***
"Menjagamu , adalah caraku melindungi dunia kecil kita dan mendekapmu dari tangan jahat yang mencoba menyakitimu"
- Stefano Ivan Nicholas Prayoga -
***
Darahnya mendidih ketika mendengar jika makhluk itu berulah lagi. Sepertinya peringatannya tidak cukup berarti dan tidak membawa pengaruh banyak
Ivan baru saja kembali dari ruang Guru karena Pak Satria memanggilnya lagi dan menuju kelasnya ketika Dygta menghampirinya.
"Ana diganggu Ricky lagi."
Ivan mendecak kesal.
"Kenapa lo nggak ngomong dari tadi?"
Ivan yang kesal hendak angkat kaki dari kelasnya, menuju kelas Ricky yang terpisah dengan satu ruangan dengan kelasnya, tapi langkahnya terhenti karena Pak Satria sudah masuk ke kelasnya.
Setengah mati Ivan berusaha fokus tapi tetap saja tidak bisa. Ia benar-benar tidak suka jika Ricky mendekati Ana. Apalagi Ia mendengar sendiri jika Ricky memang kelihatan tidak main-main. Tidak boleh terjadi, Ana tidak boleh dekat-dekat dengan Ricky.
***
Sebelum Pak Satria keluar dari kelas, Ivan sudah mendahuluinya diikuti dengan Dygta yang terus menunduk memohon maaf atas sikap Ivan.
Beruntung saja hari ini jam pelajaran olahraga dan biasanya seluruh siswa maupun siswi di tingkat tiga olahraga bersama di lapangan.
Langkah kaki Ivan terlalu cepat hingga Dygta agak susah mengikuti temponya. Matanya mengedar ketika sampai di kelas terkutuk itu. Tapi makhluk itu tidak ada disana. Tangan Ivan meninju pintu kelas disebelahnya.
"Kampret," umpat Ivan.
"Pintu yang malang, maafin Aa Ivan yak" kata Dygta. Meskipun malang, pintu itu harus bersyukur jika dirinya masih kuat menahan sakitnya, bahkan tidak remuk dan hancur.
Ivan bergerak melihat ke lapangan basket dari lantai dua. Dan benar saja makhluk itu ada disana. Sedang bermain basket dengan beberapa anggota klub basket tingkat tiga. Rahangnya mengeras. Ivan segera bergegas menuruni tangga meninggalkan Dygta.
"Eh anjir cepet aja," keluh Dygta yang berlari mengejar Ivan.
"Oii, Van. Pelan dikit bisa kali."
Ivan tidak mendengar kata-katanya sama sekali atau malah tidak menghiraukannya. Dygta hanya bisa mendengus saja.
Sungguh, sorot mata Ivan berubah liar dan tajam. Agak menakutkan dan berbahaya. Dygta bahkan belum pernah melihat Ivan meledak-ledak seperti ini.
Temannya ini selalu terlihat tenang sekalipun ia kesal bahkan ketika bermasalah dengan Karina dan Aldo beberapa waktu lampau. Tapi kali ini berbeda. Jika tentang adiknya, Ivan seolah berubah menjadi sosok yang lain.
Mereka sampai di lapangan basket yang ramai dengan siswa dan siswi yang berolahraga. Dygta masih mengejar langkah Ivan yang berjalan ke arah Ricky yang baru saja berhasil memasukkan bola ke dalam ring.
"Good job Ky," puji Aldo yang menghentikan gerakannya.
Bahkan Kevin ikut mengeluarkan dua jempol andalannya.
"Naisu!" teriaknya.
Ricky tersenyum lebar ketika bola itu berhasil masuk saat dia melakukan gerakan dunk. Saat hendak berbalik, terlihat Ivan yang berjalan ke arahnya dengan sorot mata yang tidak bersahabat.
Tanpa ada peringatan, Ivan langsung melayangkan pukulan tepat mengenai rahangnya hingga tubuhnya terhuyung dan terjatuh di lantai parket lapangan basket.
Seluruh siswa dan siswi yang ada disana tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Kevin dan Aldo sampai melempar bola basket lainnya yang sedang mereka pakai untuk bermain. Bergegas menghampiri mereka berdua. Namun keduanya terhenti.
"Brengsek," umpat Ricky. Sebelah tangannya menyentuh ujung bibirnya yang terasa basah. Ternyata darah. "Apa-apaan lo?"