The Legends of King Arthur and His Knights

Mizan Publishing
Chapter #2

Mukjizat Pedang dan Batu - Penobatan Raja Arthur - Pedang Excalibur - Perang Melawan Sebelas Raja

Pangeran Arthur selama ini dibesarkan oleh Sir Ector seperti putra kandungnya sendiri. Menginjak usia lima belas tahun, dia menjadi remaja yang tampan, jangkung, dan rupawan; tenaganya besar, perilakunya santun, dan dia mahir dalam semua latihan jasmani yang wajib dijalani seorang calon kesatria.

Namun, Arthur belum mengetahui siapa ayah kandungnya, karena Merlin mengatur agar tidak seorang pun tahu tentang Arthur, kecuali dirinya dan Raja Uther. Rupanya banyak kesatria dan bangsawan, yang hadir sewaktu Raja Uther menyampaikan wasiat dan menunjuk Arthur sebagai penerus takhta, merasa amat heran; sebagian dari mereka menaruh syak, sedangkan sebagian lainnya tidak senang.

Oleh karena itu, para bangsawan besar dan pangeran kembali ke tanah masing-masing, dan setelah menggalang pasukan bersenjata serta banyak pengikut, semua bertekad merenggut mahkota untuk dirinya sendiri. Dalam hati, mereka berkata, “Kalau memang Raja Uther punya seorang putra, seperti yang dikatakannya dalam paksaan si penyihir, mengapa pula kita harus diperintah oleh seorang anak yang belum dewasa?”

Maka, untuk waktu lama, negeri itu berada dalam marabahaya besar, sebab setiap bangsawan dan tuan tanah hanya ingin memuaskan kepentingannya sendiri. Sementara itu, orang-orang Saxon semakin berani; mereka merusak dan menguasai kota-kota dan desa-desa di segala penjuru.

Merlin pun pergi menemui Brice sang Uskup Agung Cantebury, dan mengusulkan agar seluruh bangsawan negeri itu, beserta semua kesatria dan prajurit bersenjata, datang menemuinya di London sebelum Natal—sementara mereka yang menolak diancam dengan kutukan sihir—agar mereka mengetahui kehendak Tuhan perihal siapa yang akan menjadi raja. Sang Uskup Agung meneruskan perintah ini, dan pada malam Natal, seluruh pangeran, bangsawan, dan tuan tanah berkumpul di London; dan jauh sebelum fajar menyingsing, mereka berdoa di Gereja Santo Paulus, dan sang Uskup Agung memohon petunjuk Tuhan tentang siapakah raja yang sah bagi seluruh negeri.

Sewaktu doa berlangsung, di pekarangan gereja, tepat di depan pintu gereja itu, muncul sebongkah batu petak dengan sebilah pedang tak bersarung tertancap di tengah-tengahnya. Pada pedang itu terdapat tulisan dalam aksara emas, “Barang siapa mencabut pedang dari batu ini, dialah Raja Britania yang sah.”

Orang-orang takjub menyaksikan ini semua. Seusai ibadah, para bangsawan, kesatria, dan pangeran berlarian keluar dari gereja untuk menyaksikan batu dan pedang tersebut. Maka, dibuatlah ketetapan bahwa siapa pun yang mampu mencabut pedang itu akan langsung dinyatakan sebagai Raja Britania.

Banyak kesatria dan tuan tanah berusaha menarik pedang itu dengan segenap tenaga mereka, bahkan beberapa di antaranya mencoba berkali-kali, tapi tidak seorang pun mampu menggerakkan atau menggeser pedang itu sedikit pun.

Setelah semua gagal mencoba, Uskup Agung mengumumkan bahwa lelaki pilihan Tuhan belum datang. “Tetapi Tuhan,” katanya, “pasti akan segera memunculkan dia di sini tidak lama lagi.”

Maka, ditunjuklah sepuluh kesatria—yang dipilih karena kemasyhuran mereka—untuk menjaga dan mengawasi pedang tersebut. Disiarkanlah ke seluruh negeri bahwa siapa pun yang ingin, boleh dan bebas mencoba mencabut pedang itu dari batu. Meskipun banyak orang telah datang, baik orang-orang berada maupun bersahaja, selama berhari-hari pedang itu tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya.

Pada malam Tahun Baru, sebuah turnamen besar akan digelar di London. Turnamen ini diadakan oleh sang Uskup Agung dengan tujuan mempersatukan para bangsawan dan rakyat jelata, agar jangan sampai jarak di antara mereka semakin lebar pada masa sulit yang tak menentu itu. Bersama banyak kesatria lainnya, datang pula ke turnamen itu Sir Ector, ayah angkat Arthur, yang memiliki tanah luas di dekat London. Sir Ector datang ditemani putranya, Sir Key, yang baru saja dilantik menjadi kesatria, untuk mengikuti adu tombak; Arthur muda pun ikut untuk menyaksikan semua olahraga dan pertarungan yang dilangsungkan.

Sewaktu mereka hendak datang ke gelanggang adu tombak, Sir Key tiba-tiba teringat bahwa pedangnya tertinggal di rumah ayahnya. Dia meminta Arthur untuk berkuda ke rumah dan mengambilkan pedangnya. “Tentu saja, dengan se

nang hati,” jawab Arthur yang kemudian memacu kudanya cepat-cepat untuk mengambil pedang.

