***
Terkadang aku memikirkan jika kematian mungkin lebih indah daripada menjalani hidup seperti ini.
- Ricky Pratama Putra -
***
Sinar matahari menyilaukan yang menerpa wajah membangunkan dirinya dari tidur semalam. Sudah pagi ternyata.
Ricky Pratama Putra memaksakan tubuhnya untuk bangkit dan duduk di kasur. Selimutnya tersingkap hingga bagian perut roti sobek terlihat sempurna.
Tangannya mengacak-acak rambutnya sebentar. Ini pasti karena pengaruh alcohol dari wine yang semalam ia tenggak hingga bergelas-gelas. Pelariannya dari setiap masalah dan beban pikirannya adalah wine. Namun hal ini memiliki efek samping yang membuat kepalanya cukup berat ketika bangun.
Ia memutuskan untuk segera mandi dan bersiap untuk ke sekolah, membiarkan efek wine semalam masih menghinggapi diri. Rutinitas ini masih berlanjut mengingat saat ini adalah tahun terakhirnya di sekolah. Dan di tahun depan semua akan berubah sesuai apa yang dipilihannya saat ini.
Tapi apakah ia sudah punya pilihan? Entahlah. Ricky tidak terlalu memikirkan apa yang akan terjadi dengannya esok. Kuliah, bermain-main, bekerja, jujur saja ia hanya ingin mengikuti arus.
Selesai bersiap, kakinya melangkah keluar dari kamarnya di lantai dua. Rumah yang besar ini hanya dihuni olehnya dan beberapa pengurus rumah. Papa ataupun Kakak perempuannya jarang dirumah. Selalu sibuk dengan urusan kantor. Tidak pernah sedikitpun meluangkan waktu untuk sekedar bertanya kabar, bagaimana keadaan di sekolah atau mengajaknya keluar saat weekend. Tapi, ia tidak peduli. Siapa yang membutuhkan mereka.
"Ricky!"
Suara yang sangat malas ia dengar nyatanya menghancurkan kembali mood yang hampir membaik itu. Ricky mendecak kesal dan menoleh ke asal suara. Padahal baru saja kakinya menginjak anak tangga terakhir.
Diujung sana, Papa berdiri dengan wajah menakutkan yang kemudian berjalan tepat ke arahnya. Dan tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di wajah Ricky. Menyebabkan telinganya berdenging keras dan rasa panas menjalar di pipinya.
Tangan Ricky mengepal keras. Wajahnya diangkat tinggi-tinggi menantang Papa yang tiba-tiba saja menamparnya. "Apa apaan sih?" hardiknya.
Lalu sebelah tangan Papa yang memegangi sebuah kertas terangkat ke atas.
"Ini Apa? Kamu ini mau jadi apa? Selalu saja ada laporan buruk dari sekolah."
Mata Papa menyala nyala karena emosi. Kemudian kertas itu dilempar ke wajahnya. Kertas beserta amplop itu terjatuh ke lantai.
Ricky bisa melihat itu adalah kertas dari SMA Nusantara dan bisa dibilang ia tahu itu adalah laporan buruknya selama di sekolah dan baru saja di baca oleh Papa.
Ya, sekitar seminggu lalu ia menghajar salah satu siswa di hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang, tidak itu adalah perkelahian walaupun yang dijatuhkan hukuman skors 3 hari hanya Ricky saja.
"Kamu ini harusnya mencontoh Rini. Dia sekolah yang baik bukan jadi berandalan seperti kamu!"
"Terus aja Pa bandingin aku sama kakak!"
Dan kemudian satu tamparan itu mendarat lagi di wajahnya.
Rasa panas kembali menjalar ditambah dengan nyeri yang cukup menyakitkan. Ricky sudah menahan emosi untuk tidak menghajar makhluk di depannya ini. Sungguh Papa ini bukanlah orang yang baik dalam hal mengurus anak. Kekerasan bukanlah jalan yang baik dalam mendidik bukan?
Cukup Ricky menahan diri lagi, ia segera berbalik, mengambil kunci motor dan helm yang ditinggalkannya semalam di meja dan menghiraukan hardikan Papa yang semakin kencang memaki bahkan mengatakan segala hal buruk tentangnya.
Namun saat membuka pintu, Ricky dikejutkan oleh sosok Kakak perempuan yang selalu saja dibanding-bandingkan dengannya. Rini pun sama terkejutnya melihat kondisi wajah Ricky yang memerah dan suara Papa yang menggelegar berusaha mengejar adik laki-lakinya ini.
"Ky, kak-"
Belum selesai Rini mengucapkan kalimatnya, dengan sebelah tangan Ricky mendorong tubuh Kakaknya agar tidak menghalangi jalan.
"Minggir!"