hingga film selesai diputar.
Raizel menelan air liurnya dengan susah payah. "A-aku punya kenangan buruk tentang mereka. Bukan berarti aku takut!" Seketika lelaki itu bergidik ngeri, bayangan zombie yang menyerangnya sewaktu kecil, muncul kembali dalam minda. Beruntung waktu itu, Achlys datang menyelamatkannya. Itulah awal mula dirinya mengidolakan sang ketua asosiasi vampire tersebut.
"Ini. Minumlah. Wajahmu memang selalu terlihat pucat, tapi saat ini kepucatanmu itu meningkat drastis." Bianca menyodorkan sebuah minuman kaleng dingin kepada Raizel. "Kami juga minta maaf karena menyeret paksa dirimu. Kalau tahu kau takut dengan film horor, kita bisa menonton film yang lain tadi."
"Aku tidak takut! Aku hanya ....," Raizel terdiam sesaat, mencoba mencari kalimat yang tepat agar kedua gadis di hadapannya ini tidak menyebutnya sebagai penakut. Bagaimanapun, Raizel adalah kaum origin, ras teratas kaum vampire, hilang sudah harga dirinya jika ia sampai dicap penakut hanya karena makhluk bernama zombie itu.
Aira menepuk-nepuk punggung Raizel. "Tidak apa-apa, Raizel! Setiap orang memiliki ketakutannya tersendiri. Kau tidak perlu sungkan. Kami juga tidak akan menganggapmu sebagai penakut. Lain kali, kita menonton film yang lain, ya!"
Tanpa sadar Raizel tersenyum. Hangat terasa hatinya mendengar ucapan Aira.
Bianca memandang jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ayo pulang, Ai! Sudah mau malam. Raizel, di mana rumahmu? Ayo kuantar kau pulang." Bianca memang belum lama ini memiliki SIM, sehingga kini ia sudah mengemudikan mobilnya sendiri untuk pergi ke mana-mana.
"Tidak usah. Aku masih harus ke tempat lain, kalian pulang saja. Terima kasih telah mengajakku ke sini. Bye!" Setelah melambaikan tangan, Raizel melangkah menjauhi mereka.
***
Celine berenang dengan bahagia. Sudah hampir tiga jam ia menenggelamkan tubuhnya di dalam air danau yang dingin. Ekornya yang berwarna biru shappire terlihat cantik tertimpa sinar rembulan. Sementara Arion duduk di ujung dermaga kecil yang berada di danau itu. Menenggelamkan separuh kakinya ke dalam air. Senyumnya mengembang melihat gadis yang disayanginya itu gembira.
Celine akhirnya berenang menghampiri Arion. Ia menumpukan dagunya di atas paha lelaki itu. "Apa kau tidak bosan? Kau hanya duduk di sini selama berjam-jam, melihatku berenang."
Arion menggeleng. "Melihatmu bahagia sudah cukup untukku."
Celine tersenyum malu. Ia menundukkan wajahnya, memandang bayangannya yang terpantul di atas danau. Tapi tak lama kemudian senyuman itu lenyap. "Apa kau pernah mengajak orang lain ke sini?" tanyanya seraya mendongakkan kepala. Entah mengapa tiba-tiba terdetik dihatinya kemungkinan tentang Arion yang mengajak gadis selain dirinya ke tempat yang indah ini.
"Kau cemburu, ya?" Tawa menggema saat dilihatnya Celine cemberut. Ia mencubit hidung gadis itu pelan. "Kau adalah orang pertama dan satu-satunya yang kuajak ke sini selain kedua orangtuaku. Bahkan Raizelpun tak tahu tempat ini."
Arion mengusap wajah kekasihnya itu dengan lembut. "Celine, bagiku kau adalah yang pertama dalam segala hal ... pada awalnya tujuanku menemukanmu hanyalah untuk membalaskan kematian kedua orangtuaku, membinasakan Achlys. Tapi ... sejak mengenalmu, aku malah jatuh hati. Dan semakin lama, perasaan itu semakin berkembang. Aku tahu, kalau aku sering kali berbicara manis. Namun kau harus tahu, aku hanya begitu kepadamu."