Namun, dia mendapati rumah Sir Ector dalam keadaan kosong dan terkunci, sebab semua penghuninya sedang pergi menonton turnamen. Arthur kesal dan menjadi tak sabaran. Katanya dalam hati, “Aku akan pergi ke halaman gereja dan mengambil pedang yang menancap di batu, karena kakakku tidak boleh bertanding tanpa pedang hari ini.”

Arthur pergi ke halaman gereja, dan setelah turun dari kudanya, dia menambatkan kuda itu ke gerbang. Dia lantas masuk ke paviliun yang didirikan di dekat batu petak itu, tempat beristirahatnya sepuluh kesatria penjaga pedang; tapi di sana tidak ada siapa-siapa, karena semua kesatria pergi melihat adu tombak.

Arthur menggenggam gagang pedang itu, dan dengan mudah dan mantap, dia mencabutnya dari batu. Dia kembali naik ke atas kuda dan memacunya; dan tatkala berjumpa Sir Key, Arthur menyerahkan pedang itu. Tapi, Sir Key langsung tahu bahwa itulah pedang yang tertancap pada batu. Lalu, sesudah tergesa-gesa mendatangi ayahnya, Sir Key berteriak, “Lihatlah! Ini pedang yang menancap pada batu. Oleh karena itu, akulah yang berhak menjadi raja negeri ini.”

Tatkala Sir Ector melihat pedang itu, dia pergi ke halaman gereja bersama Arthur dan Sir Key. Ketiganya masuk ke gereja, dan Sir Key diambil sumpahnya untuk menceritakan bagaimana dia memperoleh pedang tersebut. Sir Key akhirnya mengaku bahwa Arthur-lah yang mengantar pedang itu kepadanya.

Mendengar ini, Sir Ector bertanya kepada Arthur muda, “Bagaimana kau memperoleh pedang ini?”

Arthur menjawab, “Aku akan menceritakannya. Sewaktu aku pulang untuk mengambil pedang milik kakakku, tak ada seorang pun di rumah, karena semua pergi menonton adu tombak. Tapi aku tidak mau kakakku bertanding tanpa pedang, dan setelah berpikir-pikir, aku segera pergi ke sini dan mengambil pedang itu untuk dia; aku mencabutnya dari batu tanpa susah payah.”

Sir Ector terkejut bukan main, dan seraya menatap Arthur lekat-lekat, dia berkata, “Jika memang demikian, kamulah yang harus menjadi raja seluruh negeri ini—itulah kehendak Tuhan—karena tidak seorang pun dapat menjadi Penguasa Britania yang sah, kecuali dia yang mampu mencabut pedang dari batu ini. Tapi biarlah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kau menaruh kembali pedang itu pada tempatnya, dan mencabutnya lagi.”

“Itu bukan hal sulit,” kata Arthur. Dia segera menancapkan lagi pedang itu pada batu. Sir Ector berusaha mencabutnya, dan setelahnya, Sir Key mengerahkan seluruh tenaganya, namun keduanya gagal. Kemudian Arthur mengulurkan tangan, dan dengan menggenggam ujung gagang pedang, dia segera mencabut pedang itu dengan mudah.

Sir Ector dan Sir Key jatuh berlutut di hadapan Arthur, lalu segera menyatakan hormat kepadanya sebagai raja yang berdaulat.

Namun, Arthur berseru nyaring, “Ah! Ayahku dan kakakku tersayang, mengapa berlutut di hadapanku?”

“Tidak, Lord Arthur,” jawab Sir Ector, “kami tidak punya hubungan darah dengan Tuan. Tuan adalah anak angkat saya, meskipun saya tidak pernah menyangka dalam diri Tuan mengalir darah yang berderajat amat tinggi.” Sir Ector kemudian menceritakan semua yang diketahuinya tentang masa

kecil Arthur, bahwa seorang asing mengantarkan Arthur saat masih bayi kepadanya, beserta sejumlah besar emas, agar Sir Ector membesarkan dan merawat bayi itu seperti putra kandungnya sendiri, lalu orang asing itu menghilang.

Akan tetapi, saat Arthur mendengar cerita itu, dia memeluk Sir Ector, menangis dan meratap dalam kesedihan, “Hari ini,” ujarnya, “aku kehilangan ayahku, ibuku, dan kakakku sekaligus.”

“Tuan,” kata Sir Ector, “bermurahatilah kepada saya dan keluarga saya, bila kelak Tuan menjadi raja.”

Arthur menjawab, “Jika itu tidak kulakukan, aku tak pantas disebut anak manusia, karena kaulah orang yang paling berjasa kepadaku di seluruh dunia ini, dan istrimu, wanita baik hati yang juga ibuku, telah menjaga dan mengasuhku seperti anak kandungnya sendiri. Kalau Tuhan menghendaki aku menjadi raja, seperti katamu tadi, mintalah apa saja dariku, dan aku akan mengabulkannya, dan semoga aku tidak mengecewakanmu dalam perkara ini.”

“Saya hanya akan memohon,” tanggap Sir Ector, “agar putra saya, Sir Key, kakak angkat Tuan, ditunjuk menjadi bendahara seluruh kerajaan.”

“Akan kukabulkan,” kata Arthur, “dan tidak seorang pun akan memangku jabatan tersebut kecuali putramu, selama aku dan dia masih hidup.”

Lihat selengkapnya