“Tewas secara terhormat lebih baik daripada hidup bergelimang aib.”
Raja Vortigern, sang perampas takhta, tengah duduk di singgasananya di London, ketika pada suatu hari, seorang pembawa pesan tiba-tiba berlari ke hadapannya dengan napas terengah-engah. Sang pembawa pesan memekik nyaring.
“Berdirilah, Paduka Raja, karena musuh sudah datang. Aurelius Ambrosius dan Uther, para pemilik singgasana yang Tuan duduki—beserta dua puluh ribu prajurit—mereka telah mengucapkan sumpah keramat untuk membinasakan Tuan sebelum tahun ini berakhir. Bahkan, sekarang pasukan mereka tengah bergerak ke arah kita, seperti angin musim dingin berembus kencang dari utara, membawa hawa yang menggigit.”
Begitu mendengar kabar ini, wajah Raja Vortigern pucat pasi. Dalam kebingungan dan kegelisahan, dia bangkit dan memanggil seluruh pandai senjata, perajin, serta ahli bangunan. Dengan keyakinan menggelora, sang raja menitahkan mereka untuk segera membangun sebuah kastel besar yang kuat di wilayah paling barat negerinya; di kastel itulah dia hendak berlindung dan meloloskan diri dari dendam kedua putra sang raja terdahulu yang merupakan tuannya—“Dan yang terpenting, selesaikan pembangunan itu seratus hari dari sekarang, atau akan kuhabisi nyawa kalian semua.”
Karena takut akan dibunuh, para ahli bangunan berhasil menemukan tempat yang tepat untuk membangun menara kastel itu, dan dengan penuh semangat, mulai meletakkan fondasi. Namun, tidak lama setelah tembok dibangun di tanah itu, seluruh jerih payah mereka selalu kandas; tembok itu runtuh pada malam hari tanpa seorang pun menyaksikan, entah bagaimana, oleh siapa, atau karena apa. Itu terjadi berulangulang, sehingga para pekerja bangunan yang sangat ketakutan, menghadap Raja Vortigern, bersembah sujud di hadapannya, memohon agar sang raja turun tangan dan menolong mereka, atau membebaskan mereka dari pekerjaan yang menyiksa ini.
Dengan perasaan gusar bercampur takut, sang raja memanggil para ahli nujum dan ahli sihir, untuk menanyai mereka tentang kejadian ini, serta bagaimana cara mengatasinya. Para ahli sihir mengerahkan mantra-mantra dan jampi-jampi mereka, dan akhirnya menyatakan bahwa kastel tersebut hanya dapat dibangun bila fondasinya dilumuri darah seorang anak remaja yang tidak berayahkan manusia biasa. Para pembawa pesan diutus ke seantero negeri untuk mencari remaja yang demikian, bila dia memang ada. Beberapa pembawa pesan tengah menelusuri sebuah jalanan desa tatkala mereka melihat sekelompok remaja laki-laki yang sedang berkelahi. Para remaja itu terdengar meneriaki salah seorang anak—“Pergi sana, dasar anak setan! Pergi! Ayahmu bukan manusia! Sana cari ayahmu, dan jangan ganggu kami.”
Para pembawa pesan pun menatap anak itu, dan menanyakan siapa dirinya. Yang lain menjawab bahwa dia bernama Merlin; asal-usul dan orangtuanya tidak diketahui oleh siapa pun; ada pula yang menjawab bahwa ayah Merlin adalah setan.
Mendengar ini semua, para pembawa pesan menangkap Merlin dan menggiringnya secara paksa ke hadapan Raja Vortigern.
Di hadapan sang raja, Merlin bertanya dengan suara nyaring, mengapa dia diseret ke sana?
Raja Vortigern menjawab, “Ahli-ahli sihirku berkata aku harus mencari pemuda yang tidak berayahkan manusia biasa, dan kastelku harus dilumuri oleh darahnya supaya dapat didirikan.”
Merlin menjawab, “Perintahkan para ahli sihir Tuan untuk datang ke hadapan saya, dan saya akan membuktikan bahwa mereka berbohong.”
Sang raja heran oleh kata-kata Merlin, tetapi dititahkannya para ahli sihir itu untuk datang dan duduk di hadapan Merlin. Sang anak pun berseru kepada mereka—
“Kalian sesungguhnya tahu apa yang mengganggu fondasi kastel Baginda Raja, tapi kalian malah menganjurkan agar darahku digunakan untuk melumurinya, seolah-olah cara itu akan mendatangkan hasil. Sekarang, katakanlah apa yang ada di bawah tanah itu, karena pasti ada sesuatu di bawah sana yang menghalangi pembangunan menara kastel!”
Para ahli sihir Raja Vortigern mulai ketakutan mendengar ini, dan tidak menjawab. Kemudian, Merlin berkata kepada sang raja—
“Paduka, perintahkanlah agar para tukang menggali tanah itu dalam-dalam sampai mereka menemukan kolam yang sangat luas.”
Setelah perintah itu dilaksanakan, ditemukanlah sebuah genangan air, jauh di bawah permukaan tanah.
Merlin kembali berbicara kepada para ahli sihir sang raja, “Sekarang katakan kepadaku, wahai kalian para penjilat, ada apa di bawah kolam ini?” Namun, mereka tidak menjawab. Merlin lantas berkata kepada raja, “Perintahkanlah agar genangan ini dikeringkan. Di dasarnya, ada dua naga besar yang sedang terlelap, tapi pada malam hari, mereka bangun dan bertarung. Sewaktu mereka bertarung, tanah bergetar dan terguncang, sehingga tembok-tembok menara Tuan pun runtuh, dan fondasi yang kokoh tak akan bisa dibangun.”
Raja Vortigern takjub mendengar perkataan Merlin, lalu dia memerintahkan agar kolam itu segera dikeringkan. Benar saja, di dasar kolam, mereka mendapati dua naga sedang terlelap, tepat seperti kata-kata Merlin.
Vortigern duduk di pinggir kolam yang telah kering hingga malam hari, untuk melihat apa yang akan terjadi.